Siang itu saya dan seorang kawan pergi menghampiri Mamak Tua di Dapur Kejujuran. Tempat itu berlantai papan dan luas tanpa sekat pemisah dapur dan ruang tengah. Karena itulah ia dinamakan Dapur Kejujuran; semua jadi serba ketahuan. Di sana, Mamak Tua dan anak-anaknya sedang membuat penganan tradisional bernama lapa-lapa.
Lapa-lapa sebenarnya tak hanya jamak di Wakatobi, namun juga mudah ditemukan di penjuru Sulawesi Tenggara. Penganan ini terbuat dari beras ketan yang dicampur beras biasa, santan, tepung jagung, serta daun pandan. Nantinya, setelah campuran bahan-bahan itu dimasak, adonan akan dibungkus dengan daun pisang dan janur kelapa lalu dikukus.
Mirip lepat.
Penasaran, saya pun mencoba membungkus adonan lapa-lapa. Mula-mula saya ambil daun pisang. Kemudian saya letakkan adonan secukupnya pada daun pisang itu. Lalu—ini bagian yang paling menarik—daun pisang itu saya lilit dengan daun kelapa. Ternyata membungkus lapa-lapa menuntut kecermatan. Tantangannya adalah bagaimana agar adonan tidak merembes ke luar pas diikat dengan tali, sementara talinya tetap rapat.
Saya takjub. Namun, ternyata ada hal lain yang mencuri perhatian saya selain proses pembuatan lapa-lapa. Ia berada dekat tiang dapur. Bentuknya berupa dua batu berbentuk lingkaran yang bertumpuk. Keduanya tampak sudah sangat tua, bopeng di sana-sini bak permukaan bulan. Warnanya krem dengan aksen putih bedak. Saya tanya ke Mamak Tua itu apa.
“Itu batu putar,” jawab Mamak Tua.
Menggiling jagung dengan alat berusia puluhan tahun
Menurut Mamak Tua, batu itu ia beli dulu sekali. “Riwayat hidupnya” sudah puluhan tahun. Dibelinya pun di Jawa, bukan di Wakatobi. Dengan batu putar dari Jawa itulah Mamak Tua dan keluarganya turun-temurun menggiling jagung.
Mekanismenya tampaknya tak jauh beda dari blender manual. Penasaran, saya coba saja. Saya ambil segenggam butiran jagung lalu saya masukkan ke dalam lubang kecil di batu putar. Kemudian, dengan sebatang kayu yang dipasang vertikal di pinggir batu, saya putar batu itu berlawanan arah dengan jarum jam.
Ternyata berat.
Rasa-rasanya, kalau tiap hari saya menggiling jagung dengan batu putar, saya bakal maklum kalau otot lengan saya jadi besar seperti binaragawati.
Setelah sekian lama memutar—sampai bulir-bulir keringat bermunculan di pelipis—akhirnya tepung jagung keluar dari celah antara dua batu dan mulai memenuhi tampah. Menggiling dengan batu putar PR juga ternyata. Barangkali ini sebabnya batu putar mulai ditinggalkan dan perannya digantikan alat yang lebih modern.
“Udah nggak ada lagi yang jual sekarang,” ungkap Mamak Tua. Ucapan Mamak Tua itu terngiang-ngiang terus dalam kepala saya, sampai lapa-lapa masak, sampai saya mengucapkan “sampai jumpa” pada Wakatobi.
Setiba di Jakarta, saya masih kepikiran soal nasib batu putar. Saya pun iseng berselancar di dunia maya mencari-cari alat itu. Ternyata di salah satu laman e-commerce ada yang jual batu serupa. Warna dan penadah tepungnya saja yang agak beda. Sang penjual menyebutnya “penggiling tepung.” Tapi, harganya tak main-main: sekitar Rp2.000.000.
Mungkin ini bisa jadi pilihan bagi Mamak Tua seandainya suatu saat batu putar di Dapur Kejujuran tak bisa lagi dioperasikan sehingga mesti dipensiunkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.
1 Comment