Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sabtu (5/10/2024) pagi itu, saya menyaksikan puluhan pohon mahoni yang telah ditebang di sisi utara Jalan Garuda. Di pagi yang sama, saya menyaksikan pula puluhan pohon bungur juga telah ditebang di bagian barat Jalan Abdurahman Saleh. 

Puluhan pohon itu menjadi tumbal bagi pembangunan jalan layang baru, yakni Jalan Layang Nurtanio. Nantinya akan menghubungkan Jalan Abdurrahman Saleh di utara dan Jalan Garuda di selatan. Pembangunan jalan layang ini tentu saja akan menambah panjang daftar jumlah jalan layang (flyover) yang dimiliki Kota Bandung. Akankah pada akhirnya julukan Kota Kembang bagi Bandung bakal berganti menjadi “Kota Flyover?

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Pengendara melintas di depan konstruksi jalan layang Nurtanio yang masih dalam proses pembangunan/Djoko Nubiarto

Berawal dari Konsep Kota Taman

Selain sempat dijuluki sebagai Paris-nya Jawa (Parijs van Java), Bandung sejak lama dijuluki pula sebagai Kota Kembang. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda sejak awal merancang Bandung dengan konsep kota taman.

Jalan-jalan kecil yang melingkar-lingkar dengan tegakan pohon yang rapat di kanan kiri, dihiasi taman-taman di sudut-sudut jalan yang ditumbuhi aneka kembang, menjadi ciri khas Bandung. Ditunjang dengan hawanya yang adem, plus lanskap pegunungan di sekelilingnya, membuat nuansa Bandung sebagai Kota Kembang semakin kuat.

Akan tetapi, laju urbanisasi yang deras secara perlahan mulai mengubah paras Bandung sebagai Kota Kembang. Betapa tidak? Dari sebuah kota yang dirancang dengan konsep kota taman, dan menjadi salah satu perlambang keindahan alam tanah Pasundan, Bandung kini berkembang menjadi sebuah kota metropolitan yang supersibuk.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2023 sebanyak 2.506.603 jiwa. Ini menjadikan Bandung, yang memiliki luas sekitar 167,31 kilometer persegi, sebagai salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk paling padat di Indonesia.

Seiring dengan makin sesaknya Bandung, ruang-ruang terbuka hijau turut terkonversi. Ada yang menjadi perkantoran, kompleks perumahan, kawasan perniagaan, dan sejumlah fasilitas publik lainnya.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Salah satu rumah warga terkena dampak proyek pembangunan jalan layang Nurtanio/Djoko Subinarto

Kemacetan Bandung: bahkan Jalan Layang pun Belum Cukup

Kemacetan lalu lintas boleh dibilang kini menjadi menu sehari-hari warga Bandung. Jalan-jalan disesaki kendaraan, yang sering kali melebihi kapasitas jalan yang ada. Sebagai respons terhadap problem kemacetan Bandung yang dari hari ke hari semakin parah, jalan-jalan di kota Bandung pun kian diperlebar. Namun, langkah ini rupanya masih belum cukup untuk mengatasi kemacetan yang kerap menyergap berbagai titik di Kota Bandung.

Maka, selain langkah memperlebar jalan, membuat jalan di atas jalan alias mendirikan jalan layang pun dilakukan. Harapannya tentu saja dapat menjadi bagian dari solusi kemacetan di Kota Bandung.

Hingga saat ini, Bandung telah memiliki lebih dari setengah lusin jalan layang dan kemungkinannya akan terus ditambah beberapa lagi. Harapannya, pembangunan jalan-jalan layang dapat memperlancar lalu lintas sehingga mengurangi terjadinya kemacetan.

Meski demikian, jalan layang ini nyatanya sama sekali tidak menyelesaikan penyebab utama kemacetan. Justru menimbulkan ketergantungan pada kendaraan pribadi, perencanaan kota yang buruk, dan ketidakmampuan sistem transportasi umum dalam melayani kebutuhan transportasi warga kota. 

Ketika jalan layang dibangun, kemacetan mungkin awalnya berkurang. Namun, seiring terus bertambahnya jumlah pengguna kendaraan pribadi, toh kemacetan tetap saja terjadi. Artinya, pendirian jalan layang sesungguhnya sama sekali bukan solusi cespleng kemacetan.

Selain itu, pembangunan jalan layang memakan ongkos lingkungan yang signifikan. Pembangunan jalan layang memerlukan beton dan baja dalam jumlah besar. Bahan-bahan ini memiliki jejak karbon yang substansial dalam proses pembuatannya.

Dari aspek finansial, pembangunannya juga memerlukan biaya jumbo. Contohnya, Jalan Layang Nurtanio yang saat ini masih dalam proses konstruksi. Total anggarannya mencapai 295 miliar rupiah. Belum lagi nanti ongkos pemeliharaannya.

Di kota-kota dengan lahan terbuka yang kian terbatas, pembangunan jalan layang juga dapat menggusur warga dan mengganggu infrastruktur kota yang sudah ada. Misalnya, infrastruktur hijau berupa pohon-pohon peneduh yang harus ditebang. 

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Tunas mahoni yang tumbuh dari batang pohon yang sudah ditebang sebagai dampak pembangunan jalan layang/Djoko Subinarto

Butuh Sistem Transportasi Publik yang Efisien

Dalam konteks Kota Bandung, daripada mengandalkan jalan layang untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung sebaiknya mengadopsi solusi yang lebih komprehensif agar mampu mengatasi penyebab utama kemacetan di ibu kota Jawa Barat ini. 

Salah satu strategi yang paling efektif adalah berinvestasi dalam sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau. Kota-kota seperti Singapura dan Tokyo, contohnya, telah membuktikan bahwa sistem metro, bus, dan kereta api yang dirancang dengan baik dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Secara signifikan juga mampu mengurangi kemacetan. 

Teknologi terkini juga perlu dimanfaatkan lantaran menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi kemacetan. Sistem manajemen lalu lintas cerdas, yang menggunakan data real time untuk mengoptimalkan aliran lalu lintas, contohnya, dapat mengurai kemacetan tanpa perlu membuat proyek infrastruktur yang menyedot dana besar seperti jalan layang. Contoh lain, aplikasi seperti Waze, yang memberikan informasi lalu lintas termutakhir kepada pengemudi, dapat dimanfaatkan untuk membantu mengalihkan arus kendaraan dari area yang macet.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Jalan layang Pasupati yang sempat diharapkan menjadi solusi kemacetan di kawasan Pasteur/Djoko Subinarto

Prioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda

Elemen penting lainnya dalam mengurangi kemacetan Bandung adalah meningkatkan desain perkotaan untuk lebih memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda. Upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki, dengan trotoar yang aman, serta tersedianya jalur sepeda yang memadai, membuat warga Bandung dapat menikmati mobilitas yang lebih mudah dan nyaman. 

Peningkatan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda, dan dibarengi dengan pemberian insentif yang menarik, akan mendorong masyarakat untuk memilih berjalan kaki atau bersepeda sebagai moda transportasi utama di dalam kota. Ini tidak hanya mengurangi kemacetan lalu lintas, tetapi juga memberikan pilihan transportasi yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, desain kota yang memerhatikan kenyamanan pejalan kaki, seperti trotoar yang lebar dan bebas hambatan, akan membuat warga merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi terjadinya insiden kecelakaan.

Di samping itu, lingkungan yang lebih ramah akan mendorong lebih banyak warga berjalan kaki dan bersepeda. Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor bakal berkurang. Pada saatnya, kondisi ini akan berdampak positif terhadap kualitas udara dan kesehatan warga. 

Seperti sama-sama kita ketahui, bersepeda dan berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mendukung gaya hidup sehat, yang bisa menurunkan angka obesitas dan penyakit terkait gaya hidup. Di saat yang sama, ketergantungan pada bahan bakar fosil juga akan berkurang sehingga turut menurunkan dampak negatif perubahan iklim.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar