INTERVAL

Hipotesis Sederhana tentang Kebahagiaan dan Tawa di Kedai Sarapan

Liburan bersama keluarga akan lebih menyenangkan pada hari kerja. Begitulah prinsip saya dan istri setiap kali merencanakan liburan. Kira-kira pertengahan Juli kemarin, kami ambil cuti dari kantor untuk pergi liburan bersama anak. Tak tanggung-tanggung, demi kepuasan batin dan menikmati liburan secara saksama, kami mengambil cuti hingga satu minggu lamanya. Dan pastinya, agar bisa liburan saat orang-orang sibuk bekerja. Feel-nya beda, ala-ala orang sukses dengan passive income yang menikmati hidup saat orang sibuk berlalu lalang.

Tujuan kali ini adalah Padang. Kota yang sering disalahpahami orang-orang bukan Minang sebagai sebuah provinsi. Saat kuliah, saya paling sering menghadapi percakapan seperti ini. “Orang mana?” tanya lawan bicara. Saya jawab, “Orang Minang.” Setelah itu, dengan mulut tersenyum lebar ia menyahut, “Oh, Padang, ya?”

Semua percakapan itu akan berujung pada usaha saya menjelaskan bahwa Padang itu adalah ibu kota Provinsi Sumatra Barat. Dan tidak semua orang Minang itu adalah orang Padang. Sumatra Barat, atau sering disingkat Sumbar, punya 12 kabupaten dan 7 kota. Termasuk di dalamnya yang termasyhur adalah Bukittinggi, Payakumbuh, Mentawai, dan tentu saja Kota Padang itu sendiri.

Bagi kami di Sumbar, wisata ke Padang ibarat pergi ke kota besar, karena cuma kota ini yang punya mal, bioskop, dan kereta api yang masih aktif mengangkut penumpang. Tapi jelas bukan itu saja, Padang juga punya laut yang indah, serta makanan yang nikmat untuk disantap.

Malam Hari sebelum Pagi

Kami sampai di Padang saat hari sudah gelap, jadi kami putuskan untuk langsung menuju penginapan. Di kota ini, kami punya penginapan murah favorit yang berada tak jauh dari pusat kota. Sederhana dan nyaman tempatnya, tapi alasan utamanya tentu saja untuk menghemat biaya.

Menjelang tidur, saya bertanya pada istri, “Besok, mau sarapan di mana?”. Bagi saya, sarapan adalah agenda penting saat wisata.

Sejurus kemudian, istri mengambil handphone dan mencari rekomendasi tempat sarapan favorit di Kota Padang. “Ini saja?” tanyanya sambil menunjukkan layar HP.

Foto sebuah kedai berwarna hijau cendol bernama ‘Bopet Yusuf Radjawali Juanda 1958’ terpampang. Saya lihat ulasan tempat ini bagus dan direkomendasikan oleh orang-orang yang sudah berkunjung. Kami sepakat untuk sarapan di sana.

Hipotesis Sederhana tentang Kebahagiaan dan Tawa di Kedai Sarapan
Bopet Yusuf Radjawali 1958, salah satu kedai sarapan di Kota Padang yang direkomendasikan oleh para reviewer di Google, ramai tapi bersih/Adzkia Arif

Sedikit Serius tentang Kedai Sarapan

Bagi saya, kedai sarapan adalah salah satu tempat paling bahagia di dunia. Setelah istirahat di malam hari, mandi pagi, berdandan sekadarnya tapi tetap on point, kedai sarapan diisi oleh orang-orang yang suasana hatinya sudah baik dan siap menghadapi hari yang baru.

Kedai sarapan juga bisa menjadi cerminan dari kelas sosial. Pengunjung yang ada di kedai semipermanen—yang bisa dibongkar kapan saja saat ada razia Satpol PP—akan berbeda dengan kedai besar di ruko permanen. Entah ini kebetulan atau memang naluri manusia, kita, memilih tempat sesuai rasa “kepantasan” kita.

Saya pribadi? Saya mencoba keduanya, beruntung saya punya prinsip tak terlalu meninggikan manusia dan tak mau rendah diri, sehingga saya lebih percaya diri saat berada di mana saja dan berhadapan dengan siapa saja. Karena itu, saya bisa menyaksikan dua sisi yang berbeda, tapi kurang lebih bahagianya sama. Bedanya, di bawah tenda terpal sederhana, di balik kebahagiaan ada rasa getir tentang roda nasib yang tak kunjung berputar. Di tempat yang satunya? Ah, isinya orang-orang yang sudah bisa berfokus dengan kebahagiaan dan piring berisi menu sarapan favorit mereka.

Hipotesis Sederhana tentang Kebahagiaan dan Tawa di Kedai Sarapan
Penegasan penting, warung ini hanya bisa dijumpai di Kota Padang/Adzkia Arif

Bopet Yusuf Radjawali Juanda 1958

Asli sejak 1958, Tidak ada Cabang di luar Kota Padang. Jargon ini ada di setiap sudut ruangan dengan paduan cat dominan putih dan corak hijau yang cerah. Melihat ramainya pengunjung, meski sedang hari kerja, sepertinya kedai ini memang legendaris dan sesuai popularitasnya di Google. Parkirannya penuh mobil, dari yang sederhana sampai yang mewah, plat hitam, putih, hingga merah.

Menu yang ada di bopet ini beragam dan kami pilih yang aman saja dengan memesan soto dan mi tahu, dilengkapi jeruk panas dan es kopi. Comfort food-nya orang Minang, karena kalaupun rasanya tak sesuai ekspektasi, tidak akan terlalu jauh dari standar rasa umum dari makanan jenis ini.

Tak menunggu lama, pesanan terhidang di atas meja; makanan dan minuman lengkap. Diawali doa meminta keberkahan dalam santapan kami hari ini, semoga ini membawa kebahagiaan dan energi positif, juga keberkahan dari Maha Pemberi Rezeki. Sendokan pertama masuk ke mulut, rasanya lezat dan masih segar, gurih dengan sedikit pedas, pas seperti yang dijanjikan oleh para reviewer

Setelah makanan habis, saya duduk santai dan memberi waktu kepada organ pencernaan untuk melakukan tugasnya, dengan sesekali menyeruput es kopi yang tadi saya pesan. 

Belum habis kopi, mata saya tergoda dengan minuman meja sebelah yang terlihat menggiurkan, mirip cendol atau es dawet, tapi warnanya pink. Kami panggil pramusaji untuk bertanya, ternyata namanya es air mata pengantin. Namanya unik, mungkin ini air mata bahagia pas ijab kabul. Karena tampak segar, kami pesan saja, pokoknya sarapan hari ini harus maksimal tanpa ada yang terlewatkan.

Hipotesis Sederhana tentang Kebahagiaan dan Tawa di Kedai Sarapan
Soto Padang, comfort food-nya orang Minang, menjadi salah satu kuliner terkenal Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat/Adzkia Arif

Hubungan Suara Tawa dan Kesuksesan

Sambil menyeruput es kopi, saya mengamati sekeliling. Yang saya suka, kedai ini ramai tapi bersih. Tawa dan obrolan terdengar bersahut-sahutan.

Kamu pernah melihat konten parodi di media sosial tentang “jenis tertawa orang berdasarkan status sosialnya”? Nah, ternyata hal ini nyata adanya, dan saya saksikan di kedai sarapan.

Kamu perlu tahu, bahwa ada penelitian yang membuktikan korelasi antara suara tawa dan status sosial seseorang, yang dijadikan konten komedi pendek untuk media sosial itu. Dalam penelitian Oveis dkk (2016), individu dengan status sosial tinggi, jenis tawanya berbeda dengan orang biasa, dan orang asing dapat mengenali status sosial itu hanya dari tawanya. Ia menambahkan, individu dengan status sosial tinggi cenderung punya tawa yang dominan, tinggi, dan keras. Sedangkan orang biasa, tawanya sekadar mengikuti peran.

Bagaimana? Ternyata hal yang selama ini kita anggap bercanda adalah sebuah realitas. Duduk di kedai sarapan seperti ini, dari cara orang tertawa, saya bisa menebak siapa bosnya di antara orang-orang yang duduk semeja. Kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya, karena ternyata tertawa pun ada kastanya.

Hipotesis Sederhana tentang Kebahagiaan dan Tawa di Kedai Sarapan
Suasana di dalam Bopet Yusuf Radjawali 1958 Juanda. Tetap ramai pengunjung meski di hari kerja/Adzkia Arif

Tapi, ya, sudahlah. Pada akhirnya intinya adalah bahagia, khususnya bagi saya, istri dan anak. Perut kenyang, hari senang, semua menu yang kami pesan di bopet ini berhasil membuka rangkaian libur panjang kami dengan sempurna.

Untuk harganya ramah di kantong. Jadi, kalau ke sini kamu tak perlu cemas melihat mobil-mobil mewah yang terparkir di halamannya. Hanya saja jika memang ingin menikmati makanannya dengan tenang, datang saja di hari kerja, karena di akhir pekan akan sangat ramai.

Begitulah, pada akhirnya ternyata sarapan tak hanya soal rasa, tapi juga tawa dan cerita yang ikut tersaji di meja. Dari secangkir kopi hingga sepiring nasi, semuanya jadi pengingat bahwa kebahagiaan sering kali dibuka dengan cara sederhana, sesederhana sarapan bersama.


Daftar Pustaka: 

Oveis, C., Spectre, A., Smith, P. K., Liu, M. Y., & Keltner, D. (2016). Laughter conveys status. Journal of Experimental Social Psychology, 65, 109–115. https://doi.org/10.1016/j.jesp.2016.04.005.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Adzkia Arif

Seorang penulis honorer yang bercita-cita punya perusahaan media sendiri. Tukang jalan-jalan dan suka bercerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem