Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo

Akhir-akhir ini Afghanistan kembali menjadi perbincangan internasional. Setelah Amerika Serikat resmi menarik pasukannya atas perintah presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Taliban, sebagai faksi politik, bergegas merebut seluruh penjuru Afghanistan secara perlahan-lahan. Akhirnya, dalam waktu singkat pemerintahan Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban.

Sebagai seorang petualang yang sudah mengelilingi Afganistan dan tinggal di sana, Agustinus Wibowo, menceritakan kisah-kisah yang didapatnya dalam buku Selimut Debu, Titik Nol, Garis Batas, dan buku terbarunya: Jalan Panjang untuk Pulang. Afghanistan baginya seperti rumah kedua setelah Indonesia. Keramah tamahan, keindahan alamnya yang memang memukau meski harus diselingi konflik tiada habis.

Buku karya Agustinus Wibowo
Buku karya Agustinus Wibowo via thejakartapost.com

Di mata orang-orang awam, mendengar nama Afghanistan saja sudah membuat bergidik, membayangkan rudal-rudal beterbangan di atas kepala, suku-suku nomaden yang saling berperang, hingga debu dan padang pasir yang membentang. Mungkin bayangan seperti itu tidak sepenuhnya salah, representasi negatif tersebut membuat kita enggan menilik Afghanistan lebih jauh. Hal itu tak berlaku bagi Agustinus, semakin tertutup negeri itu, maka dia akan semakin penasaran untuk menyingkap tabir yang menutupnya.

Alamat Afghanistan yang ditutupi oleh keabu-abuan, segera ditempuh oleh Agustinus dengan perjalanan melintasi Beijing-Urumqi menggunakan kereta api. Dari Urumqi kemudian ke Pakistan. Orang Pashtun, yang merupakan penduduk mayoritas Afghanistan, ditemuinya saat berada di Rawalpindi, Pakistan. Menurut Agustinus, perawakan orang Afghan persis seperti yang dia lihat di televisi; berjenggot lebat dengan mata yang tajam memandang dan tampak keras. Mereka menawarkan Agustinus untuk datang ke negerinya, melihat langsung keindahan Afghanistan dari mata kepala sendiri.

Keinginan Agustinus yang menggebu-gebu untuk mengunjungi Afghanistan berbuah manis, setelah mendapatkan visa, Agustinus segera melenggang ke perbatasan Pakistan-Afghanistan yang terkenal sebagai daerah tak bertuan, liar, dan buas. Memasuki Afghanistan, pengalaman yang Agustinus rasakan tampak berbeda dengan Pakistan, negeri ini lebih mundur beberapa puluh tahun ke belakang, Agustinus dikerumuni layaknya makhluk asing yang baru turun ke bumi. Begitulah kondisi Afghanistan pada tahun 2003. Debu menjadi santapan sehari-hari dalam udaranya. Bahkan dalam tulisannya, Agustinus mengungkapkan bahwa debu tidak hanya bermakna “debu” dalam kosa kata Pashtun, tetapi juga tanah air. 

Afghanistan seperti halnya negara kita, negeri yang terdiri dari multietnis. Tidak gampang menyatukan berbagai suku dalam satu sebutan “Afghanistan”. Dalam tulisannya, Agustinus juga mengatakan bahwa garis-garis batas yang ada di Afghanistan maupun Indonesia sama-sama tercipta dari campur tangan bangsa asing. Garis batas yang dulu tercipta, hingga kini masih kita pakai sebagai garis batas negara, dan sebagai garis batas antara “aku, kamu, dan kita”. 

Afghanistan terdiri dari berbagai macam etnis semisal Pashtun, Tajik, Hazara, Uzbek, Turkmen, Kyrgyz, Chahar Aimak, Keramah-tamahan warga Afghanistan, dari cerita Agustinus di bukunya adalah salah satu yang terbaik di dunia. Bagi masyarakat Afghanistan, keramahan adalah jalan hidup; melayani tamu dan melindungi tamu, meski harus mengorbankan nyawa. 

Selang tiga tahun kemudian, Agustinus kembali mengunjungi Afghanistan, banyak hal yang berubah, termasuk reaksi kepada orang asing yang sudah mulai berubah menjadi banyak curiga, bahkan terjadi penculikan-penculikan di beberapa tempat. Kabul, yang dulunya merupakan kota aman menurut Agustinus, mulai terjadi banyak ledakan bom, Kemodernan gedung-gedung di Kabul ternyata tidak diimbangi dengan keamanan yang meningkat. Perang tentu saja terus berjalan tanpa peduli apakah Afghanistan sudah modern ataupun masih kuno.

Tahun 2021, wajah Afghanistan sudah berbeda dari 10 tahun yang lalu. Prediksi pemerintah Amerika Serikat memperkirakan Taliban akan menguasai Afghanistan dalam hitungan bulan ternyata meleset. Hal ini memicu eksodus besar-besaran warga Afghanistan ke luar negeri dengan berbagai cara. Mereka takut Taliban merenggut kebebasan yang mereka yang telah dibangun semenjak kedatangan Amerika Serikat. Banyak korban berjatuhan, baik karena sergapan dari Taliban, ataupun berguguran karena ingin keluar negeri.

Agustinus menganggap konflik yang terjadi di Afghanistan sangat kompleks untuk dilihat sebagai hitam putih. Jangan gampang memihak hanya dari berita-berita yang berseliweran di media. Konflik antar suku yang sudah berurat nadi semenjak kehidupan nomaden terus berlangsung hingga kini. Hendaknya kita mengambil sikap tidak memihak pada konflik mereka pada satu golongan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar