Aku ingat betul momen itu: memegang foto wisuda di tangan, menatap tiket bus tujuan Toraja, dan merasakan campuran aneh antara lega dan hampa. Aku pulang sendirian usai bertempur melawan aksen dan budaya kota besar yang asing, demi gelar yang harus kubawa.
Aku sudah biasa pulang-pergi Makassar–Toraja saat libur semester, tapi malam itu berbeda. Duduk di bus, aku sadar tak tahu kapan akan kembali ke Makassar. Kota yang mengajarkanku mandiri dan menghadapi kerasnya hidup, sekaligus mempertemukanku dengan cinta pertamaku—anak kota yang kutemui tanpa rencana, namun akhirnya menjadi bab baru dalam hidupku.
Keputusan kembali ke kampung halaman terasa logis. Rasanya, ini semacam jeda setelah habis-habisan di perantauan. Tapi setibanya di kota Makale, sambutan yang kudapatkan bukanlah “kehangatan rumah” yang kurindukan, melainkan perasaan datar yang sulit kujelaskan. Aku sudah terbuai dengan silaunya lampu kota, hingga Toraja pascawisuda terasa… biasa saja. Patung Tuhan Yesus yang dulunya tampak megah kini seperti tugu yang sudah terlalu sering kulihat. Deretan rumah Tongkonan tak lagi membuatku terpukau, hanya tampak seperti ukiran kayu yang menua.
Aku memang pulang, tapi rasanya tak ada yang benar-benar berubah. Kecuali diriku sendiri yang mungkin sudah kehilangan rasa kagum pada rumahnya sendiri.


Kontrasnya pemandangan Kota Makassar dengan ikon Masjid Kubah 99 Asmaul Husna (kiri) dan perbukitan hijau Lembah Ollon di Toraja
Kedatangan Anak Kota
Sebulan setelah aku pulang, ia menemuiku. Anak Makassar sejati yang tumbuh bersama macetnya jalanan Perintis hingga Urip Sumoharjo, suara klakson yang bersahut-sahutan, dan aroma coto yang mengepul di tiap sudut kota. Hidupnya adalah kafe dan lampu kota, tempat ia menghabiskan malam dengan tawa teman-teman dan gelas kopi dingin yang tak pernah habis. Pagi baginya dimulai bukan dengan ayam berkokok, melainkan dering notifikasi dan langkah tergesa menuju kampus. Ia terbiasa dengan kemudahan: ojek daring yang selalu siap, toko yang buka 24 jam, dan sinyal internet yang nyaris tak pernah putus.
Aku sering berpikir, bagaimana mungkin seseorang yang begitu akrab dengan kehidupan kota bisa begitu ingin mengunjungi Toraja. Toraja bagiku hanya tempat jalanan sepi setelah magrib, dan beberapa kafe hanya buka sampai pukul 22.00–23.00.
Sepanjang perjalanan, ia terus mengirimkan lokasi langsungnya. Tiba di Enrekang, ia menelepon. “Aku sudah masuk Enrekang,” katanya.
“Aku tahu,” jawabku, “aku melihat lokasimu.”
“Ada jalanan yang longsor. Udara dingin sekali, sepi juga… hanya aku yang melintas. Makanya aku menelepon kamu, supaya tidak mengantuk dan tidak merasa sendirian di jalan.”
Aku tersenyum mendengarnya. Aku tahu jalur itu berliku, bahkan di beberapa titik tanpa penerangan sama sekali. Aku bisa membayangkan tikungan-tikungan tajam yang harus ia lalui, tanjakan yang kadang tiba-tiba muncul di depan mata, serta udara dingin yang menusuk tulang. Dari nada suaranya, aku tahu ia benar-benar sendirian di jalanan gelap dan berkabut itu. Aku tahu ia mulai kelelahan, tapi juga terdengar bersemangat untuk segera tiba.
Semangatnya membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia cari di Toraja. Terlebih saat di perbatasan Toraja, tempat berdirinya gerbang besar dengan miniatur rumah adat Toraja di atasnya dan bertuliskan “Welcome To Tana Toraja”. Atapnya yang melengkung tinggi dan ukiran berwarna mencolok menjadi penanda khas bahwa seseorang telah tiba di Tana Toraja. Ia sempat berhenti mengirimkan foto gerbang itu padaku. “Aku sudah sampai di perbatasan Toraja,” katanya, suaranya terdengar riang meski lelah.
Saat itu aku hanya bisa membayangkan ekspresi kekagumannya, seolah sedang menapaki dunia baru. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, ia terus memperhatikan rumah-rumah Tongkonan di pinggir jalan. Setiap kali melihatnya, ia selalu berkomentar, “Masih banyak sekali Tongkonan yang berdiri,” katanya takjub. Rasanya aneh. Aku yang tumbuh besar di antara bangunan-bangunan itu justru menganggapnya biasa saja, sementara dia, anak kota yang baru datang, memandangnya istimewa


Gerbang perbatasan Tana Toraja saat malam hari (kiri) dan landmark khas kota Makale (Chika Angelica Lestari)
Mengunjungi Patung Yesus, Londa, dan Ke’te Kesu’
Pagi itu (14/7/2025), ia datang ke rumahku untuk bertemu orang tuaku, agar bisa mengajakku berkeliling ke beberapa tempat wisata yang sudah ia rencanakan. Tempat yang bagiku terasa usang, tetapi di matanya adalah harta karun. Orang tuaku tentu setuju. Mereka tahu bagaimana anak Makassar ini berjuang menempuh perjalanan panjang hanya untuk menemuiku.
“Kamu sudah mandi?” tanyaku penasaran.
“Sudah, tapi sebentar saja,” jawabnya sambil tertawa. “Matahari tidak muncul, udaranya sangat dingin, dan airnya begitu dingin sampai membuatku kaget.” Wajar, karena ia berasal dari kota yang panas.
Setelah berpamitan dengan orang tuaku, kami berangkat. Destinasi pertama kami adalah Patung Tuhan Yesus yang berada di Buntu Burake. Aku ingat betul saat pertama kali dibangun, ia adalah lambang keagamaan yang megah dan berwibawa, seolah menjulang menyentuh langit. Waktu aku kecil, melihat Buntu Burake dari bawah saja sudah membuat hatiku terpikat. Rasa kagum dan penasaran membuatku bersemangat, membayangkan betapa indahnya pemandangan di puncaknya.
Sekarang, Buntu Burake tak ubahnya spot pemandangan yang klasik. Anak muda Toraja datang berpacaran atau berswafoto. Akses menuju puncaknya terasa panjang dan tujuan akhirnya hanyalah pemandangan yang sama. Langit, bukit, dan kota Makale yang terlihat kecil. Keindahan itu berubah menjadi sesuatu yang biasa. Bagiku, patung itu hanyalah tugu raksasa di atas bukit.


Patung Tuhan Yesus di puncak bukit Buntu Burake (kiri) dan pemandangan kota Makale di kaki bukit/Chika Angelica Lestari
Namun, berbeda dengannya. Ia menengadah, matanya tertuju pada setiap lekuk dan detail patung tersebut. Ia memperhatikan bahan dan material yang digunakan, seakan ingin memahami cerita di baliknya. Ia menjelajahi setiap sudut tempat itu dengan rasa ingin tahu yang tulus, tak terburu-buru. Bahkan, ia tampak antusias mencari pemandangan kota Makale dari ketinggian, seolah ingin menangkap setiap fragmen keindahan yang mungkin luput dari pandangan orang lain. Dari ketinggian, ia bahkan menghitung gereja-gereja yang tampak di kejauhan, seolah tertarik pada makna di balik setiap bangunan itu, meskipun ia Muslim.
Aku melihat lagi. Aku hanya melihat materialnya yang menua dimakan waktu. Namun, dia melihat sesuatu yang lain, keindahan yang tersembunyi. Dia tak hanya melihat patung. Ia menyaksikan sejarah, usaha, dan jiwa yang terukir padanya.
Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Londa, situs kuburan kuno di gua kapur. Dulu, aku sangat penasaran dan tak sabar ingin masuk menelusuri gua itu, membayangkan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Namun kini, rasa itu telah berubah. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang, terhanyut oleh suasana sepi, tumpukan peti yang sunyi, dan udara dingin yang menusuk hingga tulang. Kami hanya berdua, ditemani oleh satu pemandu.

Namun, berbeda denganku, ia amat antusias bertanya apa pun, melihat lebih dekat setiap sudut gua dengan penuh rasa penasaran. Matanya berkilau saat menyimak cerita pemandu, meski aku sendiri lebih sibuk menangkap gambar dari sudutku, tanpa terlalu memperhatikan penjelasan yang diberikan. Ia bahkan mengajakku menelusuri gua itu lebih jauh, tertarik untuk melihat apa yang tersembunyi di balik tebing-tebing tinggi.
“Ayo, lihat ke sebelah sana, aku ingin melihat tebing itu dari sudut lain,” katanya. “Tidak. Ayo, kita pergi,” ujarku sambil menarik langkahnya. Suasana sunyi dan dingin membuatku ingin meninggalkan tempat itu.
Setelah meninggalkan Londa, langkah kami membawa diri menuju Kete Kesu (Ke’te’ Kesu’), desa adat yang menyimpan cerita dan tradisi nenek moyang. Di sana, deretan rumah Tongkonan berdiri kokoh, menyapa dengan ukiran kayu penuh makna. Bagiku, pemandangan itu terasa biasa, seperti potongan sejarah yang sudah pernah kulihat berkali-kali. Namun, lagi dan lagi, dia melihatnya berbeda. Terlalu banyak sejarah dan cerita yang ingin ia dengar. Terlalu banyak hal yang tak pernah terlihat di kota asalnya, tetapi bisa ia temukan di sini, di Tana Toraja yang sunyi, penuh makna, dan menyimpan rahasia yang tak pernah habis untuk ditemukan.


Deretan rumah adat Tongkonan (kiri) dan situs pekuburan khas Toraja di Kete Kesu/Chika Angelica Lestari
Pulang, Lewat Matanya
Setelah beberapa hari membersamainya di Toraja, ia pamit pulang. Ia pergi, meninggalkan bekas pijakan dari perjalanan panjang yang melelahkan, tetapi bagiku mencerahkan. Aku tersenyum kecil melihat kepergiannya, menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah sekadar menjejak tempat wisata. Ia menemukan keindahan di lembah ini, dan aku, perlahan, belajar mencintai kembali kampung halamanku melalui matanya
Akulah yang pulang, tetapi ia justru datang untuk menemukan. Dari perjalanan sederhana ini, aku belajar bahwa pulang bukan sekadar kembali ke rumah, melainkan menemukan kembali jiwa sebuah tempat melalui mata yang berbeda.
Ia telah meminjamkan lensa anak kotanya kepadaku. Di sana, aku melihat sawah yang terawat adalah kanvas ketahanan hidup, bukan sekadar hamparan lumpur. Aku melihat Tongkonan bukan sebatas ukiran kayu tua, melainkan kapal pelindung yang menampung seluruh identitasku. Aku telah menemukan kembali rasa kagum yang sempat hilang, bukan pada dinginnya patung atau mistisnya gua, tetapi pada rasa memiliki yang tulus.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Chika Angelica Lestari, perempuan asal Toraja yang kini menikmati masa setelah wisuda dengan bercerita dan menulis tentang hal-hal sederhana di sekitarnya.

