Perlu waktu beberapa hari untuk mengendapkan buku Syair Semografi. Selesai membacanya, sebenarnya langsung muncul keinginan untuk menuliskan sesuatu tentang buku ini. Tapi, entah kenapa, meskipun banyak yang terbesit di kepala, saya tak bisa.
Dalam selubung kesederhanaannya, buku ini justru kompleks dan diselimuti aura yang kuat. Halaman demi halamannya membius. Rasanya seperti membaca novel-novel realisme-magis karya Gabriel Garcia Marquez, Ben Okri, atau Andrea Hirata. Nuansanya: sanguine.
Bagaimana tidak jika di halaman-halaman pertama saya langsung dihadapkan pada puisi-pusisi Gaudiffridus “Godi” Asnaat, seorang guru SD di pelosok Papua yang mengajar di kampung yang jauh sekali dari ingar-bingar modernitas.
Dan, puisi-puisinya adalah cerminan perjuangan. Kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait, begitu sarat ratapan, harapan, dan impian. Mata yang mengembun dan senyum haru adalah tepuk tangan yang saya berikan untuk puisi-puisi Pak Guru Godi.
Puisi-puisi dari beranda Indonesia
Selain pilihan-pilihan katanya yang dalam dan menyentuh, yang membuat puisi-puisi Pak Guru Godi istimewa adalah konteksnya.
Sebagian besar puisi itu ditulis di Kampung Semografi, Distrik Web, Kabupaten Keroom, Provinsi Papua yang hanya selemparan batu dari perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Terus terang, Semografi adalah kata baru dalam kamus saya. (Malah, semula saya menyangka bahwa kata “semografi” ada kaitannya dengan ilmu tentang tanda, dan Syair Semografi adalah sebuah buku yang ndakik. Ternyata saya keliru.) Tentu saja saya penasaran. Sayangnya, Google pun ternyata belum terlalu mengenal Kampung Semografi.
Dari informasi yang terbatas itu, saya jadi tahu bahwa dari Ubrub di Distrik Web perlu waktu sekitar enam jam untuk ke Semografi dengan berjalan kaki. Perkara apakah Ubrub-Semografi dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, tak saya temukan jawabannya di mesin pencari.
Memang sudah ada yang menandai Semografi di Google Maps. Namun, belum tersedia rute “direction” dari/ke mana pun. Ironi. Terletak di beranda depan Indonesia, Semografi malah seperti terisolasi.
Lantas bagaimana suara-suara dari Semografi itu bisa dikumpulkan dalam sebuah buku? Puisi-puisi itu dikirimkan Pak Guru Godi via pesan pedek (SMS) kepada Kaka Dayu Rifanto, penggagas @Bukuntukpapua, yang dikenalnya ketika menggalang donasi buku untuk rumah baca yang dibangunnya, “Jendela Semografi.”
Tapi, jangan bayangkan Pak Guru Godi mengirimkan puisi-puisi itu sambil rebahan di atas kasur empuk. Ia harus berjalan terlebih dahulu selama sekitar satu setengah jam untuk mencari sinyal ponsel!
Pak Guru Godi tidak sendiri
Syair Semografi tak hanya berisi puisi-puisi Pak Guru Godi. Ada juga puisi-puisi Carlos Pull (murid Pak Guru Godi yang semakin semangat belajar setelah ada rumah baca “Jendela Semografi”), puisi-puisi Rini Irmayasari (penulis catatan perjalanan yang pernah terpilih menjadi salah seorang emerging writers fellowship awardees di Makassar International Writers Festival 2012), kumpulan cerita pendek inspiratif tentang literasi, serta kumpulan wawancara tentang pengalaman pertama membaca buku.
Semula saya mengira tulisan-tulisan lain dalam Syair Semografi akan membuat buku ini tidak seimbang. Pasti tidak mudah untuk menyandingkan puisi-puisi yang subtil dengan cerita pendek dan kumpulan wawancara yang jelas lebih gamblang.
Namun saya keliru. Tulisan-tulisan lain dalam Syair Semografi juga tak kalah mengharukan, misalnya saja cerita Arnold Belau yang waktu kecil hanya punya akses terhadap buku-buku program pemberantasan buta aksara.
Pengalaman Manfred Kudiai yang berjudul “Perjumpaan Tak Terduga dengan Kahlil Gibran” juga tak kalah mengharukan. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan jurnalis di media daring Papua itu pertama kali “berjumpa” dengan Kahlil Gibran di tong sampah!
Tulisan-tulisan lain dalam Syair Semografi, sama seperti puisi-puisi Pak Guru Godi, membawa semangat yang sama, yakni semangat untuk mengembangkan literasi dan pendidikan di Papua dan, lebih luas lagi, di Indonesia bagian timur.
Semuanya ibarat penyemangat bagi Pak Guru Godi untuk terus berkarya di Papua. Para penulisnya seolah-olah berkata: “Tetap semangat, Pak Guru Godi. Engkau tidak sendiri.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.