Kita perlu cermin, dan perjalanan adalah cermin itu. Namun, perjalanan fisik saja tidak cukup untuk memahami hakikat diri. Perjalanan berikutnya yang harus kita lakukan adalah perjalanan lintas waktu, yaitu dengan mempelajari sejarah — Kita dan Mereka, Agustinus Wibowo
Jika biasanya Agustinus Wibowo membawa pembaca menelusuri perjalanan yang meresahkan dalam petualangannya melangkah jauh, khususnya Asia Tengah dalam karya-karya sebelumnya. Namun, kali ini melalui bukunya berjudul Kita dan Mereka, Agustinus mengajak pembaca menempuh sebuah perjalanan menelusuri akar identitas, konflik manusia dalam sebuah realitas yang tak pernah sederhana.
Berbicara tentang identitas tidaklah sesederhana ketika Agustinus menarasikan tentang pergulatan batin yang terlahir sebagai Tionghoa di Indonesia dan merasakan bertumbuh saat era Orde Baru. Dunia anak-anaknya tak lepas dari teriakan pertemanan yang mengejeknya ‘Cina!’ atau ‘Cina sipit! Pulang ke negaramu sana!’
Sungguh memori masa kecil yang tidak menyenangkan, terlebih membuat kata Cina terasa sebagai hinaan kasar yang digunakan untuk merendahkan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tak sampai soal identitas warna kulit dan kondisi struktur mata, ia pun sudah ‘dipaksa’ menjawab pertanyaan: “Kamu cinta mana? Indonesia atau Cina?”
Pergulatan sederhana soal identitas diri tak berhenti begitu saja. Ketika langkah kaki membawa Agustinus menemukan Cina dalam arti sesungguhnya untuk menempuh pendidikan, ia justru menemukan jurang lain: identitas “Cina” yang melekat padanya tidak sama dengan orang Tiongkok asli. Dari pergulatan individu soal identitas mengawali penjelajahan tentang identitas sesungguhnya—tentang identitas jamak bukan sekedar seseorang.
“Hubungan timbal-balik antara individu dan kelompok ini perlahan-lahan menciptakan sebuah ikatan identitas sebagai ‘kita’.” (hlm. 32).
Begitu Agustinus mengawali perjalanan akan renungan soal akar identitas di dalam buku Kita dan Mereka. Lebih lanjut ia pun memberi gambaran tentang hukum rimba, ketika yang kuat akan bertahan dalam menjalankan kehidupan. Di sinilah manusia perlu belajar bukan hanya mengenal siapa saja yang ‘kita’ atau ‘bukan kita‘, alias mereka. Bahwa kehidupan bukan soal berpusat pada ‘kita’.

Kompleksitas Identitas dan Konflik Manusia
“Identitas bangsa manapun memang tidak pernah murni, tidak pernah sederhana, tidak pernah bisa dan tidak pernah boleh disimpulkan hanya dalam satu atau dua kata” (hlm. 80).
Pada perjalanan masa lalu, bangsa di dunia adalah nomad—menjalankan hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Semua identitas mereka merupakan hasil dari pengalaman saat berpindah, kemudian melakukan perubahan sehingga bercampur baur dalam hubungan relasi sosial.
Dari pembahasan soal bangsa, Kita dan Mereka membuka mata pembaca akan tembok bernama batas negara dan membawa perjalanan soal identitas pada konflik yang kerap terjadi dalam relasi sosial manusia. Mulai konflik berdarah hingga permusuhan yang mengatasnamakan identitas.
Buku ini tidak berhenti pada identitas individu. Ia bergerak ke wilayah lebih luas: identitas bangsa, agama, ras, ideologi, hingga ekonomi dan geopolitik. Agustinus menyingkap bagaimana identitas membentuk peradaban, sekaligus melahirkan konflik dan peperangan. Identitas, tulisnya, “tidak pernah murni, tidak pernah sederhana, tidak bisa disimpulkan hanya dalam satu atau dua kata.”
Tak bisa dimungkiri konflik yang terjadi dan berujung terjadinya peperangan mempunyai andil yang luar biasa dalam membangun peradaban manusia selama ini. Kita dan Mereka mengajak untuk berpikir ulang soal akar perkara identitas melalui narasi sejarah yang membawa pada kesadaran, bahwa kehidupan tak lepas dari tantangan.
Perjalanan melelahkan dalam memahami narasi soal perenungan akan identitas dalam buku Kita dan Mereka berakhir pada perspektif bahwa identitas adalah konsep yang dapat diinterpretasi dengan berbagai cara, tidak ada satu keharusan yang pasti.
“Memaksakan definisi identitas kepada orang lain adalah benrtuk manipulasi dan eksploitasi, sebuah penjajahan dan pemerkosaan atas hak individu yang merupakan upaya untuk mendominasi orang lain” (hlm. 614).


Perjalanan Melelahkan dalam Menyelesaikan Buku Kita dan Mereka
Karya Agustinus Wibowo ini bukanlah sebuah perjalanan yang menantang dan penuh renungan yang meresahkan, tapi lebih pada situasi menjemukan yang melelahkan. Memiliki tebal 667 halaman termasuk informasi soal indeks, kesan awal seolah terjebak dalam Wikipedia. Namun, semakin melewati lembar per lembar, saya baru menyadari soal narasi buku ini tak ubahnya seperti membaca laporan tesis penelitian akademik. Tentu dengan kesan berbeda.
Ada masa ketika saya mengambil jeda sejenak berhenti membaca buku Kita dan Mereka, lalu melanjutkan kembali dengan suasana tenang. Dan, pada akhirnya membawa saya pada pemahaman bahwa Kita dan Mereka ‘memaksa’ saya terjebak dalam perjalanan tentang peradaban, geopolitik, agama, ras, hingga persoalan ideologi dan ekonomi. Seolah-olah sedang terjebak dalam ruang kuliah yang menjemukan.
Kelelahan menyelesaikan bacaan membawa kesimpulan bahwa buku Kita dan Mereka adalah sebuah perjalanan menelusuri berbagai hal yang terjadi yang berakar dari identitas. Di akhir perjalanan, itu kembali ke individu masing-masing. Bagaimana cara memandang itu reflektif—bisa mengubah cara pandang dunia dengan hati nurani dan bijak.
Ada beberapa hal dari isi buku tersebut yang tidak sesuai dengan pemikiran saya. Seperti saat Agustinus membahas soal jihad dalam Islam terbagi dua, yaitu jihad besar dan kecil. Sementara, dari pengetahuan saya sebagai orang muslim, jihad tidak sesederhana dua pembagian tersebut.
Ibnu Qayyim rahimullah menjelaskan jenis jihad dari objeknya, yang memiliki empat martabat, yakni: jihad memerangi nafsu, jihad memerangi setan, jihat memerangi orang kafir, dan jihad memerangi orang munafik. Dan, jihad melawan hawa nafsu lebih didahulukan ketimbang jihad memerangi musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang musyrik yang mengancam kehormatan muslim.
Pada akhirnya membaca bukan soal menelan mentah soal kebenaran di dalam isi buku, tapi menghargai bagaimana menyikapi perspektif yang berbeda dengan sang penulis. Bagi mereka yang menyukai genre sejarah dan filsafat, sejatinya buku ini patut dipertimbangan sebagai bahan bacaan tatkala butuh pengetahuan dan perspektif berbeda di tengah dunia yang serba cepat ini.
Judul: Kita dan Mereka; Perjalanan Menelusuri Akar Identitas dan Konflik
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT Mizan Pustaka
Tahun terbit: 2024
Tebal buku: 667 Halaman
ISBN: 978-602-441-338-5
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dikenal dengan Ekahei. Penikmat cerita, pengemar transportasi kereta api dan penyuka makan nasi Padang yang memutuskan untuk jadi masyarakat Padang.

