Events

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri

Perjalanan ke Brenggolo seperti memperjelas sisi pelosok Wonogiri yang kering, terjal, dan terpencil. Namun, kopi menjadi perias wajah baru yang berbeda.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP


Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Yosep Bagus Adi (dua dari kiri), pemilik kedai kopi Wonogirich dan Ivan (memegang topi) ikut mengobrol dengan salah satu peserta Suro Brenggolo/Rony Tri SP

Persis sebelum azan Asar berkumandang, tak kurang dari 30 peserta meramaikan pembukaan Suro (Syukuran Panen Robusta) Brenggolo di “markas” Kelompok Tani (Poktan) Argo Wilis, Dusun Gemawang, Desa Brenggolo, Jatiroto, Wonogiri (18/07/2023). Suro Brenggolo merupakan sebuah acara kolaborasi antara petani kopi setempat dengan komunitas pelaku usaha industri kopi di Wonogiri. 

Menurut Ivan, panitia gabungan dari Wonogirich dan Salaga ID selaku penggagas acara, ada alasan penerapan pembatasan maksimal peserta. Selain karena baru pertama kali, panitia ingin konsep acara sederhana tanpa aktivitas yang terlalu padat dan terjalin hubungan yang hangat antara peserta dan warga.

“Yang kami tidak sangka, dari 30 peserta itu 80% di antaranya berasal dari luar Wonogiri,” kata Ivan. 

Data tersebut menunjukkan antusiasme dan jejaring luas yang menembus batas-batas geografis. Sebagian besar peserta pun tak menyangka ada mutiara kopi tersembunyi di Brenggolo. Bahkan Yosep Bagus Adi, pemilik kedai Wonogirich, terang-terangan menyebut jika kopi sudah mengubah hidup warga dan alam Brenggolo. Sebuah desa di puncak perbukitan yang perlu ekstra hati-hati untuk menjangkaunya karena jalanan ekstrem, berliku, dan terjal. Perkampungan warga itu berbatasan langsung dengan ngarai dalam di sisi selatan yang masuk Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Dari kopi untuk kopi

Puluhan gelas kopi robusta panas langsung tersaji begitu semua orang duduk merapat dan berkumpul di basecamp Poktan Argo Wilis. Tak lupa jajanan tradisional pun beredar, seperti kacang rebus hangat. Suguhan yang harus diakui membantu menetralkan adrenalin dan lambung, usai melibas tikungan sempit dan tanjakan tajam Desa Boto—Brenggolo sepanjang enam kilometer.

Ketua Poktan Argo Wilis, Pak Darmo (53), yang saat itu mengenakan setelan kemeja batik lengan pendek motif biru-cokelat, turut menyambut kehadiran peserta lintas daerah di kampung halamannya. Meski tidak terdengar muluk, tetapi ia mengaku menaruh harapan besar terhadap penyelenggaraan Suro Brenggolo.

“Mudah-mudahan [acara ini] bisa berlanjut. [Tidak lupa] meminta pada Yang Kuasa, berkah, penghasilan lumayan, petani jadi meningkat,” harapnya. 

Sesuai namanya, kegiatan puncaknya berupa tasyakuran, diskusi sembari ngopi robusta khas Brenggolo, dan potong tumpeng dilakukan bertepatan pada malam Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H atau 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Adapun agenda lainnya adalah belajar petik merah dan tur kebun kopi warga di ketinggian sekitar 880 mdpl, serta belajar pengolahan kopi hulu—hilir bersama Yusuf Fauzan (Amunisi Kopi) dan Aprilian Teja (prosesor kopi eksperimental) dari Temanggung, Jawa Tengah.

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Diskusi bersama sebelum syukuran potong tumpeng malam 1 Suro di Brenggolo/Deta Widyananda

Suhu yang menusuk kulit tatkala malam hingga subuh, ditambah cuaca cerah dan berangin, tidak mengurangi kekhidmatan Suro Brenggolo yang tampil bersahaja. Baik yang penikmat maupun bukan, kopi menjadi alat diplomasi yang ampuh untuk merekat pertemanan dan pengalaman baru. Obrolan di luar acara pun berlanjut di sudut-sudut homestay tempat peserta menginap. Berbaur dengan warga pemilik rumah.

Lagi-lagi, gairah yang menguar selama hampir 24 jam acara berlangsung, tumbuh karena menghormati dedikasi tinggi dalam menjaga kualitas kopi dan nama baik Brenggolo. Biaya registrasi sebesar Rp75.000, yang mencakup fasilitas menginap, makan, minum, snack, dan tumpengan; terasa terlalu murah untuk tujuan besar Suro Brenggolo itu sendiri.

Dari generasi ke generasi

Ada satu kesan yang tertangkap dalam penyelenggaraan Suro Brenggolo pertama ini, yaitu suasana egaliter yang terbangun begitu hangat. Tidak ada sekat antara orang tua dan muda. Masing-masing generasi saling menghormati dan selalu ada keinginan untuk belajar.

Anak-anak muda pun sangat mendapat tempat di lini masa perjalanan kopi Brenggolo menjaga keberlanjutannya. Menurut Pak Darmo, jika dalam satu Kepala Keluarga (KK) anggota poktan terdapat anak muda, maka ia harus ikut terlibat bertani kopi di dusunnya.

“Kalau anak-anak muda tidak ikut, kopi Brenggolo nanti akan mati karena tidak ada penerusnya. Kalau anak-anak muda ikut, ‘kan, [tetap ada] petani, ada kedai, [jadi] bisa nyambung terus,” tegasnya.

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Heriyudin, petani kopi anggota termuda Poktan Argo Wilis/Rony Tri SP

Heriyudin (20), anak kandung Pak Yahmin, adalah yang termuda di antara 22 anggota aktif Poktan Argo Wilis. Pada 1997, ayahnya ikut merantau ke Palembang bersama Pak Darmo dan bekerja di kebun kopi. Keduanya merupakan peletak pondasi awal hadirnya kopi di Brenggolo sejak 2007. Bangkit dari ketidakpastian setelah belasan tahun bergulat dengan rendahnya produktivitas dan hasil penjualan cengkih, jagung, dan tanaman lainnya.

Sejak awal hingga akhir acara, Heri—panggilan akrabnya—terlihat menunjukkan peran yang tidak kalah penting dengan senior-seniornya. Termasuk kawan sebayanya, seperti Tito (putra Pak Darmo) dan Bayu (cucu Pak Narimo, yang rumahnya jadi tempat menginap tim TelusuRI). Sejak kecil mereka bernapas dan tumbuh lekat dengan aroma kopi Brenggolo. Dalam waktu tak lama, setidaknya kurang dari satu dasawarsa, di pundak merekalah masa depan kopi Argo Wilis bergantung.

Kopi adalah warisan Brenggolo yang harus terjaga sepanjang masa. Termasuk menjaga hutan-hutan dan sumber air di sekitarnya. Sesuai dukungan dan doa baik Mbah Sadiman (71), peraih Kalpataru Nasional dan Kick Andy Heroes Award 2016, yang hadir langsung memberikan inspirasi sekaligus melakukan “hobinya”, menanam dua bibit pohon beringin di dekat salah satu mata air Dusun Gemawang.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Heri, Jati Diri, dan Kopi