Rasanya begitu candu menjelajahi kampung lawas di Laweyan, Kota Surakarta. Apalagi saya teringat ada sekitar dua kediaman saudagar yang harus dikunjungi di gang Jalan Tiga Negeri, Jalan Nitik, dan Jalan Sidoluhur. Ciri khas rumah saudagar dengan tembok tinggi dan satu pintu regol menjadi pemandangan lumrah di sepanjang gang sempit di Laweyan.
Lanskap gang pun cukup unik, diapit tembok tinggi dengan regol kayu di setiap rumah. Rumah-rumah para saudagar di balik tembok adalah harta karun itu sendiri.
Masjid Laweyan, Berdiri di Lahan Bekas Pura Hindu-Jawa
Merujuk informasi Heri Priyatmoko, diketahui jika Laweyan sudah eksis sejak abad ke-14 sebagai ibu kota Kesultanan Pajang di bawah pimpinan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Letak Kesultanan Pajang kurang lebih satu kilometer di barat Laweyan. Sebagai ibu kota di bawah Kerajaan Majapahit era Hayam Wuruk, Laweyan pun menjelma bagaikan kota metropolitan. Banyak tamu negara singgah untuk berdiplomasi dan menjalin relasi perdagangan dengan kedua wilayah tersebut.
Kampung Laweyan dipimpin oleh Ki Ageng Beluk, pemuka agama Hindu yang mendirikan pura bergaya Hindu-Jawa di tepi Sungai Jenes—jalur pelayaran dan perdagangan kala itu. Kemasyhuran Laweyan terus berlangsung hingga abad ke-16, seiring kehadiran Ki Ageng Henis. Ayah Ki Ageng Pemanahan dan kakek Panembahan Senopati—raja pertama Mataram—ini sekaligus penasehat Sultan Hadiwijaya dalam menyiarkan agama Islam di Kesultanan Pajang dan Laweyan, yang kala itu masyarakatnya masih menganut agama Hindu.
Ki Ageng Beluk awalnya menolak syiar agama Islam di wilayahnya. Ki Ageng Henis lantas melakukan pendekatan humanis tanpa kekerasan dengan berdiskusi mengenai Islam. Akhirnya, Ki Ageng Beluk menerima agama Islam di wilayah Kesultanan Pajang. Sebagai rasa hormat, ia lantas mewakafkan tanah dan bangunan pura untuk didirikan masjid oleh Ki Ageng Henis. Meski begitu, Ki Ageng Beluk rupanya masih tetap memeluk agama Hindu-Jawa hingga wafat.
Gaya tajug, arsitektur Hindu, Jawa, dan Islam berpadu di Masjid Laweyan, meski sudah beberapa kali direnovasi sejak era Sunan Pakubuwana X dan masih mempertahankan nama Masjid Ki Ageng Henis. Makam Ki Ageng Henis dan istri berada di selatan masjid tersebut.
Memasuki abad ke-17 hingga ke-19, seiring boyong kedhaton Keraton Kartasura menuju Desa Surakarta (Keraton Kasunanan Surakarta), eksistensi ibu kota Kesultanan Pajang kian meredup. Selanjutnya berubah menjadi pusat ekonomi Keraton Kasunanan sekaligus kampung saudagar. Meski terjadi perkembangan, peninggalan masa lalu Kesultanan Pajang dan bandar dagang Kabanaran tetap dipertahankan sebagai jalur transportasi perdagangan di selatan Laweyan.

Mengunjungi Rumah Keluarga Priyomarsono di Jalan Tiga Negeri
Gang Jalan Tiga Negeri di seberang Masjid Laweyan menjadi titik awal penelusuran saya. Tujuan utama menyisir sekitar rumah-rumah kuno milik saudagar Laweyan. Masing-masing memiliki ikatan benang merah yang sama, yakni saudagar batik. Para saudagar itu biasa disebut mas nganten dan mbok mase.
Setibanya di salah satu rumah, setelah mendapat izin penjaga dan ahli waris, rasa kagum, senang, dan bingung campur aduk tidak keruan. Rumah ini milik keluarga Priyomarsono, akrab disebut Ndalem Priyomartanan. Ia merupakan sesepuh saudagar batik tulis Tiga Negeri Laweyan, sehingga jalan di depannya bernama Tiga Negeri. Produk batik tulisnya berupa jarik, iket, dan selendang. Ia tidak sendirian dalam memproduksi batik tulis tersebut. Priyomarsono bekerja sama dengan Tjoa Giok Tjiam, saudagar batik tulis Tionghoa yang tinggal di Kampung Sorogenen, Jebres.
Proses pembuatan satu lembar kain jarik Tiga Negeri tidak mudah, membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Hal ini terjadi karena dilakukan di tiga negeri (daerah), yakni Lasem, Pekalongan, dan Surakarta. Selain itu juga motif yang diciptakan harus khusus dan cukup rumit, serta tidak boleh menyamai motif pakem larangan dari Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Layaknya rumah putra pangeran, Ndalem Priyomarsono dilengkapi pendapa, ndalem ageng, kerobongan, senthong, gandok kiwo, gandong tengen, dan gadri, tetapi lebih mewah. Begitu memasuki ndalem ageng, lensa kamera tidak henti mengabadikan setiap detail ornamen kayu dan kaca patri yang membaluti kerobongan. Bagian ndalem ageng, sejatinya hanya diperuntukkan mas nganten dan mbak nganten atau kedua orang tua mbok mase atau saudagar batik saat bekerja merencanakan kelangsungan usaha.
Dengan kata lain, anak menantu maupun cucu tidak diizinkan memasuki ndalem ageng jika tidak diminta untuk menghadap salah satunya. Aktivitas keluarg, berada di belakang ndalem ageng hingga rumah sayap kanan-kiri. Bagian belakang terdapat pabrik batik tulis, terhubung selasar menuju rumah induk. Buruh batik turun-temurun berasal dari kampung sekitar, karena tidak mudah untuk mendapat pekerja batik tulis yang sudah berpengalaman dari orang tuanya.

Perjalanan ke Ndalem Tjitrosoemarto dan Poesposoemartan
Tujuan selanjutnya ada di selatan Ndalem Priyomarsono, tepatnya di Bandar Kabanaran. Kini, situs bekas bandar tersebut rusak parah, hanya menyisakan sedikit fondasi. Selain sebagai moda transportasi dan perdagangan Pasar Mati Laweyan, keberadaan bandar juga difungsikan sebagai gudang kapas yang pohonnya banyak tumbuh di tepi aliran Sungai Kabanaran dan Sungai Jenes.
Saya bergeser sedikit ke arah barat Bandar Kabanaran menuju rumah bunker Setono. Saya menuju rumah keluarga Tjitrosoemarto, saudagar jarik Tiga Negeri lain di Ndalem Tjitrosoemartan, Jalan Sidoluhur.
Keluarga Tjitrosoemarto diketahui memiliki dua rumah yang saling berdampingan. Keduanya bergaya arsitektur indis meski dipisahkan tembok tinggi. Bentuknya masih tampak mewah, meski salah satunya sudah tidak ditempati. Rumah pertama ada di timur perempatan Jalan Sidoluhur, Jalan Gondosuli, dan Jalan Arjuna, digunakan oleh mas nganten dan mbak nganten dalam menjalankan bisnis produksi jarik Tiga Negeri. Sementara rumah kedua di sisi timur untuk anak dan menantu dalam membangun keluarga baru, sekaligus mempersiapkan estafet usaha keluarga sebagai mbok mase, sebelum akhirnya menjadi mas nganten dan mbak nganten. Pabrik batik berada di belakang rumah mas nganten dan mbak nganten, sebagai upaya menjaga kenyamanan dan privasi motif jarik Tiga Negeri yang diciptakan. Alasan inilah yang menciptakan adanya gang senggol di Laweyan, dihiasi tembok tinggi dengan satu regol pintu masuk.


Sepintas hanya ada satu akses keluar masuk, tetapi antarkediaman memiliki pintu butulan sebagai akses darurat jika hal buruk terjadi. Mereka tampaknya tidak masalah, karena apa pun yang terjadi mereka tetap bersaudara. Mereka memiliki ikatan keluarga dari pernikahan antaranak, sebagai upaya mempertahankan hegemoni produksi jarik Tiga Negeri dan supaya estafet usaha keluarga tetap dilanjutkan ahli waris. Usai anak-anaknya menikah, tidak sedikit yang memilih berdomisili di kampung lain dan mendirikan usaha maupun bekerja di instansi pemerintahan, lepas dari orang tua.
Selain memproduksi jarik Tiga Negeri, Tjitrosoemarto juga memiliki jalur penyelundupan opium dari Bandar Kabanaran melalui bunker Setono. Pintu kedua lorong penyelundupan berada di perempatan Pasar Mati Laweyan, yakni di Ndalem Saudagaran di barat Ndalem Tjitrosoemarto. Opium dimainkan oleh para saudagar jarik Tiga Negeri, memanfaatkan Pasar Mati sebagai jalan distribusi dari dan menuju toko penjualan opium di Kota Surakarta. Salah satu toko opium di Laweyan kini berubah menjadi Langgar Merdeka Laweyan.
Menariknya, opium yang diperdagangkan dikonsumsi oleh pemuda buruh pabrik jarik Tiga Negeri Laweyan. Mereka mengonsumsi opium sebagai tombo loro atau obat setelah bekerja seharian, tetapi orang tuanya malah menganggapnya golek (cari) penyakit. Uang yang digunakan untuk membeli satu linting opium didapat dari gaji bulanan sang ibu. Jika uang habis, sang ibu rela untuk meminjam uang pekerja lain demi memuaskan hasrat sang anak mengonsumsi opium.
Ketika utang menumpuk, sang ibu bekerja di tempat lain yang lebih menguntungkan demi menutup utang dan membelikan anaknya opium. Begitu seterusnya, bagaikan lingkaran setan yang tidak bisa diputuskan. Para saudagar yang notabene bandar, tampaknya menyadari dan membiarkan pekerjanya mengonsumsi opium daripada menghambat produksi.
Puas menjelajahi Ndalem Tjitrosoemartan, perjalanan berlanjut ke Ndalem Poesposoemartan di Jalan Dr. Radjiman. Sedikit berbeda dengan rumah saudagar sebelumnya, di sini lebih berfungsi sebagai kediaman tanpa adanya pabrik batik di sisi belakang.
Saya tidak bisa berkata-kata melihat keindahan detail dan ornamen kaca patri di setiap sudutnya. Rumah ini, sebelum akhirnya difungsikan sebagai hotel, sempat terbengkalai puluhan tahun hingga beralih kepemilikan ke tangan Nina Akbar Tanjung. Ia kemudian melakukan revitalisasi tanpa mengubah bentuk asli. Hanya alih fungsi saja menjadi Roemahkoe Heritage Hotel.
Mewah, begitu juga dengan cerita masa lalunya. Mungkin itulah ungkapan yang bisa menggambarkan aura yang terpancar dari setiap rumah saudagar di Laweyan. Besar harapan, rumah-rumah tersebut dipertahankan sebagai living memory warga Laweyan, mas nganten, dan mbok mase. Bukan malah ditinggalkan terbengkalai menunggu waktu roboh, atau sengaja dirobohkan untuk diganti bangunan baru yang lebih modern dan menghilangkan citra autentik Laweyan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.







