Meski diguyur hujan, kobaran api di tengah hutan tetap menyala tenang seolah enggan padam. Masyarakat setempat menjulukinya sebagai api abadi, yang konon telah menyala sejak masa Kerajaan Majapahit. Hingga kini, ia seolah masih menyimpan rahasia yang tak kunjung habis.
Di balik rimbunnya pepohonan, tersimpan pula jejak peradaban sekelompok resi yang menjadikannya lokasi ini untuk menyepi dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Siang itu, saya berangkat membawa segala rasa penasaran untuk melihat lebih dekat api abadi yang dikelilingi pohon jati.

Menyusuri Hutan Jati menuju Kayangan Api
Perjalanan dimulai setelah melewati gapura kokoh bertuliskan ‘Taman Wisata Kayangan Api’, yang menjadi penanda lokasi tersebut. Dari sana, jalan sepanjang satu kilometer membawa saya melintasi hutan jati. Pohon-pohon berdiameter besar menjulang rapat di kiri-kanan, sementara angin berbisik seolah menyampaikan kabar yang ingin didengar perlahan.
Eksistensi pohon jati sejak masa kolonial Belanda dijuluki ‘emas hijau’ karena potensi nilai yang tinggi. Hal ini ada dalam buku catatan sejarah yang berjudul Bojonegoro 1900–1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java–Indonesia karya sejarawan Christiaan Lambert Maria Panders.
Ironisnya, di tengah kekayaan alam, Bojonegoro pada masa itu justru tercatat sebagai wilayah termiskin di Karesidenan Rembang. Sebab sumber daya alamnya, termasuk jati, dikendalikan secara penuh pemerintah kolonial untuk dimanfaatkan. Pohon jati yang masih berdiri hingga kini adalah jejak sejarah yang tetap hidup—sebagaimana api Kayangan Api yang tak pernah padam.

Nyala Api yang Melegenda
Perjalanan melewati hutan jati berakhir di sebuah area parkiran yang lapang. Rupanya di sinilah, cerita berabad-abad tentang nyala api terbentang panjang. Siang itu, panas menyelimuti. Saya pun segera membeli tiket masuk yang dibanderol seharga Rp10.000 per orang. Tempat ini buka setiap hari, mulai pukul 08.00 sampai 17.00.
Saat memasuki area dalam, dari kejauhan saya tak melihat tanda api. Namun, ketika menunduk lebih dekat, di sela bebatuan tampak nyala kecil menyelinap pelan—diam, lalu bergerak sesekali—diterpa angin yang tidak hanya menggerakkan api, tetapi juga pepohonan di sekelilingnya.
Konon, api ini telah menyala dan bertahan beratus tahun, menjadi saksi sebuah kisah yang diwariskan turun-temurun sejak dulu. Dulunya tempat ini menjadi lokasi pengasingan Eyang Supagati untuk melakukan semedi. Ia menggunakan nama samarannya sebagai “Empu Kriyo Kusumo”.
Hingga suatu ketika, keahliannya sebagai pandai besi tersiar cepat ke telinga kerajaan Majapahit. Kabar itu membuat Sunan Ampel datang mencari tahu siapa gerangan sang empu misterius itu. Untuk mengetahui kebenarannya, semua pandai besi langsung dikumpulkan menjadi satu di Dukuh Ngembul.
Mengetahui hal itu, Eyang Supagati memilih tidak hadir tetap demi merahasiakan identitas aslinya. Malam itu, setelah semua pandai besi dikumpulkan, Sunan Ampel melihat cahaya api bergerak menuju hutan. Saat itu juga ia menyadari sosok itu tak lain adalah Resi Eyang Supagati, orang yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Keberadaan api di tempat inilah yang digunakan oleh Eyang Supagati untuk membakar besi. Jika pusaka selesai ditempa, ia mencucinya di sumber air belerang yang kini dikenal dengan nama ‘Air Blukutuk’. Airnya dingin, tetapi suaranya seperti air mendidih. Dahulu, digunakan untuk mencuci pusaka. Kini, masyarakat setempat masih percaya bahwa ‘Air Blukutuk’ mampu menyembuhkan penyakit, seperti gatal-gatal, serta membawa keberuntungan.
Lebih dari sekadar mitos, Kayangan Api menyimpan bukti sejarah nyata. Penelitian arkeologi berhasil mengidentifikasi jejak permukiman para resi di kawasan ini, yang menegaskan bahwa situs tersebut merupakan bagian dari catatan sejarah panjang Bojonegoro.


Jejak Resi dan Batu Bata Purbakala
Menurut penuturan pemandu tur Kayangan Api, sembari menunjukkan lokasi di area semedi Empu Supagati, ia berkata, “Sebelah sana, ada penemuan purbakala yang sudah diteliti oleh tim Arkeolog Universitas Indonesia.”
Rasa penasaran pun membawa saya menelusuri lebih lanjut. Benar saja, pada Desember 2010 ditemukan sebuah situs di kawasan ini. Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Ali Akbar, S.S., M.Hum., berlangsung selama dua pekan. Hasilnya, sekitar radius 200 meter dari titik api, ditemukan struktur bangunan sepanjang 10 meter di sisi utara dengan ketebalan sekitar 50 sentimeter. Susunannya terdiri atas lima lapis: empat lapis batu bata dan satu lapis batu kapur.
Selain itu, tim juga menemukan sisa reruntuhan bangunan berukuran 40 × 40 meter, yang diduga dulunya memiliki atap. Penemuan jejak purbakala di area Kayangan Api, menunjukkan bahwa tempat ini pernah dihuni sekelompok resi. Mereka menggunakan kawasan ini untuk menyepi, bersemedi, dan mendalami spiritualitas pada masa akhir Kerajaan Majapahit (1400–1500 Masehi).
Dalam tradisi Hindu, Dewa Agni kerap diposisikan pada arah tenggara. Uniknya, keyakinan semacam ini sangat langka ditemui di Pulau Jawa, menjadikan temuan di Kayangan Api sebagai satu-satunya yang diketahui.

Penjelasan Sains Mengenai Api Abadi
Dari temuan jejak peradaban para resi, saya bergeser pada sisi lain Kayangan Api—penjelasan sains mengenai api yang tetap menyala. Api yang ternyata tak hanya hidup dalam legenda; ada penjelasan ilmiah yang mendukung perihal keabadiannya.
Berdasarkan sebuah penelitian dalam Jurnal Dialektika UNESA, fenomena ini terjadi karena kombinasi proses fisika dan geologi. Tumpukan bebatuan di Kayangan Api diyakini dapat memengaruhi medan magnet bumi, yang pada gilirannya mengatur aliran gas alam di area ini.
Sementara lingkungan yang terbuka di Kayangan Api memungkinkan sinar ultraviolet matahari mengionisasi gas seperti metana, melepaskan elektron bebas yang memicu aliran listrik alami. Adanya tekanan gas tinggi membuat api tetap menyala bahkan saat hujan deras menerjang.
Saya pulang dengan langkah pelan, bersama udara yang masih menyengat. Ada sesuatu yang bisa saya bawa pulang. Bukan hanya sekadar cerita, melainkan kesadaran bahwa beberapa hal dalam hidup memang ditakdirkan untuk bisa bertahan. Seperti kobaran api yang tetap menyala dari zaman Majapahit hingga hari ini.
Referensi:
Auliani, P. A. (2011, 28 Maret). Situs Purbakala di Kayangan Api. National Geographic Indonesia, https://nationalgeographic.grid.id/read/13279743/situs-purbakala-di-kayangan-api/
Chamdun, M. (2018, 12 Juli). Asal Mula Kayangan Api di Kota Bojonegoro. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/asal-mula-kayangan-api-di-kota-bojonegoro-892927.
Nurjannah, I. (2023). Analisis Potensi Wisata Kayangan Api Bojonegoro sebagai Sumber Belajar IPS. Jurnal Dialektika Pendidikan IPS UNESA, 3(2), 170–178. DOI: https://doi.org/10.26740/penips.v3i2.55133.
Priyambodo. (2010, 15 Desember). Pemkab Bojonegoro Upayakan Ekskavasi Bata Kuno. Antara News, https://www.antaranews.com/berita/238021/pemkab-bojonegoro-upayakan-ekskavasi-bata-kuno.
Sujatmiko. (2011, 31 Maret). Candi Tua di Kayangan Api Terbengkalai. Tempo.co, https://www.tempo.co/arsip/candi-tua-di-kayangan-api-terbengkalai-1750542.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.