ITINERARY

Sarapan Nasi Jagung Arimbi Khas Lamongan

Ada kalanya saya malas sarapan nasi putih meski lauknya dibuat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Karena alasan inilah saya cukup sering menyambangi pasar tradisional sekadar untuk membeli gatot, growol, tape singkong, atau mie pentil. Kudapan-kudapan lawas semacam ini sebenarnya kerap tersedia di warung tetangga. Sayangnya, kulakan camilan di warung tetangga terbilang sedikit. Hanya sebagai pelengkap di warung sembako dan sayur-mayur semata. 

Kesiangan sebentar saja, jajanan pasar sudah ludes diburu warga. Kalau sudah begitu, biasanya saya langsung melipir ke pasar tradisional. Toh ada beberapa pasar tradisional di dekat rumah yang posisi penjualnya sudah saya hafal di luar kepala. Setelah beberapa waktu sebelumnya saya menyiapkan stok tape singkong dan growol, entah mengapa Selasa pagi awal Agustus lalu saya kepikiran untuk segera menuntaskan rasa penasaran saya pada menu nasi jagung versi Lamongan. Namanya Nasi Jagung Arimbi. 

Nasi Jagung Arimbi merupakan salah satu warung nasi jagung kenamaan yang kerap diserbu para pemburu sarapan di Jogja. “Mumpung bagun pagi dan nggak pengen tidur lagi,” batin saya dalam hati. Maklum, Nasi Jagung Arimbi termasuk salah satu opsi sarapan yang cukup populer, utamanya selatan Jogja. Kesiangan sedikit saja biasanya stok nasi sudah habis diserbu pembeli. Saking ramainya pemburu nasi jagung yang satu ini, sebelum memesan, semua pembeli wajib mengambil nomor antrian.

  • Sarapan Nasi Jagung Arimbi Khas Lamongan
  • Sarapan Nasi Jagung Arimbi Khas Lamongan

Antrean Nomor 15

Saya keluar dari rumah sekitar pukul 05.50. Sepanjang perjalanan, jalan yang saya lalui terbilang sepi. Maklum, jalanan di Jogja mulai padat merayap sekitar pukul 06.30. Setelah menyisir Jalan Bantul, saya belokkan sepeda motor menuju arah Jalan Suryodiningratan. Di perempatan Swalayan Maga, ambil arah kiri (utara) menuju Jalan DI Panjaitan. 

Kalau sudah sampai di sisi selatan Plengkung Gading, teman-teman tinggal belok kanan (timur) sampai ketemu perempatan Pojok Beteng Wetan. Dari perempatan ini, ambil jalan lurus (tetap ke arah timur) sampai pertigaan yang mengarah ke Jalan Veteran. Sekitar 30 menit perjalanan, sampailah saya di depan warung berspanduk kuning yang berlokasi di Jalan Veteran No. 220, Pandeyan, Umbulhajo, Yogyakarta.

“Datang sepagi itu saja sudah dapat nomor antrean 15,” batin saya sembari memandang penanda waktu yang tersemat di layar handphone. Dua puluh menit setelah buka dapat nomor antrean belasan pertanda populernya nasi jagung khas Lamongan ini. Antrean pagi itu sebenarnya terlihat longgar, tetapi pesanan yang ada di depan saya terbilang banyak. Yang bertugas untuk membungkus nasinya pun lebih dari satu orang.

Sejenak mengamati, ternyata beberapa pembeli sebelum saya tidak hanya memesan satu atau dua porsi saja, melainkan tiga, lima bahkan delapan porsi sekaligus. Ini belum termasuk pesanan tambahan berupa bakwan jagung atau mendoan. Pantas saja tak ada penjual yang sempat mengobrol santai satu sama lain. Percakapan yang terdengar pagi itu hanya seputar pesanan pelanggan saja. Gerakan membungkusnya pun terbilang sat set

Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya nomor antrean saya disebut juga. Usai menyerahkan nomor antrean, saya sodorkan tempat makan yang sengaja saya bawa dari rumah. Terlepas dari upaya mengurangi sampah, saya memang suka membawa tempat makan sendiri ketika mau take away jajanan dari luar. Apalagi kalau pilihan jajanannya merupakan kudapan bersuhu tinggi, seperti bubur beras, bakso, dan soto. Mending bawa rantang sendiri daripada harus dibungkus dengan plastik sekali pakai.

Sembilan Ribu yang Enak dan Mengenyangkan

Sebenarnya saya agak kaget melihat besarnya seporsi nasi jagung yang ditawarkan di kedai ini. Selain porsian nasi yang terbilang banyak, ada enam lauk yang membersamai mulai dari gudangan, sayur nangka, gereh petek, sambel teri, sambal merah, dan bakwan jagung. Dengan harga Rp9.000 per porsi, saya mengerti mengapa kedai Nasi Jagung Arimbi Khas Pekalongan ini begitu diminati pembeli. 

Melihat porsinya yang terbilang melimpah, saya mengurungkan niat untuk membeli tambahan gorengan berupa mendoan maupun bakwan jagung. Ternyata sesampainya di rumah, nasi jagung saya terbilang masih hangat untuk dinikmati. Tidak seperti nasi jagung yang saya temukan di Pasar Imogiri yang bercita rasa gurih seperti nasi uduk, nasi jagung di kedai Arimbi memiliki rasa yang tawar. 

Meski demikian, tipikal nasi jagung tawar yang pera ini cocok didampingi dengan manis gurihnya gudangan bumbu kelapa. Paduan gereh petek dan dua macam sambal yang menyertainya juga menambah kaya cita rasa menu khas Lamongan tersebut. Paduan rasa dalam seporsi Nasi Jagung Arimbi mengingatkan saya pada olahan jagung bose yang beberapa kali saya temui di berbagai pasar pop up yang pernah digelar di Jogja.

Tawarnya komponen karbohidrat dalam makanan jadi gong di mulut setelah bertemu dengan berbagai lauk yang menyertai nasi jagung ini. Menariknya lagi, menurut beberapa referensi yang pernah saya baca, indeks glikemik (IG) jagung berada jauh di bawah IG nasi putih. Indeks glikemik merupakan besaran nilai untuk menunjukkan kemampuan suatu bahan pangan dalam menaikkan kadar gula dalam darah. Semakin tinggi IG suatu bahan pangan, semakin tinggi pula kemampuan bahan pangan tersebut dalam menaikkan kadar gula dalam darah.

IG jagung ternyata jauh lebih rendah dari IG nasi putih. Per 150 gram nasi putih dan jagung, masing-masing mengandung IG sebesar 72 dan 28.1 Tidak heran jika olahan berbahan dasar jagung kerap menjadi pilihan bagi mereka yang menjaga kenaikan gula darah dalam setiap kali makan. Kalau melihat lebih dekat, nasi jagung tersebut sepertinya dibuat dari campuran nasi putih dan jagung yang dihaluskan.

Dengan komposisi lauk yang terbilang lengkap mulai dari sayur, protein hewani hingga sambal, menjadikannya sebagai opsi sarapan yang ideal, baik dari segi rasa maupun harga. Harganya pun terbilang murah untuk satu kali makan dengan porsi besar. Kalau versi lidah saya, paling menarik terletak pada lauk gudangan yang terbilang enak dan banyak. Bumbu kelapanya juga tidak kemanisan. Jadi, kombinasinya terbilang enak untuk dihabiskan bersama dengan gereh, bakwan jagung, dan sambalnya.

Menyantap Jagung Bukan Hal Baru 

Di Indonesia, sarapan jagung sebenarnya bukan menjadi hal baru. Di Nusa Tenggara Timur kita bisa menemukan menu berbahan utama jagung yang dikenal luas dengan nama jagung bose. Sebutan untuk bubur jagung yang dimasak dengan labu, kacang-kacangan, dan daun kelor. Selain jagung rebus yang banyak dijual sudut kota, di daerah Bantul, teman-teman dapat menemukan kudapan serupa nasi kepal yang dibuat dengan bahan dasar jagung. Namanya entog-entog jagung. Disebut entog-entog jagung karena ada entog-entog yang dibuat dari nasi.

Entog-entog biasa dijual di beberapa pasar tradisional, seperti Pasar Niten dan Pasar Imogiri. Rasanya yang gurih kerap dijadikan pengganjal perut di pagi hari. Seiring dengan kampanye makan real food, banyak yang menjadikan jagung sebagai alternatif karbohidrat pengganti nasi. Alih-alih makan roti gandum, sebagian orang lebih memilih untuk mengonsumsi jagung. Satu di antaranya adalah jenis jagung ketan. Tidak heran jika jenis jagung pulen warna-warni ini kini banyak dibudidayakan oleh petani lokal. 

Sesuai dengan namanya, jagung ketan menawarkan cita rasa yang lebih pulen. Sekilas memang mirip dengan ketan. Saya sendiri suka mengombinasikan jagung ketan dengan lauk rumahan seperti telur ceplok dan tumis jamur. Seiring berjalannya waktu, jagung dan berbagai jenis umbi yang tumbuh di Indonesia tidak hanya dijadikan sebagai bahan makanan pengganti nasi. Sebagian di antaranya ada yang disulap menjadi keripik, seperti keripik kentang, keripik ubi ungu hingga keripik talas. 

Hidup di negeri gemah ripah loh jinawi memang menawarkan keanekaragaman pangan yang cukup melimpah untuk dinikmati. Jadi, kalau mau makan besar, pilihan karbonya tak melulu harus dari nasi. Camilan berbahan real food-nya pun bisa digilir sesuai dengan musim dan selera yang diminati. 


  1. Resa Eka Ayu Sartika, “Nasi, Kentang, Jagung: Mana yang Lebih Baik Bagi Penderita Diabetes?”, Kompas.com, 2019, Juni 18, https://sains.kompas.com/read/2019/06/18/173500723/nasi-kentang-jagung–mana-yang-lebih-baik-bagi-penderita-diabetes-?page=all, diakses pada tanggal 06 Agustus 2025. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Retno Septyorini

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi