Karena belum membaca cerita pendek Risda Nur Widia—”Wow! Ini Jadinya Jika Pria Menyembunyikan Kata Cinta Sendiri di Dunia”—yang menginspirasi drama dalam Jagongan Wagen edisi April, saya datang ke PSBK Jumat kemarin tanpa digelayuti ekspektasi apa pun.
Tiba di padepokan lima menit menjelang acara dimulai, saya dan Nyonya melipir ke barisan belakang, ke sudut dekat jendela. Di balik jendela, Bagong Kussudiardja perak sedang khusyuk mengantisipasi pertunjukan malam itu.
Alunan lagu-lagu wajib nasional mengudara ketika kami tiba. Namun, menjelang pertunjukan dimulai, suara itu perlahan-lahan memudar. Bohlam-bohlam yang menyinari bangku penonton dipadamkan. Lampo sorot ditujukan hanya ke gelanggang. Lalu, suara pembawa acara memberi jalan pada masuknya kelima aktor Pertemuan Kita.
Perdebatan soal penghapusan kata “cinta”
Pada babak perkenalan, kelima aktor muncul satu per satu ke dalam ruangan membawa masalah mereka masing-masing. Tapi, fase “perkenalan” yang intens itu rasanya berakhir terlalu cepat. Sebentar saja, Pertemuan Kita langsung mengalami eskalasi tensi.
Padahal, mereka sebenarnya hanya membahas apakah sebaiknya Peraturan Daerah (Perda) Penghapusan Kata “Cinta” dicabut atau tidak. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa kata “cinta” mesti dihapuskan. Alasannya absurd: sebab, kata cinta dituduh menjadi biang kriminalitas. (Barangkali inilah cara para seniman muda tersebut menyindir kondisi sosial-budaya kontemporer di Indonesia.)
Semakin lama perdebatan kian sengit. Kelima tokoh kita—seperti yang sudah dapat diperkirakan dari susunan meja-kursi—terbagi menjadi dua kubu. Volume suara makin meningkat, suasana makin riuh.
Semestinya pertunjukan itu bisa berakhir dramatis ketika kelima orang tokoh itu mendadak kehabisan kata sehingga suasana tiba-tiba hening—klimaks. Tapi, drama itu malah diperpanjang oleh kemunculan kru stasiun TV Kabar Kabur yang tiba-tiba muncul mewawancarai kelima tokoh drama itu satu per satu.
Lucu memang, dan satiris. Namun, akhir yang komikal ini menurut saya hanya menggoyahkan struktur Pertemuan Kita yang sudah telanjur kokoh. Bagi saya yang menonton, rasanya seperti dipaksa melakukan senam pendinginan ketika badan masih panas dihajar gerakan inti SKJ.
Terbius adegan pertama
Dari keseluruhan drama Pertemuan Kita, yang paling saya sukai justru adalah adegan pertamanya.
Itu adalah adegan ketika tokoh Anna pertama kali muncul di ruang pertemuan yang masih kosong. Sambil memegang cangkir hijau, ia masuk dengan air muka gelisah. Semula, saya kira ia kesal karena keterlambatan para koleganya untuk datang ke pertemuan. Ternyata, ia hanya sedang banyak pikiran.
Anna pun bermonolog. Banyak hal yang dibahasnya. Bahkan, ia sempat menyinggung soal Jean-Paul Sartre dan kebebasan manusia.
Lalu, kenapa adegan ini jadi mengagumkan? Sebab, belakangan saya paham bahwa monolog itu hanya terjadi dalam pikiran Anna. Pasalnya, ketika tokoh Toro sang ilmuwan muncul, Anna terkesan sudah sedari tadi melamun. Toro sampai sedikit berteriak menyapa Anna. Bagi saya, ini radikal—jenius.
Bukan “orang lain adalah neraka”
Karena judul drama ini adalah Pertemuan Kita dan di awal Anna menyentil Sartre, saya kemudian jadi menduga-duga bahwa yang akan ditonjolkan dalam drama ini adalah gagasan Sartre bahwa “orang lain adalah neraka.”
Ternyata tidak. (Setidaknya tidak menurut saya.) Kalau memang pesannya adalah “orang lain adalah neraka,” tak mungkin perdebatan itu berlangsung biasa-biasa saja. Pasti akan ada sebuah kejutan yang akan mengombang-ambingkan pikiran penonton, yang akan membuat pemirsa tercenung dalam perjalanan pulang. Eksistensialisme Sartre ternyata hanya pelengkap.
Selain itu, yang saya sesalkan adalah tidak terbangunnya adegan imajiner yang menghipnotis dalam kepala saya sebagaimana yang muncul sewaktu menonton 12 Angry Men atau The Man from Earth.
Saat melihat 12 Angry Men, kekuatan dialognya berhasil membawa saya ke TKP pembunuhan. Ketika menyaksikan The Man from Earth, dalam kepala saya terbentuk deretan gambar bergerak tentang seorang manusia gua yang hidup belasan ribu tahun, dan ternyata adalah seorang tokoh dalam Bibel, meskipun film itu didominasi oleh monolog.
Satu-satunya adegan Pertemuan Kita yang berpotensi untuk menghipnotis adalah adegan tentang kemunculan Anna. Sayangnya, itu hanya adegan pembuka.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.