Bandung, di akhir September terasa berbeda. Bukan hanya karena udara Cika-Cika yang sejuk membelai wajah, atau gemericik sungai yang mengalir tenang di bawah rimbun pepohonan. Hari itu (23/9/2025), lebih dari 60 orang, yang terdiri dari mahasiswa, komunitas, masyarakat lokal, hingga perangkat pemerintah, berkumpul dengan semangat yang sama, yakni merayakan World Tourism Day atau Hari Pariwisata Dunia 2025 dengan cara yang sederhana, tetapi penuh makna.
Kegiatan ini diberi nama Sustainactivity 2025, sebuah inisiatif dari program Magister Pariwisata Berkelanjutan Universitas Padjadjaran (UNPAD). Sustainactivity 2025 juga terselenggara berkat dukungan dan kerja sama dengan berbagai pihak, di antaranya Komunitas Cika-Cika Bandung, Watashi Travel, Komunitas Satu Bumi Lestari, Himpunan Mahasiswa Pariwisata STIEPAR YAPARI Bandung, serta STIEPAR YAPARI Bandung. Bukan sekadar seremoni peringatan, Sustainactivity dirancang sebagai ruang partisipasi aktif, tempat setiap orang bisa belajar, bergerak, dan benar-benar merasakan makna keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Tema Global ke Aksi Nyata
Setiap tahun, UN Tourism mengangkat tema global untuk memperingati World Tourism Day. Tahun 2025, tema yang diusung adalah “Tourism and Sustainable Transformation”. Tema ini mengingatkan kita bahwa pariwisata tidak boleh berhenti pada sekadar angka kunjungan wisatawan atau hitungan keuntungan ekonomi. Lebih jauh dari itu, pariwisata dituntut menjadi bagian dari transformasi berkelanjutan, yakni menjaga alam agar tetap lestari, memberdayakan masyarakat agar lebih sejahtera, serta berkontribusi nyata dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Semangat besar itu diterjemahkan secara sederhana, tetapi bermakna oleh Magister Pariwisata Berkelanjutan UNPAD. Alih-alih duduk lama dalam forum akademik di ruang kelas, mereka memilih Cika-Cika, sebuah kawasan wisata alam di Kecamatan Coblong, Bandung, sebagai ruang belajar terbuka. Dengan cara ini, setiap peserta bisa langsung bersentuhan dengan alam, belajar dari masyarakat lokal, dan menyadari bahwa keberlanjutan bukan teori, tetapi sesuatu yang nyata dan dekat.
Kegiatan dibuka dengan short trekking. Jalur yang ditempuh tidak panjang, hanya beberapa kilometer, tetapi cukup untuk membuka kesadaran. Setiap langkah kaki mengajarkan bahwa sungai bukan sekadar latar, melainkan penyangga kehidupan. Dari sana, kegiatan berlanjut ke river cleanup. Peserta dengan kantung sampah di tangan memunguti plastik, botol, dan limbah lain yang tersangkut di bebatuan.
Agenda berikutnya adalah workshop eco-enzyme, difasilitasi oleh Tim Kelola Limbah Cika-Cika. Di sini, peserta belajar mengolah sampah organik menjadi cairan ramah lingkungan yang bermanfaat. Sesi ini menunjukkan bahwa pengelolaan limbah bisa dilakukan siapa saja, dengan cara sederhana, murah, dan aplikatif.
Dalam sambutannya, Ketua Program Studi Magister Pariwisata Berkelanjutan UNPAD Dr. Evi Novianti, S.Sos., M.Si., menegaskan, “Melalui Sustainactivity 2025, kami ingin menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan bukan hanya konsep akademis, melainkan gerakan nyata yang bisa dilakukan bersama-sama.”
Pernyataan itu menjadi pengingat penting. Perguruan tinggi tidak boleh berhenti di menara gading. Ia harus turun ke masyarakat, menguji gagasan, membumikan teori, dan mendorong transformasi nyata. Sustainactivity menjadi bukti bagaimana ilmu bertemu aksi, teori bertemu praktik, dan ide bertemu komunitas.
Sejak ditetapkan setiap 27 September oleh UN Tourism, World Tourism Day selalu menjadi momentum reflektif. Ia mengingatkan kita bahwa pariwisata memiliki dua wajah, bisa menjadi sarana kesejahteraan, tetapi juga berpotensi menjadi perusak jika dikelola dengan serakah dan tidak bertanggung jawab.
Tahun ini, dengan tema yang diusung, pesannya terasa makin relevan. Pariwisata harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Solusi terhadap krisis iklim yang kian nyata, solusi bagi krisis pangan yang mengancam, hingga solusi untuk krisis sosial yang menguji solidaritas kita sebagai manusia.

Harapan ke Depan
Pariwisata Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, potensi yang dimiliki sangat besar. Namun, di sisi lain, tantangan yang dihadapi juga tidak kecil, yakni kerentanan lingkungan, komersialisasi budaya, ketimpangan distribusi manfaat, hingga tekanan terhadap masyarakat adat dan kelompok rentan.
Momentum World Tourism Day 2025 seharusnya menjadi cermin, bahwa pembangunan pariwisata tidak cukup hanya mengejar target kunjungan, tidak boleh hanya berorientasi pada angka devisa, dan tidak bisa lagi dipandang sebatas sektor ekonomi. Pariwisata harus menjadi ruang untuk memperkuat identitas, melestarikan lingkungan, dan menumbuhkan rasa kebersamaan.
Kini saatnya pariwisata Indonesia bertransformasi lebih jauh. Dari sekadar sustainable tourism menuju regenerative tourism. Bukan hanya menjaga, tetapi juga memperbaiki. Bukan sekadar melestarikan, melainkan juga memulihkan apa yang telah rusak.
Sustainactivity 2025 mungkin hanya berlangsung sehari, tetapi gaungnya jauh melampaui batas waktu itu. Dari jalur trekking hingga sungai yang dibersihkan, dari sampah-sampah yang dipungut hingga eco-enzyme yang dibuat bersama, setiap momen telah menanamkan benih kesadaran baru, bahwa pariwisata bukan sekadar tentang bepergian, melainkan tentang bagaimana kita meninggalkan jejak yang berarti bagi bumi dan manusia.
Menutup rangkaian kegiatan, Hannif Andy Al Anshori, mewakili mahasiswa Magister Pariwisata Berkelanjutan UNPAD memfasilitasi seluruh peserta untuk dapat menyampaikan sebuah manifesto kecil. Harapan yang lahir dari hati insan pariwisata, yang berkumpul tidak hanya untuk merayakan Hari Pariwisata Dunia, tetapi juga menegaskan arah masa depan pariwisata Indonesia.

Pertama, pariwisata Indonesia harus bergerak melampaui obsesi angka kunjungan wisatawan. Lebih penting dari statistik adalah kualitas pengalaman, keberlanjutan destinasi, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Kedua, pengembangan pariwisata harus inklusif. Kelompok rentan, perempuan, pemuda, hingga masyarakat adat harus diberi ruang dan suara, karena pariwisata sejatinya adalah tentang keberagaman manusia yang dirayakan.
Ketiga, pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) harus menjadi pilar utama. Tata kelola yang transparan, partisipatif, dan ramah lingkungan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Keempat, Indonesia perlu melahirkan lebih banyak destinasi berkualitas dengan prestasi internasional, bukan hanya demi kebanggaan, melainkan juga sebagai bukti bahwa pariwisata kita mampu bersaing sekaligus berkontribusi pada isu-isu global.
Kelima, desa wisata harus diposisikan sebagai benteng melawan krisis iklim. Dari desa, praktik pelestarian lingkungan, konservasi budaya, dan kearifan lokal dapat menjadi garda depan regenerasi pariwisata.
Keenam, pembangunan pariwisata harus merata. Tidak hanya destinasi pariwisata prioritas yang disorot, tetapi juga daerah-daerah yang menyimpan cerita, identitas, dan kekuatan lokal yang luar biasa.
Namun, di era global saat ini, harapan tidak cukup berhenti pada keberlanjutan. Dunia kini bergerak ke arah pariwisata regeneratif (regenerative tourism), sebuah paradigma baru ketika pariwisata tidak hanya menjaga agar alam dan budaya tidak rusak, tetapi justru memperbaikinya. Wisatawan tidak hanya datang untuk menikmati, tetapi juga ikut melakukan perbuatan positif demi keberlangsungan lingkungan dan budaya. Pariwisata regeneratif menempatkan wisatawan sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar penonton.
Selain itu, pariwisata Indonesia juga harus mengambil bagian dalam agenda global lain, yakni dekarbonisasi untuk mengurangi jejak karbon wisata, serta digitalisasi untuk membangun sistem manajemen destinasi yang cerdas dan adaptif. Harapan-harapan ini lahir dari keyakinan bahwa pariwisata bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga tentang bagaimana ia bisa memperpanjang usia bumi, menyejahterakan manusia, dan menyalakan inspirasi lintas generasi.
Kontak media
Lila Latsmira
[email protected]
0812-8428-8262
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.