Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat penciptanya.

Paling tidak, itulah yang kita lihat pada batik Madura yang mengejawantahkan falsafah pragmatis manusianya. Namun, tentu saja, batik Madura juga membentangkan hal-hal lain yang mungkin luput dari pengamatan sepintas, sehingga mengubah pandangan sok tahu kita bahwa kerajinan lokal Pulau Garam itu cuma goresan kasar di atas kafan. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Perajin batik Madura mewarnai motif/Samroni

Pragmatisme Batik Madura

Keliaran motif batik Madura tak kusadari hingga pada suatu siang di Pasar Kolpajung, ibu mengacungkan telunjuk ke selembar kain yang dibeber di sebuah kios. “Mungkin dia yang kaucari,” katanya. “Dia”, di kalimat yang ibu ucapkan, terdengar seperti jodoh yang seolah-olah ingin kutemukan. “Cocok dengan karaktermu,” lanjutnya. Kuyakin, ibu sama sekali tak tahu tabiatku. 

Batik yang ibu anggap sesuatu yang tengah “kaucari” dan “cocok dengan karaktermu” itu adalah kain berlatar hitam dengan percikan-percikan putih, kembang sulur, dan semburan samar warna-warna neon. Kelak kutahu, nama motif batik itu adalah ulat dan rumput oleng. Tapi, mengapa ia cocok dengan watakku?

Batik tersebut memang masih menggunakan motif lazim sebagaimana batik Madura pada umumnya. Namun, di sana kreativitas personal perajinnya turut hadir: latar hitam dan semburan warna-warna neon. Batik itu bagai langit malam yang dipercik kembang api. Kombinasi kelam dan warna neon seperti mewakili watak ambivalen, perasaan fluktuatif, atau kemuraman yang ditutupi topeng senyum dan tawa. Mari kita singkirkan diskusi tentang kepribadian tak menyenangkan itu sambil memberi simpulan singkat, bahwa batik Madura bergerak di antara konvensi dan invensi yang bergelora. Bahkan, terlampau bergelora mengingat batik ganjil lain yang kutemukan beberapa tahun setelah itu sama menterengnya.

Batik ganjil tersebut kutemukan di pasar yang sama. Juga ketika aku berkunjung bersama ibu. Warnanya amat mencolok di antara batik-batik yang lain. Sekali lihat, kau akan mengingat rambut merah Ariel dan sahabat ikannya, Flounder, di film The Little Mermaid bikinan Disney. Batik itu bermotif ekosistem laut dengan biota kuning campur biru, ikan dan segala vegetasinya, berlatar air merah menyala seperti Sungai Nil yang dikutuk Yahweh pada episode “Sepuluh Tulah Mesir” dalam kisah Musa.

Ketika kutanya perihal motif batik tersebut kepada Samroni (22), ia menjawab, “Itu nyomot dari Pinterest.” Tanggapannya membuat marwah kemaduraanku luntur. “Banyak kok pembatik sekarang yang nyontoh di Pinterest,” tambahnya. Aku tahu, pemuda kekar ini model dadakan dan fotonya yang berkain batik pernah mampang di surat kabar lokal. Tapi, bisa tidak, sih, ia sedikit ngarang bahwa batik yang kubeli itu bermotif apalah.

Terlepas dari aspek orisinal dan bajakan tersebut, akhirnya aku paham, gaya cetar dan warna membahana inilah yang barangkali membuat ibu bilang bahwa batik Madura pantas dipakai anak muda. Kini aku menangkap maksud ibu ketika berkata, “Cocok dengan karaktermu.” Waktu itu, usiaku memang masih dua puluhan. 

Kehadiran warna-warna vulgar pada batik Madura bukan kehendak asal tabrak. Ia memiliki semacam alasan yang bisa kita duga bahwa rona semarak tersebut muncul karena dorongan imaji ideal Madura atas warna. Sebab, lanskap alam Madura monoton. Lingkungan fisik Madura dilabur warna yang tak kaya ragam: bukit kapur, sabana, dan laut. Itulah mengapa batik Madura menjadi wahana untuk menumpahkan imaji orang Madura tentang dunia penuh warna. Kecenderungan artistik ini bisa dibandingkan dengan karakter manga bermata lebar lantaran orang-orang Jepang bernetra sipit. Tokoh-tokoh kartun itu menjadi model paripurna manusia Negeri Sakura.

Secara sederhana, pola batik Madura, setidaknya bisa dikelompokkan menjadi tiga: motif botani, elemen fauna, artefak budaya. Sekar jagat merupakan motif yang merangkum seluruh pola. Ia tampak seperti kain yang dijahit dari perca berbagai rupa. Seluruh motif batik Madura dipindai dari komponen realitas fisik yang hadir di sekitar orang Madura. Motif botani, misalnya, berupa alang-alang, tanaman rambat, beras tumpah, bunga lawang. Sementara itu, jagat fauna meliputi kupu-kupu, burung kenari, cakar ayam. Pola artefak budaya kerap meniru anyaman bambu. 

Gambar-gambar itu tak digurat dengan detail halus sebagaimana batik Jawa. Bias estetis tersebut dikerjakan bukan lantaran orang Madura tak mampu menciptakan karya seni yang subtil, melainkan lebih dilandasi oleh pandangan hidup. Jagat hidup orang Madura cenderung pragmatis ketimbang gagasan hayat manusia Jawa yang batiniah.

Masyarakat dengan gerak hidup yang banyak dikendalikan oleh ketidaksadaran memiliki produk seni detail, halus, aneka rupa, sebagai wujud arketipal. Arsitektur klasik seperti gotik dan barok, misalnya, berornamen lebih rumit ketimbang rancang bangun modern, seperti Art Deco atau minimalis. Sebab, orang-orang abad ke-20 telah mencapai puncak kesadaran ketimbang masyarakat klasik yang masih menyisakan tilas ketaksadaran. 

Aspek-aspek kesadaran tak membutuhkan simbol arketipe yang rumit serta semarak karena telah dialihkan dalam budaya sains, teknologi canggih, dan ekonomi. Pragmatisme memberi ruang pada produk modernitas tersebut dengan mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kepraktisan. Sifat tak detail nan tak halus itu akhirnya mendorong motif batik Madura ke bentuk abstrak, realisme murni yang mendekati formasi-formasi dasar semesta: geometri. Maka, watak tersebut bersinergi dengan jagat hidup pragmatis yang memandang dunia apa adanya.

Jati Diri di Persimpangan Masa Lalu dan Kini

Di Pamekasan, batik kerap dipromosikan pemerintah dengan jalan di luar akal sehat. Salah satu kabupaten di Madura ini memang memiliki ambisi menjadi Kota Batik melebihi Pekalongan. Motif-motif batik dipoles di tembok, tiang listrik, pepohonan, dan jembatan. Di era Bupati Badrut Tamam, badan mobil dinas pun dilapisi pola batik. Agak norak, tetapi ada gunanya. Paling tidak, ketika melihat mobil batik nangkring di acara mantenan, kita jadi tahu bahwa fasilitas negara tersebut telah disalahgunakan. Kepemimpinan Tamam juga meluncurkan program sepatu batik, tetapi tak laku di pasaran. Anak-anak muda Pamekasan tetap lebih suka mengenakan Converse atau New Balance ketimbang sepatu yang dilapisi kain batik.

Bidang atau tekstil bermotif semarak seperti batik memang lebih bijak jika tidak ditampilkan dengan aneh-aneh. Batik yang pada dasarnya sudah terlihat ramai memang paling anggun dipakai sebagai kain bawahan—sebagaimana cara orang-orang dulu memakainya—atau dibuat baju dengan desain bersahaja. Batik yang terlempar ke dunia fesyen dan dipajankan di atas catwalk kerap malih kostum lajak, akrobatik, dan membuat kita bertanya-tanya, “Busana kayak gitu mau dipakai di mana?” Meski dirancang dengan itikad eksperimental atau alasan-alasan luhur seperti melestarikan dan memperkenalkan khazanah seni budaya ke konsumen manca, bagiku siasat lebay semacam itu tak akan menambah nilai adiluhung serta ekonomi batik. 

Dalam amatanku yang sumir, batik Madura—dan agaknya batik-batik yang lain—mulai populer dijadikan sarung ketika polemik Islam Nusantara menggema di seantero Indonesia. Batik yang dulu cuma dikenakan sebagai jarit wanita atau pria keraton kini diviralkan pula oleh kaum santriwan. Di media sosial, misalnya, Gus Iqdam acap tampil dengan sarung batik. Mubalig muda tersebut sampai repot-repot—atau mungkin tidak—membangun bisnis dengan mengorbitkan mereknya sendiri. 

Tren tersebut lama-lama merambat ke Pulau Garam yang memang lekat dengan budaya santri. Bahkan, para personil band tersohor Madura, seperti Lorjhu’ dan La Ngetnik menggunakan sarung batik saat pentas. Sementara itu, pentolan band Warga Tabun—yang notabene keluarga santri—juga mempromosikan produk batiknya dengan motif kontemporer. Batik-batik kontemporer ini tak sedikit diproduksi pesantren. Aku pernah dikasih sarung batik kontemporer bergambar tugu Arè’ Lancor Kota Pamekasan oleh seorang lora (putra kiai) muda yang punya bisnis batik. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Pembatik Madura kontemporer mengukur kafan/Royyan Julian

Batik-batik kontemporer tersebut sepertinya telah lepas dari motif tradisional. Ia digurat sesuai selera kekinian senimannya. Meski batik kontemporer mulai menjamur, bukan berarti batik Madura yang dikembangkan dari pola lama ditinggal. Batik Madura masih masif dipakai, baik di hajatan maupun aktivitas keseharian, juga menjadi seragam pegawai hingga anak-anak sekolah. Sebab, batik tulis Madura bisa dijangkau semua kalangan dengan harga puluhan ribu sampai jutaan.

“Aku suka batik karena hidup di lingkungan batik,” daku Samroni yang ibunya seorang pembatik. “Keluargaku bisa hidup karena batik. Memakai batik menjadi kata lain dari menyokong ekonomi para pekerja batik yang upahnya tak seberapa.” Namun, Samroni juga punya alasan estetis mengapa suka batik meski cuma bisa mengekspresikannya dengan kata “bagus”. 

Aku sulit membayangkan batik punah dari Madura, Jawa, atau Indonesia. Sebab, bangsa kita masih mempertahankan identitas-antara, “jati diri” yang tegak di persimpangan masa lalu dan kini. Maka, malam-malam itu akan senantiasa leleh di atas tungku, menetes dari liang canting. Malam-malam itu terus digurat di lembar-lembar kafan, digurat entah sampai kapan.

Foto sampul oleh Afnan R.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar