Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Hutan adat Ku Defeng Akrua di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura/Deta Widyananda

Papua. Sebuah pulau di timur Indonesia. Terbesar kedua di dunia setelah Greenland, Denmark. Luasnya mencapai 785.000 km2 yang terbagi ke dua negara dengan ukuran wilayah nyaris sama persis: Indonesia dan Papua Nugini. Dari satelit, pulau ini tampak seperti seekor burung cenderawasih, satwa endemis yang menjadi simbol masing-masing wilayah.

Terdapat garis batas yang memisahkan dengan bentuk hampir lurus nol derajat, kecuali pada bagian garis bujur 141 derajat BT. Terbentang dari timur Kota Jayapura di utara, hingga Merauke di selatan. Tepatnya di kawasan Sungai Fly yang berkelok bagai ular, meliuk di sepanjang sisi timur Boven Digul–Merauke, Papua Selatan. Sebuah batas yang menjadi legasi pendudukan Bangsa Barat, hasil dari klaim dan perjanjian ketat antara Belanda dan Inggris pada 1895. Seperti kita tahu, Belanda menduduki Indonesia, sementara Inggris menduduki Papua Nugini. Jerman menyusul memberi pengakuan enam tahun kemudian. 

Namun, peradaban sejatinya telah terbentuk jauh sebelum bangsa-bangsa Barat atau Republik Indonesia turun ke Tanah Papua. Lebih dari 250 suku besar mendiami bumi cenderawasih. Ini adalah tanah dengan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang amat besar. Kemajemukan yang sangat berharga untuk Indonesia.

Sungguh, kami akhirnya menyadari isu-isu tentang Papua selalu seksi di pembicaraan level mana pun. Mulai dari akar rumput sampai elite, dari persoalan lingkungan hidup hingga sentimen politik, semuanya ingin terlibat dalam kepentingan apa pun untuk Papua. Akan tetapi, TelusuRI memilih jalan “termudah”, yaitu menggelar ekspedisi jurnalistik bernama Arah Singgah. Misi kami sederhana, ingin mengetuk kesadaran hati banyak orang, yang mungkin bahkan belum tahu bagaimana cara memandang Papua.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Masyarakat suku Moi di Kampung Malaumkarta dengan kostum adat saat menampilkan tarian tradisional untuk menyambut Festival Egek Malaumkarta Raya, Sorong. Suku Moi menerapkan aturan zonasi egek yang terlarang diakses untuk menjaga sumber daya alam, baik di hutan maupun laut/Deta Widyananda.

Menemui komunitas adat pejuang hak ulayat

TelusuRI melakukan ekspedisi Arah Singgah untuk menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kerap terabaikan di pemberitaan media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Setelah berkunjung ke enam provinsi selama 2022–2023, tahun ini kami menambah dua provinsi baru.

Di tahun ketiga kali ini, Arah Singgah mengusung tema “Suara-suara dari Timur Indonesia”. Kami singgah di pelbagai wilayah adat untuk mengindahkan dan merekam kisah-kisah upaya masyarakat adat mencari titik keseimbangan dengan alam. Sebab, bayang-bayang ancaman deforestasi akibat eksploitasi dan investasi industri ekstraktif, seperti pembukaan lahan kelapa sawit, minyak bumi, maupun batubara, bisa datang kapan saja. Maka, segala upaya masyarakat adat memperpanjang napas bumi di bagian timur Indonesia ini perlu pelantang agar terdengar dan menyentuh segala lapisan khalayak. 

Kami menghimpun narasi-narasi dan aneka perspektif tentang praktik kehidupan berkelanjutan itu dalam bingkai ekonomi restoratif. Tak terkecuali, tantangan dan tekanan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak ulayat yang digariskan turun-temurun oleh nenek moyang.

Di Kabupaten Sorong, kami menemui sosok-sosok inspiratif yang merepresentasikan kehebatan suku Moi, komunitas adat terbesar di Provinsi Papua Barat Daya. Di tengah masifnya arus modernisasi dan posisinya sebagai pintu gerbang di ujung barat Papua, orang-orang Moi berusaha melestarikan warisan leluhur dengan berbagai macam cara.

Kami bertandang ke rumah kaveling Yuliance Yunita Bosom Ulim di Aimas, Sorong. Perempuan yang akrab dipanggil Yuyun itu mendirikan Sinagi Papua. Sebuah inisiatif kewirausahaan sosial yang menghasilkan produk-produk pangan lokal khas suku Moi. Salah satu yang terkenal adalah bumbu asin nipah.

Berjarak sekitar satu jam berkendara ke timur, kami datang ke dua kampung kecil dengan nama besar. Malagufuk, tempat berkumpulnya fotografer alam liar lintas dunia yang ingin melihat lima spesies cenderawasih; serta Malaumkarta, pusat kebudayaan suku Moi yang masih mempertahankan tradisi leluhur demi menjamin keberlangsungan ekosistem.

Dinamika kehidupan yang agak berbeda kami jumpai di Kabupaten Sorong Selatan. Tempat di mana sagu menjadi komoditas dengan cadangan pangan terbesar di Papua Barat Daya. Di Kampung Bariat, Distrik Konda, masyarakat subsuku Afsya mengajak kami melihat proses pengolahan sagu secara gotong royong. Sementara di pesisir Sungai Kaibus, masyarakat adat Kampung Konda dan Wamargege tengah memperjuangkan pengakuan hutan adat serta meniti jalan kedaulatan pangan lokal dengan hasil udang melimpah.

Perjalanan paling ujung ke Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, membawa kami menemui masyarakat adat suku Namblong. Kami menyaksikan ikhtiar akbar mereka dalam mengelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal lewat pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Mulai dari budidaya vanili, pengembangan ekowisata, hingga perdagangan karbon, BUMMA diharapkan menjadi jalan terbaik untuk mandiri secara ekonomi, tetapi tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan konsesi milik PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan perkebunan kelapa sawit, menjadi tembok tebal yang harus dilawan agar tidak semakin rakus melahap tanah adat Namblong.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Gotong royong mengolah sagu di hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan. Sagu merupakan komoditas pangan pokok asli Papua yang masih dilestarikan dan menjadi sumber ekonomi berkelanjutan masyarakat Papua sampai sekarang/Deta Widyananda

Inilah suara-suara dari timur

Jelas, Papua menjadi tujuan liputan terjauh TelusuRI sepanjang ekspedisi Arah Singgah. Kami benar-benar berjarak ribuan kilometer dari rumah kami di Jawa. Benar-benar jauh secara harfiah. Namun, faktanya kami seperti menemukan rumah yang lain di Papua. Perbedaan ras dan suku tidak menjadi sekat yang membatasi persahabatan baru.

Seperti halnya ekspedisi dua tahun sebelumnya, orang-orang lokal maupun masyarakat adat adalah pemeran utama dalam cerita-cerita kami. Kami hanya menjadi perpanjangan tangan dan corong suara dari mereka yang gigih mempertahankan tanah adat dari ancaman investasi industri ekstraktif. Orang-orang Papua percaya, merekalah benteng terakhir paru-paru dunia di Indonesia, setelah deforestasi yang memprihatinkan melanda Sumatra dan Kalimantan.

Inilah, Arah Singgah 2024. Suara-suara dari timur yang harus Anda dengarkan. Selamat menikmati dan belajar kehidupan dari tutur serta laku orang-orang berhati tulus yang kami temui. Bukan hanya Anda, kami pun turut belajar dan merenungi pesan-pesan kehidupan yang jauh melampaui peradaban.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Potret ceria anak-anak Papua mengolah hasil meramban di hutan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar