TRAVELOG

Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono

Saya selalu mendengar cerita tentang Cendono: jalur tektok yang kejam, tanjakan yang tak kenal ampun, dan sunrise yang konon paling syahdu di seantero Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Namun, kali ini, saya datang bukan untuk melihat matahari terbit. Saya datang untuk menemuinya saat alam sedang marah, saat langit sedang menumpahkan segala bebannya, di ketinggian 1.131 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ini adalah kisah tentang pendakian yang dicuci hujan, lumpur yang merangkul sepatu, dan suara gemuruh air yang menjadi satu-satunya kawan bicara. Perjalanan solo yang menjadi pelajaran berharga di setiap kaki menyapa ketinggian.

Bertarung dengan Lumpur

Dusun Mrasih, Desa Kemiri, pukul 8 pagi itu terasa ramai. Base camp Cendono (750 mdpl) diserbu para pendaki dari Mojokerto dan sekitarnya. Hiruk pikuk pendakian terasa nyata di depan mata. Udara dingin yang datang bersamaan dengan awan cumulonimbus yang tebal menghitam, mengingatkan diri untuk kembali memeriksa logistik agar pendakian terasa aman dan nyaman saat hujan tiba.

Di posko utama Tahura Raden Soerjo, saya mengisi formulir kesehatan dan menunjukkan kartu identitas. Prosedur registrasi di sini adalah pengingat keras akan kewajiban saya membawa perlengkapan standar. Petugas secara khusus menggarisbawahi perlunya jas hujan dan logistik yang memadai, karena saya berencana melakukan tektok alias pulang pergi dalam sehari.

Perhitungan tektok Cendono normalnya memakan waktu enam jam PP. Namun, saya tahu betul bahwa waktu tempuh akan memanjang karena medan yang licin bekas hujan yang turun semalam, dan saya harus siap menanggung risiko itu.

Langkah pertama saya, setelah melewati base camp adalah melintasi hamparan ladang sayur warga dengan sungai irigasi kecil yang airnya bergemercik menenangkan. Tanah merah yang gembur seketika berubah menjadi lumpur liat. Aroma tanah basah dan dedaunan menyeruak kuat, sebuah aroma jujur yang tak pernah saya temukan di ibu kota.

Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono
Jembatan bambu khas jalur pendakian Cendono/Dodik Suprayogi

Hanya sekitar 30 menit perjalanan yang licin, saya sudah berhadapan dengan Pos I atau dikenal Kali Pikatan. Ini adalah penyeberangan anak sungai yang airnya kini mengalir deras, melewati jembatan bambu yang menawan. Bebatuan di dasar sungai licin, memaksa saya untuk menjejakinya dengan perlahan, mengandalkan trekking pole sebagai penopang ketiga.

Momen tersebut adalah peringatan pertama tentang kebrutalan medan Cendono kala basah. Setelah Pos I, perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Benar saja, hujan tanpa permisi jatuh menghantam kepala, berkompromi dengan jalur yang mulai menunjukkan watak aslinya, penuh tanjakan hingga menuju Pos II Mudhal. 

Sekitar satu jam lebih saya harus berjuang melawan gravitasi, memanjat jalur curam yang kini menjadi sungai kecil sementara, diapit hutan pinus. Setiap pijakan adalah pertarungan kecil. Pemandangan di sekitar seolah menarik diri. Kabut putih tebal mulai turun, merayap di antara batang-batang pohon pinus yang menjulang tinggi, menciptakan suasana hutan yang intim sekaligus misterius.

Perjuangan berlanjut sekitar 60 menit menuju Pos III Kolometo. Medan berubah menjadi lebih berbatu dan berakar. Akar-akar yang menjulur keluar, yang seharusnya menjadi pegangan, kini menjadi perangkat licin. Total perjalanan naik ini, saya estimasikan memakan waktu tiga  jam penuh tenaga dan kehati-hatian.

Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono
Vegetasi hutan Cendono yang masih cukup rimbun/Dodik Suprayogi

Perayaan Kecil di Tengah Hujan

“Ketinggian gunung tidak bisa diremehkan. Ketika hujan melanda, suhu lingkungan berubah menjadi lebih dingin, tubuh berpotensi mengalami hipotermia”. Satu pesan yang selalu saya ingat dulu dari diklat pencinta alam di SMA.

Di tengah ganasnya hujan, saya harus disiplin dengan sistem pakaian berlapis. Saya tahu bahwa musuh terbesar di gunung bukanlah tanjakan, melainkan air yang menembus dan menyebabkan hipotermia.

Saya menggunakan lapisan dasar yang anti air untuk menjamin kulit tetap kering, Lapisan tengah untuk menjebak panas, dan lapisan luar jas hujan atau jaket waterproof, sebagai benteng terakhir dari serangan air dan angin. Perlindungan ini harus sempurna. Rain cover ransel dan dry bag untuk barang elektronik dan pakaian cadangan adalah syarat mutlak, karena barang basah adalah awal dari bencana.

Saya melangkah dengan lambat, mengandalkan grip sepatu yang dalam dan trekking pole yang bekerja tanpa henti. Di setiap tanjakan curam, napas saya terasa berat dan memburu, bercampur dengan aroma lumut dan pakis yang basah hingga tiba di camp ground.

Saya tiba di titik tertinggi 1.131 mdpl. Saya tidak mendapatkan golden sunrise yang gemerlap. Hanyalah samudra kabut yang bergerak cepat dan liar, meski begitu pemandangan dari puncak tetap terlihat mengesankan. Saya berdiri di tengah puncak yang sunyi.

Puncak Cendono hari itu bukan panggung untuk pamer pemandangan, melainkan tempat untuk berkontemplasi. Di tengah keheningan absolut, saya segera membuka termos, menyeruput air panas yang saya bawa dari rumah. Sebuah ritual wajib untuk menjaga suhu tubuh dan merayakan pencapaian di bawah kondisi ekstrem.

  • Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono
  • Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono

Pelajaran saat Turun

Perjalanan turun dari Cendono, yang biasanya hanya 2–3 jam, berubah menjadi latihan keseimbangan. Jalur yang naik curam, kini menjadi turunan licin yang sangat berbahaya, menuntut saya berjalan secara lateral dan berhati-hati.

Di tengah perjuangan menuruni tanjakan terjal menuju Pos II, saya berpapasan dengan sebuah rombongan kecil. Wajah mereka tampak pucat. Bukan hanya karena dingin, melainkan juga kelelahan dan kepanikan. Mereka adalah sekelompok anak SMA yang melakukan tektok impulsif, tanpa membawa bekal memadai. 

“Saya nggak menduga hujan akan begini parah. Kami nggak ada yang bawa jas hujan,” ucap salah satu dari mereka. Ada yang lebih mengkhawatirkan, logistik mereka habis total. Mereka tidak membawa makanan yang cukup, apalagi yang kaya energi. Di belakang rombongan itu, seorang siswa terbaring di tanah berlumpur, merintih kesakitan.

“Kakinya keram, Kak, sudah setengah jam saya coba urut, tapi belum membaik,” kata temannya dengan suara putus asa.

Kaki keram adalah sinyal keras dari tubuh akibat dehidrasi dan kelelahan otot akut, masalah yang seharusnya dicegah dengan asupan air dan energi yang cukup. Di tengah udara dingin gunung, kondisi ini bisa menjadi awal dari hipotermia jika tidak segera ditangani.

Saya segera mengeluarkan sisa perbekalan yang saya bawa: biskuit dan minuman elektrolit. Saya juga memberikan susu UHT. Melihat kondisi mereka, saya sadar betul, persiapan teknis bukan hanya tentang daftar bawaan. Itu adalah perencanaan energi yang terukur, sebuah garis pemisah antara petualangan yang terukir indah dan bencana yang mengancam. 

Gunung tidak memberi toleransi pada pendaki yang datang dengan setengah hati. Apalagi pendaki yang gemar solo tektok macam saya, sehingga persiapan logistik, fisik, dan kemampuan survival harus diasah dan disiapkan setiap waktu.

Menerjang Hujan Menuju Puncak Cendono
Jalur yang licin dan berkumpur, perlu ekstra hati-hati saat turun/Dodik Suprayogi

“Nekat sekali mereka,” gerutu saya dalam hati.

Saya menghabiskan waktu membantu rombongan itu hingga mereka dapat berjalan perlahan, berjarak dekat dengan gubuk Pos I. Peristiwa ini memberikan pelajaran terpenting. Saya kembali ke base camp dengan sepatu penuh lumpur dan badan menggigil. Meski demikian, saya telah memenangkan pertarungan melawan dingin dan kelelahan.

Saya mendapatkan Cendono yang sejati, Cendono yang sunyi, dingin, dan basah kuyup. Lalu yang terpenting, saya membawa pulang sebuah pengingat bahwa gunung tidak pernah peduli seberapa nekatnya kita, gunung hanya peduli seberapa siapnya kita menghadapi keheningan alam yang muram.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dodik Suprayogi

Sedikit langkah, banyak cerita. Lahir pada masa krisis moneter terjadi (98), gemar berpetualang, bermain benih dan pupuk tanaman. Menulis untuk esksistensi dan warisan anak cucu.

Dodik Suprayogi

Sedikit langkah, banyak cerita. Lahir pada masa krisis moneter terjadi (98), gemar berpetualang, bermain benih dan pupuk tanaman. Menulis untuk esksistensi dan warisan anak cucu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya