Kata ‘kiamat’ mungkin seram dan mencekam bagi sebagian orang. Namun, di Festival Kiamat Ekosistem (FKE), justru terpancar raut ceria, penuh canda, hingga kesal dan haru menjadi satu. Edisi kedua festival swadaya ini masih berlangsung di tempat yang sama, Omah Lor, sebuah tempat dengan banyak bangunan serba bambu dan dikelilingi kebun tanaman produktif di tepi kali yang membelah Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem.
Tempat yang berjarak hampir 13 kilometer dari puncak Gunung Merapi ini mungkin sebagian besar hari-harinya sunyi, seperti suasana pedukuhan (kampung) pada umumnya yang jauh dari hiruk pikuk Kota Jogja. Namun, selama 2–3 Agustus 2025 lalu, riuh manusia beraneka latar belakang profesi dan tujuan kehadiran mereka menghidupkan area seluas kurang lebih satu hektare dengan festival lingkungan yang berbalut seni.
Selama ini, selain penginapan, Omah Lor juga menyediakan kelas Permaculture Design Course, sebuah praktik berkebun secara berkelanjutan berbasis komunitas dan etika lingkungan—menanam secara adil dan harmonis dengan ekosistem sekitar serta minim sampah. Dwi Pertiwi, pendiri dan pemilik Omah Lor yang berada di bawah naungan Yayasan Bringin, merupakan satu dari segelintir pakar permakultur di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Ia adalah sosok yang mendorong FKE ada.
“FKE adalah bentuk kritik kami pada konsep keadilan iklim,” ujar Fiza Raehana, kurator dan ‘ketua panitia’ Festival Kiamat Ekosistem 2025, saat ditemui di muka gerbang Omah Lor Projects, Minggu (3/8/2025).

Pesan dari Kajang dan Kanekes
Usulan festival memang datang dari Dwi, tetapi pemilihan nama dan konsep festival lahir dari perjalanan panjang Fiza bersama temannya dari Makassar ke permukiman suku Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada Januari 2024 lalu. Komunitas adat dengan tradisi kental yang hidup menyatu dengan alam dan menjaga warisan leluhur. Entah seperti apa riset dan justifikasinya, Washington Post mendapuk suku Kajang sebagai penjaga hutan terbaik dunia. Sebuah gelar yang sebenarnya ditolak oleh suku Kajang itu sendiri.
“Masyarakat adat [suku Kajang] sebenarnya tidak menerima adanya labeling itu. Karena itu [menjaga hutan] adalah hal yang biasa, dan [memang] harusnya seperti itu,” ucap Fiza meniru pernyataan Ammatoa, pemimpin spiritual suku yang hidup menyebar di dalam kawasan hutan hujan tropis seluas 3.100 hektare. Problemnya justru berada di kawasan perkotaan, ditimbulkan orang-orang kota, yang biasanya mudah menilai atau mengglorifikasi atas sesuatu di luar jangkauan mereka—dan memilih bergantung kepada para penjaga hutan di sudut-sudut terpencil.
Di pengujung pertemuan, dalam bahasa Kajang, Ammatoa tiba-tiba menitipkan pesan penting kepada Fiza. Sebuah pesan yang membuat dahi Fiza berkernyit, seolah-olah ada wahyu yang turun dari langit khusus untuknya, seakan-akan Ammatoa paham apa yang sedang dicari dan akan dikerjakannya. Sang tetua berpesan, “Sampaikan ke dunia luar, masa paceklik [sudah] di depan mata.” Paceklik lebih dari sekadar kekurangan bahan pangan, tetapi pertanda kerusakan ekosistem yang sudah terjadi karena hubungan manusia dan alam yang tidak harmonis.
Perjalanan dari Kajang itulah yang kemudian membuat Fiza merumuskan satu kata untuk mewakili penglihatan Ammatoa terhadap kondisi bumi terkini: kiamat. Lalu dalam beberapa sesi curah pendapat bersama Dwi, panitia, dan pakar, kata ‘ekosistem’ dipilih daripada ‘lingkungan’ atau ‘ekologi’ karena pertimbangan frasa dan keterjangkauan dampak krisis alam yang terjadi. Itulah sebabnya festival ini tidak hanya membahas manusia, tetapi juga ekosistem yang saling berhubungan satu sama lain, yang telah terindikasi kehilangan keseimbangannya. “Kita tidak sedang menunggu kiamat, tapi kita sudah berdiri di atasnya. Sebab, kiamat sudah terjadi,” ujar Fiza.

Persinggungan dengan masyarakat adat juga dialami Jabbar Baskara, koordinator acara FKE. Ide pengembangan tema festival tahun ini dan upaya memadukan isu lingkungan dengan karya seni terinspirasi dari perjumpaannya dengan masyarakat adat Baduy di Pegunungan Kendeng, Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. “Jadi, mereka punya kerangka dalam melihat zaman. Dalam bahasa Sunda, ada nyoreang (melihat masa lalu), nyorang (melihat hari ini), dan nyawang (melihat masa depan,” terang pria asal Bogor itu.
Perspektif dan kearifan lokal Baduy dalam melihat zaman kemudian dibawa pulang ke Omah Lor. Waktu kemudian diolah menjadi satu tema khusus, yang ditafsirkan ke banyak medium seperti panel-panel diskusi dan instalasi seni. FKE menjadi ruang kritik terhadap kegagalan pengelolaan ekosistem, termasuk pula menggugat konsep keadilan iklim yang dirasa belum berpihak pada orang kecil.
Sejauh ini, memang terjadi kesenjangan keadilan yang teramat tinggi antara negara dan perusahaan-perusahaan penghasil emisi CO2 terbesar dunia, dengan masyarakat adat maupun komunitas lokal rentan yang terdampak. Wacana pendanaan hijau tidak berjalan mulus (baca: tidak menarik minat) karena kegigihan negara-negara kaya tidak ingin kehilangan uang dari industri ekstraktif. Perdagangan karbon hanya jadi kedok bisnis belaka bagi korporasi-korporasi agar bisa ‘menebus dosa’, sementara masyarakat semakin kehilangan bentang alam sebagai sumber kehidupan mereka. Ini berarti bukan keadilan iklim, melainkan ketidakadilan iklim. Kiamat tercipta dengan sendirinya karena merusak keseimbangan ekosistem yang menyintas masa-masa berat akibat keserakahan manusia.
Namun, Jabbar mengungkap FKE juga berusaha menyelipkan harapan-harapan yang mungkin bisa merecik semangat hidup. Harapan yang berangkat dari nilai keindonesiaan (lokalitas), yang mungkin telah lama tercerabut dari akarnya.

Seni dan lokalitas, kunci bersahabat dengan kiamat
Tahun 2024, FKE mengusung tema “Sandang, Pangan, Papan”, mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang berdampak pada kebutuhan dasar manusia karena perubahan iklim secara drastis, yang juga disebabkan manusia itu sendiri. Zaman Antroposen, garis waktu yang kita alami saat ini, membuat nasib manusia pun bergantung pada—apa yang disebut Jabbar—arah dan nasib bumi.
Keresahan krisis ekosistem kembali disuarakan dalam festival tahun ini, yang mengusung tema “Maju ke Belakang, Mundur ke Depan”. Meski sepintas tampak berbeda, esensinya tetap sama. Menurut Jabbar, FKE 2025 merupakan sebuah ikhtiar dalam menambal sulam retak zaman—membaca ulang jejak masa lalu, menyadari ketegangan masa kini, dan membuka celah harapan bagi masa depan.
Seperti kata Paul Hunham dalam The Holdovers (2023), agar bisa lebih memahami masa kini atau diri sendiri, maka harus mulai memiliki kemauan untuk melihat dan belajar dari masa lalu. Sebab, sejarah bukanlah sekadar studi tentang masa lalu, melainkan penjelasan terhadap keadaan masa kini—pelbagai situasi yang harus kita terima, kita lihat dan rasakan.
Dari pernyataannya di katalog FKE, Jabbar memberi pemaknaan soal pentingnya ‘berjalan bersama’ sebagai laku hidup sekaligus bentuk solidaritas. Kiamat atau krisis ekosistem bukanlah akhir perjalanan hidup, melainkan justru jadi momentum merajut ulang hubungan dengan tanah, ingatan, dan satu sama lain. Dalam hemat saya, kiamat yang sedang terjadi tidak perlu direspons dengan rasa frustrasi yang melelahkan.
Festival ini menghadirkan ragam ekspresi dalam membawa sekaligus menawarkan solusi alternatif terhadap perubahan gejala alam dan sosial-budaya yang terjadi. Ada empat elemen wajib pengisi acara FKE, yaitu panel diskusi, lokakarya, pertunjukan dan instalasi karya seni, serta pasar rakyat. Panitia juga menyediakan elemen yang simpel sebagai bentuk aktualisasi agar pengunjung juga terbiasa berperilaku ramah lingkungan, seperti tempat sampah anorganik dan beberapa titik galon air minum isi ulang. Sehingga, pengunjung mesti membawa botol minumnya sendiri. Kebiasaan seperti ini pun juga bagian dari seni.
Dengan balutan seni, Fiza mengaku dimensi dan warna FKE tahun ini menjadi lebih semarak. Katanya, seni membuat proses edukasi maupun penyampaian pesan seputar lingkungan dan iklim menjadi lebih menarik, tidak semonoton jika hanya digelar di ruang-ruang perkuliahan atau gedung-gedung dingin di kantor pemerintahan. Tidak ada sekat yang kaku, siapa pun melebur dalam ruang bersama nan egaliter. “FKE ini menjadi ruang temu buat orang-orang dengan berbagai kepentingan,” kata perempuan berdarah Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Pengunjung umum seperti saya, yang awam dengan pengalaman pameran atau pembacaan karya seni, seperti disadarkan untuk menikmati setiap sudutnya secara perlahan. Dalam satu konteks soal keseharian yang umum, Jogja sendiri memiliki sisi ritmenya yang santai, tidak terburu-buru. Di FKE, waktu seperti berjalan lebih lambat dari biasanya.
Sentuhan pertama saya dengan festival ini adalah saat mengikuti lokakarya “Temu Bumi” dengan AktivAsia, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pelatihan, strategi, dan pengorganisasian kampanye keadilan iklim dan transisi energi di Asia. Saya dan sejumlah peserta, termasuk istri saya, diajak melambat dengan berkeliling kebun sayur hingga ke tepi sungai untuk bermeditasi singkat dan bertukar pikiran tentang cara menghargai kehidupan, karena manusia termasuk bagian di dalamnya.
Kemudian ada 12 instalasi seni terpasang secara acak, setidaknya itu yang saya lihat jika mengesampingkan pertimbangan kuratorial. Dari selusin karya, beberapa bersifat kontemplatif dan menggelitik, sedikitnya saya kenal satu di antaranya: foto-foto bercerita tentang deforestasi dan perubahan iklim oleh Ulet Ifansasti, pemimpin redaksi iklimku.org.
Lembaran-lembaran bergambar di media kain poliester sepanjang dua meter tersebut dipajang di pintu masuk FKE, membuat wajah, kulit, dan tubuh kita serasa tertampar dengan kenyataan pahit yang terekam lensa sang fotografer; betapa menderitanya bumi dan manusia yang terdampak karenanya. Setidaknya, seperti itulah gambaran kiamat sugra atau kiamat kecil dalam bentuk bencana ekologis macam banjir rob, tanah longsor dan pencemaran lingkungan karena hutan yang digunduli demi perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan nikel dan batu bara.
Selain itu, instalasi karya Mantrabumi di depan tower Bima, salah satu bangunan bambu di Omah Lor, juga menarik perhatian saya. Lewat foto dan narasi di atas fabric, media berbasis jurnalisme warga itu menceritakan perjuangan kelompok petani di Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, melawan kesewenang-wenangan pemerintah, aparat, dan perusahaan perkebunan yang merebut ruang hidup mereka. Sebuah gambaran konflik agraria yang masih saja terjadi, menciptakan kiamat kecil bagi rakyat kecil yang seharusnya dilindungi.
Sementara dari banyaknya pilihan panel diskusi yang tersedia di waktu yang sempit (ada 13 panel diskusi dengan lebih dari 30 panelis), saya memilih “Dari Mitos ke Mitos: Mengungkap Peradaban yang Terlupakan” pada Sabtu, 2 Agustus 2025. Sekar Banjaran Aji, seorang advokat lingkungan dan masyarakat adat, memandu sesi diskusi yang diisi tiga narasumber: Lim Wen Sin (pendiri Pusat Studi dan Konservasi Burung Hantu Yogyakarta), Titah AW (jurnalis independen), dan Abdul Masli (penulis dan peneliti antropologi).
Panel ini membahas peran mitos lokal yang terabaikan karena modernitas, padahal menjadi kunci untuk keseimbangan ekosistem. Latar belakang dan pandangan masing-masing narasumber seolah memperkuat kesimpulan penting yang harus saya catat dari festival ini; bahwa nilai-nilai lokalitas yang kerap diremehkan dan terlupakan, ternyata jadi jalan terbaik untuk ‘menghibur’—saya memilih diksi yang lebih ringan dan tidak terlalu muluk daripada ‘menyelamatkan’—bumi yang kian menua.
Lokalitas itu pun tidak hanya diekspresikan melalui karya seni, pertunjukan, lokakarya, atau panel-panel diskusi, tetapi juga dihadirkan dalam pasar rakyat yang berisi sekitar 45 UMKM lokal, baik dari dalam maupun luar desa. Bermacam-macam makanan, minuman, produk kecantikan dan kesehatan, suvenir kerajinan tangan, hingga kegiatan literasi, turut merayakan ‘kiamat’ bersama. Selama dua hari, saya sempat mencicipi kuliner jagung bose, rujak gula honje, hingga aneka jenang dan gorengan. Saya juga membeli suvenir kecil berupa sejumlah gelang sederhana yang dirakit oleh anak-anak terlantar penyandang disabilitas dari Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta.
Bisa dibilang, seluruh elemen yang dihadirkan FKE serupa bekal atau modal hidup yang harus dipelajari dan disiapkan untuk menghadapi kiamat ekosistem. Sebagai manusia, makhluk yang paling diberi akal, kita dituntut untuk melihat jalan keluar lain atau alternatif jika sumber-sumber teknologi yang menopang dan memanjakan kita, seperti listrik, pompa air, atau bahkan kulkas tidak ada; lalu bagaimana kita bisa bertahan hidup? Bagaimana merajut ulang hubungan dengan segala unsur alam yang sebelumnya terlupakan?


Kontribusi: Dari harga tiket Rp30.000 per orang—panitia FKE menyebutnya urunan—separuhnya terkonversi menjadi koin-koin bambu untuk bekal belanja yang bisa menggerakkan ekonomi UMKM lokal, sisanya terbagi untuk patungan menanam pohon dan tabungan (kas) festival mendatang. Selain kontribusi langsung dalam bentuk uang, pengunjung juga bisa mulai tergerak untuk mengambil sedikit peran dalam menyelamatkan sumber-sumber air usai melihat instalasi seni karya Rakhmi Fitriani berjudul “Ke Mana Perginya Air” (foto kanan); mencari di mana titik awal mata air berasal dan ke mana aliran itu akan pergi menjadi manfaat atau justru menjadi petaka karena dipengaruhi oleh pola hidup kita.
Tidak ingin berhenti di Yogyakarta
David Wallace-Wells, penulis buku laris Bumi Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah tentang Masa Depan (2023), mengingatkan kita perlu khawatir dengan laju perubahan iklim yang efeknya lebih dari sekadar menaikkan permukaan air laut, yang hanya secuil dari segala kemungkinan musibah di masa mendatang. Terutama beberapa dekade terakhir, di masa Antroposen, yang ia sebut sebagai era geologis penuh campur tangan manusia terhadap planet Bumi.
Bagi David, “Pemanasan global bukan karena ulah satu pelaku, melainkan persekongkolan. Kita semua hidup dalam iklim dan dalam segala perubahan yang kita telah buat terhadapnya, yang meliputi kita semua dan tiap perbuatan kita.” (hlm. 21). Ia menambahkan, kerusakan alam yang terjadi adalah bentuk provokasi kita terhadap alam, dari yang bermula dalam ketidaktahuan menjadi ketidakpedulian yang membuat sistem iklim berbalik memerangi kita selama berabad-abad dan mengubah cara hidup kita—bahkan mungkin sampai kita musnah.
Di antara kesepakatan bisnis atas nama pembangunan yang destruktif di level nasional hingga global, perlu segelintir orang, kelompok kecil, atau gerakan komunitas untuk menggugah kesadaran. Setidaknya, kesadaran penuh untuk berubah atau bahkan melakukan pertobatan ekologis itu bisa menular di kalangan akar rumput, tidak harus menunggu pemangku kebijakan bergerak—meski itu juga diharapkan karena sudah jadi kewajiban penyelenggara negara melindungi alam. Festival Kiamat Ekosistem termasuk di antaranya.
Jabbar bilang, FKE tidak ingin hanya berhenti di Yogyakarta. “Cita-cita FKE dari awal itu keliling kota,” ujar Jabbar, “memberitakan kiamat ke mana-mana. Untuk mengkiamatkan semua tempat.” Semacam roadshow dalam bentuk panel-panel diskusi atau lokakarya kecil, lalu dipungkasi festival sebagai perayaan puncaknya.
Ia, seperti halnya Fiza, menyadari tidak ada jalan terbaik selain menghadapinya (kiamat) bersama-sama. Solidaritas dan kesadaran kolektif diperlukan untuk merawat bumi agar berusia lebih panjang. Kiamat adalah ujung kehidupan yang mau tidak mau harus disadari telah terjadi, dan kita semua patut melaluinya dengan sedikit kegembiraan sekaligus mengelus dada.
Pesan dari Ammatoa maupun laku hidup masyarakat Baduy di Kanekes tidak hanya berhenti di festival. Ia harus terus bergema agar seluruh dunia tahu. Termasuk kita, yang menghuni bumi yang rapuh karena urusan-urusan keduniawian tanpa memperhatikan hajat hidup penopang alam lainnya—flora, fauna, dan keanekaragaman hayati yang menjalin ekosistem. Paceklik bukan melulu kekeringan atau kelangkaan pangan. Ruang hampa, kesenjangan, dan kosongnya empati pemangku kebijakan yang abai sebagai embrio kerusakan ekologis baru-baru ini, adalah paceklik paling nyata yang susah dicari obatnya.
Perjalanan orang-orang yang sadar akan masa depan bumi—semoga kita termasuk di dalamnya—memang masih amat panjang. Namun, selalu ada harapan, sekalipun terjal. Suarakan terus isi hati bumi. Sekalipun parau.
Penulis turut berduka atas musibah bencana hidrometeorologi yang menimpa masyarakat Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025. Semoga duka dan kiamat lingkungan yang diakibatkan manusia-manusia serakah di negeri ini lekas berlalu, dan pihak berwenang berani mengusut aktor-aktor yang bertanggung jawab pada kerusakan ekologis yang terjadi. Doa tulus dari lubuk hati terdalam menyertai setiap korban yang meninggal, hilang, terluka, dan kehilangan banyak dari bencana ini.
Foto sampul: Instalasi lukisan di atas kanvas di depan tower Bima Omah Lor saat Festival Kiamat Ekosistem 2025, salah satu media interaktif tempat pengunjung bebas merespons (Rifqy Faiza Rahman)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.





