Malam hari, di salah satu kafe milik seorang kawan yang berlokasi di Jalan Toddopuli, Kota Makassar, beberapa pemuda tampak mempersiapkan agenda pemberangkatan simulasi mengajar bakal pulau binaan baru sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan anak-anak pesisir dan pulau-pulau di Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep. Saya duduk di tengah-tengah mereka. Malam itu agenda rapat perihal pemaparan hasil assessment pulau oleh dua orang kawan yang berkunjung ke Pulau Pala minggu lalu, serta penyusunan kegiatan yang akan dilakukan saat simulasi akhir pekan ini.

Sikola Cendekia Pesisir, salah satu tempat bertumbuh di luar kampus semenjak tahun 2018. Komunitas ini pertama kali melakukan pengajaran di Pulau Langkai, salah satu pulau terluar di Kota Makassar, lalu berpindah ke Pulau Bonetambu, Pulau Pajenekang, dan kini melanjutkan langkah di pulau binaan baru, Pulau Pala. Saya salah satu yang beruntung, menjadi tim simulasi sebelum pembukaan relawan pengajar yang baru bulan depan. 

Sandar di dermaga pulau kulambing
Sandar di dermaga Pulau Kulambing/Nawa Jamil

Sepanjang aliran Sungai Pangkajene 

Hari Sabtu, saat sinar matahari masih berwarna merah, saya sudah menyusuri jalanan lenggang Kota Makassar menuju rumah seorang kawan di Kecamatan Tallo. Rencananya, kami akan berboncengan menuju Kabupaten Pangkep pagi ini. Tanpa kendala berarti, setengah jam kemudian, kami telah melewati underpass dengan dekorasi ukiran toraja memasuki kabupaten Maros. Hujan deras menghantam tiba-tiba begitu kami berada di perbatasan Maros-Pangkep, membuat kami terpaksa berhenti di toko kelontong terdekat, tidak terlalu lama, hanya sekitar 15 menit.  

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kami sampai di aliran sungai tidak jauh dari Tugu Bambu Runcing Pangkep sekitar pukul 09.00 WITA. Cuaca mendung yang menemani selama perjalanan Makassar—Pangkep berubah cerah begitu kami menyusuri deretan kapal sepanjang aliran sungai. Kapal yang akan mengantar kami ke Pulau Pala merupakan kapal Pulau Kulambing dengan kapasitas maksimal 15 orang;  bentuk jolloro memanjang dengan perpaduan warna kuning dan putih.

Pagi itu kami berangkat sekitar pukul sebelas tepat. Bagian depan kapal diisi tumpukan tabung gas hijau 3 kg, berbagai kantong plastik berisi bahan makanan, cemilan anak-anak, sebagian besar merupakan keperluan harian di Pulau Kulambing. Bersama dengan kami, saya dan seorang teman, ada sekitar enam orang perempuan warga Pulau Kulambing yang baru selesai berbelanja di pasar sentral Pangkajene. 

Air di sepanjang aliran sungai yang langsung terhubung ke laut ini berubah semakin biru dan jernih begitu kami melewati sungai dengan pohon-pohon nipah di sepanjang alirannya. Langit semakin terik. Terpal yang terpasang di atas kepala kami tidak mengurangi teriknya matahari sepanjang perjalanan laut menuju Pulau Kulambing, begitupun dengan ombak besar siang hari dengan percikan yang memasuki lambung kapal beberapa kali. 

Kami berlabuh di dermaga Pulau Kulambing sekitar pukul 11.12 WITA. Anak-anak ramai memadati dermaga pulau yang tidak terlalu besar itu. Beberapa membantu para penumpang naik ke dermaga, sementara Pak Mansyur selaku pemilik kapal sibuk mengangkut belasan tabung gas ke atas dermaga. Satu kapal nelayan juga bersandar dan mengangkut dua balok es besar dari kapal yang kami tumpangi kemudian bergerak menjauh. Kesibukan di dermaga saat kapal dari kota berlabuh itu berlangsung sekitar dua puluh menit. Setelah isi kapal kosong-melompong, Pak Mansyur pun kembali menghidupkan mesin kapal, mengantar kami ke Pulau Pala yang sudah terlihat. 

Dermaga Pulau Pala
Dermaga Pulau Pala/Nawa Jamil

Tepat tengah hari kami tiba di dermaga Pulau Pala. Dua orang kawan yang telah sampai sehari sebelumnya tampak menunggu kedatangan kami di dermaga. Hanya mereka berdua siang itu, kontras dengan suasana dermaga Pulau Kulambing. Pulau ini bisa terbilang sepi dibandingkan pulau-pulau yang pernah saya datangi sebelumnya di wilayah Kota Makassar.

Begitu turun dari kapal dan membayar masing-masing Rp25.000 per orang, saya bersama ketiga kawan lainnya berjalan menyusuri jalan utama pulau berupa susunan batako dengan pasir putih pantai. Tak lupa salah seorang teman menunjukkan sekolah dasar tempat mereka melakukan asesmen dan simulasi mengajar pagi tadi. 

“Ini sekolah dasarnya,” terang salah seorang teman. 

Sekolah dasarnya terletak di sisi kiri jalan dengan struktur bangunan yang terlihat cukup baik dari luar. “Jumlah siswanya berapa, Kak?”

“23 orang total dari kelas satu sampai kelas enam.” 

Kami berjalan kaki tidak terlalu lama, berhubung pulau ini tidak terlalu luas, waktu tempuh dari dermaga ke rumah yang akan kami tinggali hanya sekitar 5 menit. Selama tiga hari, kawan-kawan tim simulasi tinggal di rumah Kepala Dusun Pulau Pala. Begitu sampai, empat orang teman lainnya tampak tertidur pulas di ruang tengah, terlihat lelah selepas kegiatan mengajar pagi tadi.

Saya dan seorang teman yang baru tiba siang itu, langsung mengambil alih kerja dapur lalu menyiapkan makan siang. Tidak rumit, hanya nasi putih hangat, sambel, mi instan, telur dadar, dan ikan bakar dari tuan rumah yang baik hati. Siang itu kami mengisi tenaga persiapan aktivitas sore yakni assessment kesehatan dan lingkungan pulau. 

Kapal Penumpang Menuju Pulau Pala
Kapal penumpang menuju Pulau Pala/Nawa Jamil

Pulau Pala dan abrasi 

Mendengar kata ‘pulau’ dan ‘pala’, saya dan mungkin sebagian besar orang pasti akan langsung teringat dengan Kepulauan Banda yang terkenal dengan palanya. Namun Pulau Pala di gugusan kepulauan Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan ini bukanlah penghasil pala. Di sini, sebagian besar nelayan berprofesi sebagai penangkap kepiting, bukan nelayan ikan pada umumnya, pasalnya tidak ada ikan di perairan sekitar pulau ini akibat rusaknya terumbu karang di sekitarnya. 

Sore hari lepas salat Ashar, rombongan kami pun melakukan assessment kesehatan, memulainya dengan mendatangi sekelompok warga yang tengah membuat rakkang, alat penangkap kepiting tradisional. Saat tengah mewawancarai beberapa warga terkait aspek kesehatan, mereka justru terus mengeluhkan abrasi yang menggerus pesisir pulau mereka, terutama di sisi timur pulau, tepat sepanjang sisi kanan dermaga tempat kami berlabuh siang tadi. 

Abrasi, permasalahan hampir di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia. Fenomena alam ini telah mengancam warga Pulau Pala dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah rumah yang dulu berdiri di bibir pantai, kini setengahnya telah hancur terhantam ombak. Selain itu, tampak bakal pulau baru di utara pulau. Fenomena abrasi ini telah sering dikeluhkan oleh warga di sana.

“Iya, Nak. Saya harapanku bisa lebih diperhatikan lagi sama pemerintah. Dibuatkan pemecah ombak seperti di belakang itu,” kata seorang warga yang sempat berbincang dengan kami. 

Saat ini, sisi barat Pulau Pala telah dibuatkan pemecah ombak, tersusun dari pilar kayu dan susunan batu-batu kali besar. Kami mendatangi beberapa rumah secara acak, sebab banyak rumah-rumah yang telah kosong di pulau ini. Kata beberapa warga, kebanyakan nelayan pria pergi mengadu nasib di Kendari, sebab tangkapan ikan di sekitar pulau mereka ini sangatlah sedikit.

Setelah mendatangi beberapa warga, kami pun mendatangi pihak Puskesmas Pembantu di pulau ini. Ibu bidan sebagai tenaga kesehatan yang menetap di sini menyambut kami dengan tangan terbuka. Beliau dengan senang hati memberikan data-data sekunder terkait penyakit dominan warga di pulau ini, juga saran terkait kolaborasi program kesehatan di masa mendatang.

Harmoni alam dan manusia

Listrik yang hanya menyala dari pukul 18.00 sampai 22.00 dan sinyal yang hanya ada di ujung dermaga membuat kami banyak menghabiskan waktu dengan bercengkrama dan bermain di sekitar dermaga. Kami berenang, lompat gaya, dan tentu saja mengambil banyak foto-foto yang memamerkan indahnya alam Pulau Pala. 

Anak-anak yang ditemui oleh tim simulasi mengajar pagi tadi juga ikut berenang bersama kami sore itu. Benar-benar menyenangkan, sehingga kami baru pulang saat listrik sudah menyala dan pengeras suara surau berbunyi.  

Dermaga Maccini Baji di Kabupaten Pangkep
Dermaga Maccini Baji di Kabupaten Pangkep/Nawa Jamil

Kembali Pulang 

Sayang sekali saya hanya sehari menikmati Pulau Pala. Keesokan paginya setelah malam yang kami habiskan dengan evaluasi kegiatan dan bercengkrama lepas di dermaga hingga tengah malam, kapal yang sudah kami sewa mengabarkan berangkat dari Dermaga Maccini Baji pada pukul 08.00 WITA. Tidak banyak yang kami lakukan pagi itu, selain packing, membereskan ruang tengah dan kamar di lantai dua tempat rombongan kami tidur, juga berpamitan dengan kepala dusun sekeluarga. 

Akhirnya pukul sekitar pukul sembilan, kapal kami bersandar di dermaga Pulau Pala. Beberapa anak-anak kecil mengantarkan kepergian kami. Berbeda dengan ombak sewaktu berangkat ke Pulau Pala kemarin siang, kali ini laut jawa begitu tenang bersama sinar matahari cerah yang semakin meninggi. Akhirnya pukul sepuluh, kami pun tiba di Dermaga Maccini Baji, Kabupaten Pangkep, bersiap menempuh perjalanan satu setengah jam kembali ke Kota Makassar dengan segala kesibukan yang menunggu.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Tinggalkan Komentar