Hidup masyarakat Dayak Lebo Merabu bergantung pada keutuhan hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Keterbatasan sumber daya manusia jadi tantangan perlindungan.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Asrani (48), kepala kampung baru Merabu, mengakui sebelumnya masyarakat beranggapan jika terus menjaga hutan, maka berbanding lurus dengan tingkat perekonomian. Namun, kondisi alam tidak pernah bisa ditebak. Masa-masa keemasan karet dan sarang burung walet tidak seperti dahulu. Sementara madu hutan alami yang jadi andalan tergantung pada musim panennya.
“Kalau hutan saja yang lestari, ekonomi masyarakat tidak normal. Otomatis pikirannya akan [berusaha] merusak [hutan],” ujar Asrani.
Ia khawatir jika sumber pemasukan berkurang, masyarakat akan lambat laun berpikir mengambil apa pun dari hutan. Tanpa dikontrol. Akibatnya hutan akan habis dan tidak ada warisan untuk anak cucu. Terlebih kampung-kampung seperti Merabu juga dikepung dengan perkebunan sawit, pertambangan batu bara, hingga perusahaan-perusahaan logging.
“Nah, tahun-tahun ini sudah kami ubah. Kami sekarang berprinsip: hidup sejahtera, hutan terjaga,” ucap Asrani yakin.
Suami Ester itu menilai perlunya perubahan pola pikir setelah melihat perkembangan zaman. Dasarnya sederhana. Ekonomi memang sangat penting. Setiap saat selalu ada banyak tekanan dan kebutuhan yang harus dipenuhi.
“Kita saksikan sendiri. Listrik bayar, air PAM bayar. Belum lagi anak sekolah, belum lagi kredit. Jadi, itu semua butuh biaya,” Asrani benderang menjabarkan. “Jadi, kami beranggapan ketika anak kami menempuh pendidikan dengan baik, kehidupan itu sudah sejahtera. Otomatis kita akan melestarikan [hutan] dengan baik. Hidup sejahtera, hutan terjaga.”
Sekali lagi, Asrani menekankan pentingnya pendidikan. Ia percaya perubahan pola pikir seseorang tidak akan terbentuk tiba-tiba. Ada proses yang harus dilalui dan itu tidak bisa dikerjakan sendirian. Harus bersama-sama.
Maka ketika konflik dengan perusahaan sarang burung walet mereda, The Nature Conservancy (TNC) masuk bersama sejumlah lembaga nirlaba lokal, tokoh-tokoh muda bermunculan—seperti Franly Aprilano Oey dan Agustinus yang berurutan menjadi kepala kampung selama 2012—2021—masyarakat diajak melihat kembali halaman belakang rumah mereka. Secara perlahan diberikan pemahaman dan pendampingan, tentang jendela-jendela kesempatan lain yang terkuak dari kerimbunan hutan dan megahnya gugusan karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Anugerah alam dari karst Sangkulirang-Mangkalihat
Entah bagaimana cara alam menyintas waktu dan bersolek sampai terbentuk gundukan-gundukan karst seperti terlihat sekarang. Bahkan bukan hanya batu-batu cadas menjulang, melainkan juga menyisakan ruang untuk danau-danau, lekukan sungai mengalir dari hulu ke hilir, liang-liang gua, dan hutan nan lebat. Yang telah dikenal dengan nama Sangkulirang-Mangkalihat.
Tidak main-main. Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur mencatat jelas, luas kawasannya mencapai 1.867.676 hektare. Hampir tiga kali lipat Singapura.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, dalam booklet khusus untuk pengajuan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016, menyebut ada delapan gunung karst raksasa yang menjulang tinggi.Mulai dari Gunung Kulat yang menjadi batas Berau—Kutai Timur, Gunung Nyapa, Gunung Tondoyan, Gunung Marang, Gunung Gergaji, Gunung Beriun, Gunung Tutanumbo, Gunung Sekerat, dan gunung-gunung batu kecil lainnya yang tidak bisa dihitung jari. Kawasan ini merupakan hulu dari lima sungai utama di kedua kabupaten tersebut, serta menjadi sumber air bagi ratusan ribu penduduk di ratusan desa. Daerah-daerah penyangganya mencakup enam kecamatan di Berau, yaitu Biduk-Biduk, Batuputih, Talisayan, Biatan, Tabalar, Kelay; dan tujuh kecamatan di Kutai Timur, yakni Sandaran, Sangkulirang, Karangan, Kaliurang, Kaubun, Bengalon, Kombeng.
Kampung Merabu di Kecamatan Kelay, Berau, dianggap sebagai pintu masuk terbaik untuk mengeksplorasi hutan dan gunung karst Sangkulirang-Mangkalihat. Bahkan jika ingin menuju Danau Tebo yang terletak di Karangan, Kutai Timur, orang-orang Merabu bisa tembus kurang dari dua hari perjalanan. Rutenya estafet, mulai dari menyusuri Sungai Lesan, trekking ke Danau Nyadeng lalu melewati area gua Puncak Ketepu.
Akhmad Wijaya dkk dari TNC Samarinda, dalam jurnalnya Studi Etnografi dan Pemetaan Sosial masyarakat Sekitar Ekosistem Karst Hulu Lesan-Hulu Karangan, Kalimantan Timur (2011), menyebut menyebut ekosistem karst ini merupakan habitat vital untuk aneka ragam flora dan fauna. Berserakan di area hutan dataran rendah hingga puncak-puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dari sisi arkeologi, ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat kaya akan jejak prasejarah. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur mengidentifikasi sedikitnya 40 gua arkeologis yang tersebar di kawasan tersebut. Usianya menyentuh rentang 5.000—10.000 tahun.
Salah satu yang populer adalah Gua Bloyot, sekitar 2—3 jam berjalan kaki dari Kampung Merabu. Di liang utamanya, terlihat lukisan tangan menempel di dinding-dinding gua. Gua yang mulai dikenal karena penemuan tim peneliti asal Prancis itu menjadi satu atraksi utama ekowisata Merabu.
Karst Sangkulirang-Mangkalihat adalah rumah yang nyaman untuk sejumlah fauna endemik Kalimantan. Kebanyakan berstatus rentan hingga terancam kritis menurut indikator International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Satwa-satwa khas yang hidup di hutan ini, antara lain orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), enggang atau rangkong gading (Rhinoplax vigil), beruang madu (Helarctos malayanus), dan owa kalimantan (Hylobates albibarbis). Selain itu jika menyusuri jalur trekking ke Gua Bloyot atau Danau Nyadeng, terdapat beberapa jenis pohon pusaka yang mencakar langit; seperti damar, meranti, meranti majau (Shorea johorensis), ulin (Eusideroxylon zwageri), bengkirai (Shorea laevis) dan menggeris (Koompassia excelsa)—salah satu pohon sarang madu. Usianya bisa puluhan atau ratusan tahun. Ada juga gaharu, rotan, dan tanaman-tanaman kayu lainnya.
Secara tertulis, ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat telah dilindungi negara. Penelitian-penelitian dari pelbagai latar keilmuan terus berlangsung. Diyakini masih banyak ruang-ruang yang belum terjamah. Kelestariannya bergantung pada upaya masing-masing desa penyangga di sekitarnya.
Merabu, dapat dibilang memiliki keistimewaan merawat kawasan tersebut. Melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Ketetapan ini dituang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.28/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu.
Penetapan status hukum kawasan hutan desa menjadi titik balik luar biasa bagi Merabu. Masyarakat makin terbuka dalam memandang nilai lebih ekosistem hutan di kampung mereka. Menyambut anugerah alam dari Sang Pencipta dengan beragam langkah pengelolaan. Salah satunya melalui adopsi pohon.
Mengasuh pohon-pohon
Menurut Doni Simson (41), ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK Merabu, adopsi pohon menjadi skema andalan untuk melindungi hutan desa sekaligus memberi manfaat ekonomi. Bisa dibilang pihaknya menjual pohon, tetapi tidak dengan cara menebang.
“Misalnya, sampean mau adopsi satu pohon. Kami buat kontraknya [minimal] dua tahun. Sampean bayar satu tahun itu kan Rp 1 juta, berarti dua tahun Rp 2 juta. Kami buatkan plangnya dan jadi tanggung jawab kami menjaga pohon itu sampai kontrak habis dua tahun,” Doni menjelaskan prosedurnya.
Pengelolaan adopsi pohon dilakukan melalui LPHD. Durasi kontrak adopsi bisa diperpanjang atau dihentikan sesuai kesepakatan. Tanggung jawab LPHD terhadap pohon adopsi, antara lain membersihkan area sekitar pohon, merawat plang yang berjamur, mengecek kondisi kekuatan tegakan pohon, dan menjaga agar jangan sampai diganggu orang jahil. Selain biaya adopsi, LPHD juga menerapkan kewajiban donasi minimal Rp10.000 kepada setiap tamu yang datang berwisata.
Satu pohon bisa diadopsi lebih dari satu orang. Masing-masing pengadopsi mendapatkan nomor khusus yang berlaku untuk satu pohon. LPHD akan memotret lokasi dan pohon adopsi, membuatkan sertifikat adopsi, dan melaporkan hasilnya secara berkala melalui surat elektronik atau WhatsApp.
Dalam waktu berjalan biasanya ada pohon yang rebah karena sudah tua. Kasus ini sering terjadi. Jika masih dalam masa kontrak adopsi, LPHD akan memberi dua tawaran ke pendonor, yaitu pohon dipindahkan atau uang dikembalikan. Kebanyakan orang-orang yang pohon adopsinya tumbang tidak mau uangnya kembali. Mereka memilih pindah ke pohon baru.
“Makanya ada banyak [titik], yang satu pohon itu ada beberapa plang nama orang karena dia meminta pindahnya di situ,” terang Doni.
Penentuan jenis-jenis pohon yang dipilih untuk program adopsi umumnya dilakukan beriringan dengan kegiatan wisata. Terutama di Gua Bloyot atau Danau Nyadeng. Sepanjang jalur di dalam hutan banyak ditemui pohon-pohon layak adopsi. Sejauh ini terdapat kurang lebih 296 pohon yang sudah diadopsi di dua kawasan tersebut. Kebanyakan pengadopsi berasal dari mancanegara, yang rata-rata mengadopsi pohon jenis damar (Agathis borneensis), meranti merah (Shorea parvifolia), dan merawan (Hopea mengarawan). Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015—2018.
Doni kerap menyarankan tamunya mengadopsi pohon yang ukurannya masih kecil atau pendek. Lama-kelamaan pohon tersebut akan tumbuh besar. Menurutnya jika mengadopsi pohon tua yang terlalu besar, biasanya rawan roboh karena faktor alam atau usia.
Banyaknya orang yang mau mengadopsi pohon di hutan desa Merabu membuat Doni dan Arbaniyansyah atau Yan (41), sekretaris LPHD, bersyukur sekaligus heran. Yan mengaku pihaknya bingung jika sewaktu-waktu ada tamu, khususnya mancanegara, datang lalu minta diatur perjalanan ke hutan dan mekanisme adopsi pohonnya.
“Kami bingung juga orang ini tahu Merabu dari siapa? Tahu nomor Pak Doni dari mana? Wah, ini yang bikin kacau,” seloroh Yan. Belakangan mereka baru paham jika nomor telepon Doni dan Yervina, bendahara BUMKam Lebo ASIK, tercantum dalam salah satu buku Lonely Planet; referensi wisata populer untuk pelancong dunia.
Dengan skema adopsi pohon, hasilnya telah banyak mendanai biaya sekolah anak-anak Kampung Merabu dan membantu orang-orang tua. Kelak pohon-pohon yang diasuh secara bersama-sama tersebut akan dinikmati oleh anak cucu mereka.
Komitmen yang tidak bisa diganggu gugat
Awalnya masyarakat Dayak Lebo di Merabu belum mengerti nilai lebih dari hutan yang ada di kampung. Menurut Yan, selama ini warga berkomitmen menjaga hutan semata karena memang di sanalah sumber penghidupan mereka. Segala makanan, seperti buah-buahan, sayur, madu, binatang—pelanduk, payau (kijang), dan babi hutan—sampai tanaman obat-obatan hutan pun ada. Terlebih sumber air alami dari Danau Nyadeng dan sungai jernih yang mengalir dari celah bukit-bukit karst. Intinya, sebisa mungkin jangan sampai perusahaan masuk dan merambah kawasan.
Tatkala perekonomian karet dan sarang burung walet menurun, secara bersamaan ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif baru dalam masa-masa transisi itu. Kunjungan peneliti-peneliti gabungan yang mengkaji jejak prasejarah di gugusan karst, baik asing maupun lokal, menjadi sesuatu yang tak terbayangkan bagi masyarakat Merabu. Pun tamu-tamu datang silih berganti ingin melihat kekayaan alam Merabu.
Melihat ada potensi besar yang bisa didapat dari hutan desa tersebut, kian menguatkan komitmen warga kampung untuk melindungi hutan. Populasi 200-an orang yang bermukim di kampung jelas bukan angka sepadan untuk menjaga kawasan hutan desa seluas 8.245 hektare. Asumsinya, satu orang berarti harus mengawasi 41 hektare lahan.
Yan mengakui keterbatasan sumber daya manusia di kampung untuk patroli hutan. Apalagi pengurus inti LPHD hanya tiga orang, yaitu Asrani (ketua sementara), Ardiyansyah (bendahara), dan dirinya. Pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Tengah kemudian memberi solusi dengan memberdayakan beberapa warga kampung sebagai Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP) dan Masyarakat Peduli Api (MPA). Mereka dibayar dengan dana LPHD untuk khusus terjun ke lapangan dan melaporkan apabila ada orang kerja kayu atau bakar lahan di hutan desa. KPH Berau Tengah dan LPHD akan turun menindaklanjuti laporan tersebut.
Namun, selain patroli rutin minimal sebulan sekali, Yan bilang kalau LPHD punya cara tersendiri yang lebih murah dan sejauh ini terbilang efisien. Mereka melibatkan masyarakat. “Ya, kadang kami ke kebun [atau ke hutan] sekalian lihat. Kalau ada orang kerja kayu di wilayah hutan desa, itu kami tangkap dan kami bawa ke kampung,” papar Yan.
Sejauh ini, dalam catatan LPHD, terdapat 96 meter kubik kayu hasil illegal logging yang tertahan di dalam hutan. Jenisnya beragam, mulai dari ulin sampai bengkirai. Pelakunya perorangan yang datang dari luar kampung. Pelaku yang tertangkap umumnya diberi edukasi dan tidak diberikan tindakan hukuman lebih lanjut.
Artinya, setiap warga kampung juga berarti anggota LPHD. Siapa pun boleh sekalian melakukan pengamatan ketika beraktivitas di kebun atau hutan di dalam kawasan. “Itulah fungsi mereka sebenarnya, untuk menjaga keamanan dan ketertiban hutan ini,” jelas Doni.
Pelibatan gotong-royong oleh LPHD menjadi jalan terbaik untuk makin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kawasan hutan. Termasuk kepada tamu-tamu yang datang. Hutan benar-benar menjadi denyut nadi terpenting untuk Kampung Merabu. Selain sumber makanan, juga terdapat bahan kayu untuk membangun rumah hingga lahan untuk berladang.
Tentu, pemanfaatan sumber daya hutan tidak dilakukan sembarangan. Ada aturan-aturan main yang harus dipatuhi agar sumber daya hutan tetap berkelanjutan. Salah satu tradisi masyarakat turun-temurun, misalnya manugal, dilakukan secara terbatas di area hutan produksi terbatas. Luasnya maksimal satu hektare. Pohon-pohon yang ditebang dan dibakar pun tidak dibiarkan habis. Mereka menyisakan tegakan pohon-pohon besar atau tanaman dengan daun-daun basah di sekeliling, berfungsi sebagai sekat agar tidak merambat dan membakar lahan maupun pohon-pohon penting di sekitarnya. Dalam 2—3 tahun, pohon-pohon di lahan yang ditanami padi gunung akan tumbuh kembali dengan cepat.
“Itulah kenapa kami harus jaga hutan, karena sumber air kami dari situ. Kalau hutan itu rusak, maka sumber air kami juga akan rusak,” terang Doni. “Nanti kami akan sama dengan orang-orang di kota. Sumber airnya tidak ada, sementara kami kaya dengan [hasil] alam.”
Merabu memang bukan satu-satunya kampung yang hidupnya bergantung pada hutan dan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, melihat komitmen dan spirit orang-orangnya, Merabulah yang paling terdepan melindungi hutan. (*)
Foto sampul:
Tampak di kejauhan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat membentang bertopi awan mendung. Selain hutan desa, kawasan karst tersebut menjadi sumber air yang menghidupi masyarakat Merabu dan harus dijaga kelestariannya/Rifqy Faiza Rahman
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.