TRAVELOG

Akhir Cerita Rumar Amor 25

Seperti biasa, pagi menjelang siang, suasana rumah yang saya datangi tampak sepi. Letaknya tak jauh dari Pasar Oro-Oro Dowo, Kota Malang, sebuah pasar yang sudah ada sejak masa kolonial. Begitu memasuki pekarangan, saya menangkap hal yang berbeda. Halaman depan rumah tampak begitu terang dibanding seminggu sebelumnya saat saya datang ke sini Januari lalu, bersama teman-teman dari komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Matahari seolah leluasa memancarkan sinarnya tanpa terhalang tanaman. Saya menduga beberapa tanaman telah dipangkas.

Belum sempat saya membunyikan bel, daun pintu terbuka. Dengan hangat diiringi senyum tipis, Irawan Paulus (Om Ir) sang penghuni rumah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan saya. Sembari duduk, saya mengedarkan pandangan. Lagi-lagi ada yang berbeda. Ruang tamu terlihat lebih lapang karena isinya telah berkurang. Bisa dibilang ini kunjungan sebelum rumah ini beralih kepemilikan.

“Kami keluar dari rumah ini maksimal tanggal 25 Januari,” ucap Om Ir kala itu. Mendengarnya, jujur hati saya tak keruan. 

Akhir Cerita Rumar Amor 25
Irawan Paulus bersama istrinya di depan rumah/Dewi Sartika

Milik Pribumi Terdidik

Menjelang Natal, tak ada hal istimewa yang dilakukan Om Ir bersama istrinya, Shanti Indrasari. Tidak ada pohon Natal maupun ornamen-ornamen khas hari besar milik umat Kristen tersebut di rumah. Selain pergi ke gereja, keduanya hanya menyantap makanan pemberian tetangga sekitar rumah. Tak hanya satu, terkadang beberapa makanan bisa mereka terima. Saking banyaknya, Om Ir mengaku butuh beberapa hari untuk menghabiskan makanan tersebut mengingat hanya mereka berdua yang ada di rumah.

“Dulu, saat kakek masih ada, biasanya kami akan memasang pohon Natal berukuran kecil di salah satu ruangan. Namun, sejak kakek meninggal tradisi itu tidak kami jalankan lagi,” terang Om Ir sembari menyebut ruang yang dulu pernah digunakan untuk usaha pos.

Mendekati hari kepindahan, sejumlah foto keluarganya tak lagi menghiasi dinding ruang tengah. Om Ir telah mencopotnya. Saya masih ingat ketika dalam sebuah tur heritage lebih dari setahun lalu, salah satu dinding ruangan tengah dipenuhi dengan pigura-pigura yang memajang anggota keluarga besar Om Ir. Salah satunya, Raden Slamet, kakek Om Ir dari pihak ibu.

“Alasan kenapa Pak Slamet ini bisa punya rumah di sini karena dulunya kakek saya itu dokter hewan sekaligus Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pertama di Kota Malang,” kenang cucu dari anak ketiga Raden Slamet bernama Lestari yang menikah dengan Sentot Prajitno.

Raden Slamet lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 1899. Ketika kesempatan menempuh pendidikan untuk kalangan pribumi cukup terbatas, tidak demikian dengannya dan saudara-saudaranya. Sebab, ayahnya memangku jabatan sebagai wedana. Kemudian ia melanjutkan pendidikan dokter hewan di Bogor (kelak menjadi Institut Pertanian Bogor).

Akhir Cerita Rumar Amor 25
Potret foto hitam putih Raden Slamet dan istrinya/Irawan Paulus

Selesai meraih gelar dokter hewan, Raden Slamet lalu ditugaskan ke berbagai daerah di Hindia Belanda. Daerah pertamanya bertugas adalah Balige. Pada warsa 1925, Raden Slamet menikah di Madiun. Setelah memiliki anak, dia ditugaskan ke Kamal, lalu Bangkalan dan Sumenep. Dari Madura, ia kemudian pindah ke Kandangan pada 1926 lalu bertugas di Banjarmasin. Terakhir, ia ditugaskan ke Watampone (Sulsel) pada 1930. Anak-anaknya pun lahir di daerah-daerah tersebut. Mengingat akses pendidikan yang tak selengkap di Jawa, Raden Slamet memutuskan untuk kembali ke Jawa supaya anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Pada 1930 juga, Raden Slamet pindah ke Malang sesudah diterima kerja sebagai kepala RPH.

Ketika itu RPH berada di dekat kawasan yang jalan-jalannya dinamai dengan nama-nama gubernur jenderal sebelum pindah ke daerah Gadang. Karena statusnya inilah, Raden Slamet berkesempatan memiliki rumah di permukiman yang didominasi orang-orang kulit putih. 

“Jadi, ini bukan rumah pertama yang ditempati. Nenek saya kalau cerita selalu menekankan, masuk ke rumah ini tahun 1935. Jadi, enggak tahu, tahun 1930–1935 tinggal di mana.”

Raden Slamet bukanlah satu-satunya pribumi yang tinggal di kawasan ini. Kata Om Ir, ada juga pribumi lain bernama Sukarjo Wiryopranoto. Sahabat baik Presiden Sukarno yang meninggal di Amerika Serikat itu tinggal di rumah nomor 5.

Meskipun hidup di masa yang masih menerapkan kelas sosial, Raden Slamet tak pernah merasakan diskriminasi sewaktu tinggal di permukiman. Bahkan menurut Om Ir, dari cerita yang ia dapat dari sang nenek bernama Wijarti, keluarga Raden Slamet justru kenal baik dengan para meneer dan mevrouw sekaligus sering saling menyapa.

“Menurut tebakan saya, jabatan kepala rumah potong hewan itu eselonnya cukup tinggi. Artinya, diakui oleh pemerintah kotapraja sehingga, ya, mungkin di mata tetangga Pak Slamet itu pegawai kotapraja yang golongannya lumayan. Apalagi kakek dan nenek saya fasih bahasa Belanda, jadi enggak mungkin para tetangga ngrasani (membicarakan) kakek saya dengan bahasa mereka. Sementara nenek saya bisa bahasa Jawa, jadi bisa ngrasani mereka,” ujarnya tertawa kecil.

Raden Slamet pensiun sebagai kepala RPH pada 1958. Selanjutnya ia pernah menjadi dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga di pengujung tahun 1950-an dan awal 1960-an. Tak hanya itu saja, ia juga mengajar di Sekolah Tinggi Kedokteran Malang (STKM), embrio Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Ia wafat tahun 1980.

  • Akhir Cerita Rumar Amor 25
  • Akhir Cerita Rumar Amor 25

Saksi Peristiwa Bersejarah

Sebuah plakat berlambang Kota Malang terpasang di bagian depan rumah. Jika tak jeli, bisa jadi pengunjung Rumah Amor 25 akan melewatinya begitu saja karena tertutup rimbun daun. Isinya mengenai penetapan rumah ini sebagai cagar budaya tahun 2018. Tertulis juga perusahaan arsitektur Belanda “Smeets, Kooper & Hooger Beets” sebagai kontraktornya. 

Berada di bergenbuurt (kawasan yang jalannya dinamai dengan nama-nama gunung), kediaman Om Ir berada di Jalan Anjasmoro nomor 25. Itulah mengapa sering disebut Rumah Amor 25. 

“Rumah ini sesuai data-data lama, area Bouwplan 7 ini dikerjakan antara tahun 1934 dan 1935. Barengan sama Gereja Ijen.”

Berusia hampir satu abad, tentu saja Rumah Amor 25 menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah. Berdiri di atas lahan seluas 616 meter persegi, bangunan ini telah mengalami tiga periode peristiwa sejarah: zaman kolonial Belanda, masa kedatangan Jepang, dan pascakemerdekaan. 

Ketika pendudukan Jepang, Rumah Amor 25 sempat menjadi kamp interniran bagi perempuan beserta anak-anak Belanda. Keluarga Raden Slamet pindah ke sebuah rumah di Jalan Ijen yang dekat dengan Jalan Anjasmoro. Kehidupan orang-orang Belanda di kamp interniran berbanding terbalik dengan kehidupan mereka sebelum Jepang masuk. Mereka harus berdesak-desakan tinggal dengan sekitar 40 orang lainnya dalam satu rumah sekaligus memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Listrik pun dipadamkan Jepang.

Usai kekalahan Jepang diikuti perang kemerdekaan, Raden Slamet menjabat sebagai Kepala Palang Merah Karesidenan Malang. Ia sekeluarga mengungsi ke Malang Selatan, tetapi tertangkap kemudian dijebloskan ke penjara Lowokwaru. Selama mengungsi, Raden Slamet menitipkan rumahnya kepada seseorang yang bekerja di versluis (biro penyewaan rumah), yang kemudian disewa keluarga Sahelangi dari Ambon.

Selepas tahun 1950, Raden Slamet sekeluarga tidak tinggal di Rumah Amor 25 karena Pemkot Malang memberikan sebuah rumah di Jalan Tanggamus. Namun, ia meminta kembali Rumah Amor 25 yang masih ditempati keluarga Sahelangi dan meminta mereka tidak meneruskan sewanya. Sesudah keluarga Sahelangi menemukan rumah pengganti, Raden Slamet pun kembali ke Rumah Amor 25.

Akhir Cerita Rumar Amor 25
Plakat cagar budaya Rumah Amor 25/Dewi Sartika

Dijual atas Kesepakatan Keluarga

Sayangnya, plakat cagar budaya yang terpasang seolah tak ada artinya lagi. Rumah ini mengalami nasib menyedihkan seperti kebanyakan bangunan kolonial lainnya, dijual. Status cagar budaya, rupanya tak cukup kuat mengikat rumah ini agar tidak dijual.

“Bentuk rumah ini tidak berubah sama sekali. Yang di samping itu aslinya teras lalu dikasih atap kemudian jadi ruangan. Rumah ini cermin dari rumah yang di sebelah rumah ini,” terang Om Ir mengenai salah satu ruangan dari rumah bergaya nieuwe bouwen ini.

Atas kesepakatan keluarga besar, Rumah Amor 25 dijual. Begitulah Om Ir mengemukakan alasannya. Wajahnya terlihat lepas saat bercerita. Ia mengaku sudah mengikhlaskan rumah ini dimiliki orang lain. Setidaknya yang membuat hatinya tenang, pemilik baru ternyata penyuka bangunan-bangunan tua.

“Saya sudah menyatu dengan rumah ini dari kecil dulu, saya zaman SD kalau main-main itu di belakang rumah. Dulu, dapur kami itu dapur kayu, kompor tungku, masukin kayu ke tungku. Tiap pagi kayak gitu kesenangan saya, apalagi saat itu masih dingin,” kenangnya.

Dengan segala kenangan yang dimilikinya, sebenarnya Om Ir mengaku berat harus meninggalkan rumah ini. Namun demikian, beberapa bulan ini ia sudah bisa melepasnya meski pada awalnya memberontak.

“Saya ingat pesannya nenek saya. Rumah ini harus jadi rumah keluarga di mana tempat kumpul keluarga. Saya berusaha menanamkan pikiran dalam diri saya, bahwa giliran saya jaga rumah ini sudah selesai, sehingga saya bisa melawan diri saya sendiri bahwa kenyataannya saya harus tetap pergi daripada sakit sendiri.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1)