Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman

“The journey is the destination.”

Dan Eldon

Bayangan tubuh kami sudah memanjang ke timur saat menjejakkan kaki di pasir putih pulau yang berada di seberang Pelabuhan Pototano ini. Ransel dan peralatan snorkeling segera diturunkan dari kapal. Setuntas melempar muatan maka tak berlama-lama kapal itu segera meninggalkan kami berdua, saya dan asong. Saya takjub, pantai dengan gradasi kristal bening sampai biru tua, saujana mata memandang hanya rumput hijau keemasan bergoyang diterpa angin laut dengan latar bukit kecil meruncing.

Swedia, Sampah, dan Kenawa

Asong sudah tidak sabar untuk basah. Setuntas membongkar muatan di hut yang tersedia di sepanjang pesisir pantai, ia segera memasang snorkel dan terjun ke air. Saya memilih untuk susur pantai dan mengelilingi pulau. Dahi langsung mengernyit ketika menemukan banyak sekali sampah di sudut-sudut pantai.

Beberapa jam yang lalu di teras rumahnya, Ibu Arif, penjaga Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, bercerita tentang komentar pejalan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Kenawa. Mereka mengaku langsung jatuh cinta dengan keragaman bawah lautnya juga sabana dan kontur bukit di pulau ini. Di lain sisi, mereka mengeluhkan sampah yang memenuhi pesisir pantai.

Terang Ibu Arif, “Saya selalu menegaskan kepada setiap pengunjung untuk membawa pulang sampah yang mereka hasilkan di sana.” Ia melanjutkan, “Saya rasa pengunjung selalu bertanggung jawab atas kebersihan pulau, namun ada hal lain yang di luar kendali kami.”

Menaiki perahu menuju Kenawa/Rio Praditia

Hampir setiap bulan, staf dinas dan nelayan pergi ke Pulau Kenawa untuk gotong royong membersihkan sampah. Setiap kali, lebih dari dua puluh karung sampah terkumpul. Meskipun demikian, keesokan harinya Kenawa akan penuh sampah lagi. Sebagian besar sampah di pantai pulau ini datang terbawa arus ombak, sebagian kecil ulah pejalan tidak bertanggung jawab. “Penumpang di kapal penyeberangan biasa membuang sampah ke laut, sedangkan warga di sisi lain Pulau Sumbawa biasa membuang sampah ke sungai yang terbawa ke laut,” geram ibu Arif. “Sekeras apa kami berusaha Kenawa tidak akan bisa bebas sampah bila orang-orang masih membuang sampah ke laut,” tutup perempuan yang sedang mengandung itu.

Selain pejalan yang datang via Pelabuhan Pototano, pengunjung juga datang dari kapal pesiar yang biasa membuang jangkar di dekat Pototano. Mereka turun dari kapal pesiar menggunakan perahu kecil untuk island hopping. “Saya sebagai orang Indonesia malu bertemu pengunjung kapal pesiar asal Swedia. Setiap mereka datang, mereka pasti sukarela memunguti sampah yang memenuhi pulau dan pesisir desa nelayan, lalu mengumpulkannya di tempat sampah dekat kantor dinas. Kami orang sini yang mengambil keuntungan dari pulau-pulau ini malah semena-mena buang sampah sembarangan.” Ungkap Ibu Arif yang memiliki anak pintar bernama Oval ini.

Pariwisata Kenawa dan Kelestarian Alam

Dulu sekali, sangat mudah menemukan ikan di sekitar Pototano. “Ikan segini ini masih dianggap kecil dan berenang bebas di pinggir pantai,” terang Ibu Arif sambil menggunakan tangannya sebagai perbandingan. Sayangnya, beberapa belas tahun lalu, nelayan menggunakan bom dan potasium sebagai cara singkat mendapatkan ikan. Terumbu karang banyak yang rusak dan bibit-bibit ikan mati. Bom dan racun membuat keberlangsungan kehidupan bahari di sana terhenti. Bila terumbu karang rusak dan bibit ikan mati maka tidak ada lagi sumber kehidupan di sana. Ikan-ikan yang tersisa mengungsi ke daerah lain, yang biasa datang juga sudah tidak lagi berkunjung. Sekarang nelayan harus pergi jauh ke tengah untuk mencari ikan. “Penyesalan dan kesadaran memang selalu datang terlambat,” pungkas Ibu Arif sambil menghela napas.

Di Kapal/Rio Praditia

Dengan semakin ramainya kunjungan turis ke Pulau Kenawa dan pulau-pulau di sekitarnya dan penyuluhan tanpa lelah dari dinas tentang pentingnya terumbu karang, nelayan mulai sadar untuk menjaga terumbu karang. Sekarang nelayan di desa ini tidak lagi menggunakan bom dan racun, mereka sadar dengan adanya terumbu karang maka ikan akan semakin mudah didapat. Di lain sisi, terumbu karang yang terjaga akan menarik semakin banyak wisatawan, tentu saja akan menambah penghasilan nelayan yang menyewakan perahu untuk mengantar pengunjung untuk island hopping. Kesejahteraan meningkat dan alam tetap terjaga.

Memang belum semua nelayan di Sumbawa sadar. Banyak nelayan dari luar Desa Pototano datang dan menggunakan dua alat destruktif tersebut. Namun, staf dinas dengan bantuan TNI AL berulang kali menahan dan menenggelamkan perahu mereka bila kedapatan melakukan hal tersebut.

Percakapan tentang Tuhan

Asong nampak lelah menenteng snorkel setelah berjam-jam berenang dengan penghuni laut. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya terhalang bukit tinggi yang diselimuti ilalang. “Coy, kayaknya keren kalau kita bangun tenda di atas bukit kecil itu.” Selain bukit tinggi, terdapat satu bukit kecil di tengah-tengah pulau, dari sana kita bisa melihat sekeliling. Saya langsung menyanggupinya, “OK, coy. Besok pagi pasti asik, tuh, liat sunrise dari sana.” Kami langsung berlari riang berlomba-lomba untuk duluan sampai di sana seperti anak kecil.

Dalam hitungan belasan menit, tenda sudah berdiri, api sudah dinyalakan. Angin berhembus sejuk mengiringi lembayung yang kian kelam. Langit biru berganti dengan malam pekat yang dihiasi pecahan bintang di seluruh permukaannya. Saat cahaya artifisial tidak ada, maka langit selalu menampilkan sisi terindahnya bahkan saat berawan. Ditemani kopi panas dan roti murah kami melamun bodoh, asyik dengan pikiran masing-masing.

Berjalan di tepi pantai/Rio Praditia

Asong membuka percakapan.

“Coy, orang Eropa enak, ya? Kerja satu tahun bisa jalan-jalan tiga tahun.”

“Iya, sih. Jaring pengaman sosial mereka bagus. Walaupun pulang ke negara sudah kehabisan duit, di sana mereka ngga akan kelaparan.”

“Tapi, Coy, orang Eropa kebanyakan ngga beragama. Mereka percaya moral itu lebih penting daripada iman.”

“Ngga semua, sih. Tapi kebanyakan begitu. Mungkin karena hidup mereka sudah enak, ngga mungkin kesusahan dan kelaparan, hidup nyaman dan aman, mereka ngga butuh banyak doa pada Tuhan soalnya negara sudah menyediakan. Filsafat dan ilmu pengetahuan juga sudah bisa menjelaskan fenomena alam yang dulu dianggap kemarahan dan kemurahan Tuhan.”

Asong mengangguk-angguk, “Bener juga.”

“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja? Memang kalau kita bahagia kita bersyukur pada Tuhan? Koe isih ke gereja ora, cuk?

“Ora’e. Males aku,” ungkap Asong yang dilanjut tawa lepas.

“Aku juga ora. Nah, kita aja yang hidupnya susah, baru senang dikit udah lupa Tuhan.”

“Iyo yo. Cen asu tenan ki menungso. Ora menungso ding—kita sing asu tenan.” (iya ya. Benar-benar brengsek manusia ini.  Bukan manusia, tapi kita yang brengsek)

Selanjutnya keheningan memenuhi udara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing tentang Tuhan.

Pulau Kenawa

Mencari ketenangan/Rio Praditia

Langit berbintang perlahan tertutup awan hitam. Hujan rintik-rintik datang dengan anggun. Kami tak menyangka awan hitam bisa datang secepat itu. Secepat mungkin kami mengamankan seluruh peralatan yang tercecer di depan tenda.

Dalam hitungan detik, hujan mengguyur Pulau Kenawa tanpa ampun. Desir ombak terdengar makin ganas dihajar angin badai. Geledek bergemuruh dan petir menyambar-nyambar di lautan. Kami mulai cemas.

Tenda yang awalnya kami yakini terpasang sempurna mulai miring dihajar angin. Pasak satu per satu tercerabut karena tidak kuat menahan cover. Cover luar dihajar angin dan dihempas hujan, alhasil tidak lagi mampu menahan air. Tenda kami mulai kebanjiran. Kami sibuk menahan tenda dan memegangi frame supaya tidak patah dan terbang. Kami bergantian memegangi tenda dan mengemas seluruh perlengkapan ke dalam ransel gunung. Bila terjadi hal-hal yang diinginkan kami segera bisa menyelamatkan semua barang-barang itu.

Dari dalam tenda terlihat  petir menyambar lautan. Cahayanya seperti blitz lighting studio saat pengambilan foto memakai toga wisuda. Angin semakin tidak ramah. Tenda terangkat-angkat tanpa kendali. Andai kami tidak di dalam tenda tersebut, mungkin tenda dan seluruh isinya sudah melayang-layang di udara.

Dalam kepanikan itu, saya mendaraskan doa meminta pertolongan pada Tuhan supaya badai cepat berlalu.

Seperti percakapan beberapa belas menit sebelum badai—“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja?”

FIN                             

Pulau Kenawa Pemandangan dari ketinggian

Pemandangan dari ketinggian/Rio Praditia

Perjalanan ini dimulai dari celoteh di obrolan dua minggu lalu tentang ke mana kami akan pergi untuk mengisi libur Kuningan dan Galungan selama tiga hari. Pada awalnya ada empat orang yang berniat melakukan perjalanan ini, yaitu Asong, Galuh, Rara, dan saya. Namun, karena satu dan lain hal, Galuh dan Rara tidak jadi ikut. Perjalanan dari Denpasar kami mulai pukul 22.00 WITA. Setelah menunggangi motor selama 40 menit kami tiba di Pelabuhan Padang Bai. Dari sana, kami membelah Selat Lombok selama 4,5 jam menggunakan kapal ferry untuk menuju Pelabuhan Lembar. Tepat pukul 04.30 WITA, kami mulai menjajal jalan Lombok dari ujung terbarat menuju Pelabuhan Kayangan di ujung paling timur. Lanskap Lombok yang hijau menghibur segala indra sehingga 5 jam di atas motor jadi tidak terasa. Terakhir, kami berdiri di atas kapal ferry menyusuri Selat Alas. Sekitar pukul 11.30 WITA kami tiba di Pelabuhan Pototano, Sumbawa.

Pelabuhan Pototano sungguh unik. Selama ini dalam benak saya, pelabuhan pasti dijejali oleh warung-warung dan penjual makanan dan minuman yang hilir mudik. Namun, berbeda dengan pandangan itu. Pelabuhan Pototano sangat sepi bahkan untuk mencari warung nasi saja kami perlu menyusuri jalan desa dulu. Bila warung saja sulit ditemukan, maka jangan harap menemukan penginapan di area sekitar pelabuhan. Lalu di mana kita bisa menemukan penginapan? Penginapan bisa ditemukan di Alas, sekitar satu jam perjalanan dari pelabuhan ini.

Sesuai petunjuk seorang kawan di Bali, kami menuju Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menanyakan perahu yang akan digunakan menuju Pulau Kenawa. “Wah, Dek. Cuma berdua saja,” tanya Bu Arif setelah kami memperkenalkan diri. Saat itu, Pak Arif yang menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan sedang mengikuti diklat di Bogor, sehingga istrinya yang menyambut kami.

Untuk menuju Pulau Kenawa kita harus menggunakan perahu yang mampu menampung hingga sepuluh orang. Sehingga mau satu, dua, atau sepuluh orang kami harus membayar Rp. 350.000. Untuk menyiasati biaya tersebut maka kami berniat menunggu siapa tahu ada pejalan lain yang datang ke Sumbawa dan berniat pergi ke pulau tersebut. Malang, sampai jam 16.00 WITA tidak ada satu orang juga yang datang. Mau tidak mau kami berangkat dan membayar ongkos perahu yang tidak ramah bagi kantong dua pejalan minim budget ini. Ibu Arif berbelas kasih, melihat duit kami sedikit dan tidak ada orang lain untuk berbagi biaya maka ia menggratiskan biaya sewa dua snorkel.

Jujur, saya suka pergi ke pantai tetapi saya bukan orang yang rela mati-matian menghabiskan energi, waktu, dan biaya untuk pergi ke tempat jauh dan pulau-pulau terpencil untuk snorkeling atau diving demi melihat keindahan bawah laut. Saya lebih suka ke hutan dan gunung atau pergi ke desa untuk mengobrol dengan warga lokal. Setiap pergi ke pantai saya lebih senang jalan-jalan menyusuri pantai, membaca buku, dan melamun bodoh saat mulai bosan. Begitu juga dengan ajakan ke Pulau Kenawa ini, awalnya saya tidak tertarik untuk ikut, namun karena perjalanan yang jauh akan menggunakan motor maka saya tertarik. Pulau Kenawa hanya bonus, yang saya sebenarnya nikmati adalah pengalaman membelah pulau dan melintas dua selat untuk menuju tempat ini menggunakan motor.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Rio Praditia


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar