Gresik, dalam laci ingatan kanak-kanak saya, selalu berarti ziarah. Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim adalah pusatnya. Tak ada tujuan lain ke Gresik selain mendoakan para wali.
Namun, perjalanan saya ke pesisir Gresik pada akhir pekan bulan Juni lalu membuka mata. Garis pantainya yang membentang sepanjang 69 kilometer seperti memberi undangan baru: bukan sekadar untuk berziarah, melainkan untuk mengalami denyut hidup yang lain. Ini adalah kunjungan pertama saya ke pesisir Gresik, tepatnya di Desa Lumpur. Awalnya, saya hanya berniat menonton pameran seni rupa kontemporer bertajuk Ritus Liyan: Mundane Rites. Namun, pesisir Gresik justru mencuri fokus saya.

Ziarah dan Jejak Sindujoyo
Hal pertama yang mencuri perhatian saya adalah nama “Sindujoyo” di poster pameran yang terpampang di depan Balai Gede, Desa Lumpur. Nama itu terdengar historis. Dan benar, hanya sekitar satu kilometer dari lokasi pameran, saya menemukan makamnya. Terimpit rumah-rumah padat, makam Sindujoyo tersembunyi dan terkunci.
Saya tiba saat azan Asar berkumandang. Tak ada peziarah lain. Hanya beberapa warga yang berjalan menuju musala di samping makam. Saya bertanya kepada salah satu jemaah, apakah saya bisa masuk. Ia menjawab singkat, “Juru kuncinya tidak datang hari ini.” Namun, ia menunjukkan pintu gerbang kecil yang masih bisa diakses. Dari balik jendela, saya menengok pusara dan berdoa.
Sindujoyo adalah murid dari Sunan Prapen, cucu Sunan Giri. Ia dipercaya sebagai penyebar Islam dan pendiri desa-desa di pesisir Gresik. Haulnya diperingati setiap tahun. Kisah hidupnya tak hanya tertanam di batu nisan, tapi juga hidup dalam ingatan warga, nama jalan, dan sebuah manuskrip kuno bertajuk Serat Sindujoyo. Naskah ini memuat kisah pengembaraan seorang santri, dengan ilustrasi memikat dan kandungan sejarah desa-desa pesisir (Mashuri, 2017).
Pusara Sindujoyo, meski tersembunyi, menyimpan gaung yang dalam. Seakan saya tidak hanya menengok makam, tapi juga membuka pintu menuju babad yang tidak banyak diketahui. Mengakhiri doa, hati saya berkata lirih: Sindujoyo, harum semerbak abadi.


Denyut dan Gelombang Pesisir
“Pantainya jelek dan kumuh,” balas Andre saat saya mengirimkan foto perahu-perahu yang tertambat. Selepas ziarah, saya langsung bergerak ke pesisir. “Kan, udah kubilang. Pantai utara itu nggak ada ombaknya,” lanjutnya.
“Saya nggak nyari ombak,” balas saya, agak kesal.
Kata-kata Andre benar belaka. Di sepanjang pesisir Desa Lumpur, tak ada riak gelombang. Laut lepas tertutup bangunan pabrik dan crane raksasa. Yang saya temukan adalah balai-balai nelayan, perahu kecil, jemuran ikan, dan sampah-sampah yang berserakan. Tapi entah kenapa, hati saya tak lantas kecewa.
Bersama kawan saya, Fariduddin Attar, saya berjalan di antara aktivitas para nelayan. Ada yang memperbaiki perahu, menjahit jala, menyalakan mesin dan bersiap berlayar. Kami kemudian meniti jembatan kayu panjang yang berdiri di atas air—sekitar satu kilometer ke tengah laut. Di kiri-kanan, perahu-perahu diikat seperti deretan tamu yang sabar menunggu giliran. Di ujung laut, tampak struktur industri dan crane pelabuhan. Di bawah bayang-bayang crane, perahu-perahu nelayan yang hilir mudik tampak kecil, hampir seperti anak-anak yang bermain di halaman raksasa.
Tiba-tiba, dua pemuda berjalan melewati kami membawa kresek merah berisi pentol, buah, dan air mineral. “Ke kapal,” jawab mereka singkat saat saya tanya. Rasa penasaran mulai menggantikan kekaguman.
Rasa ingin tahu membawa kami menyewa perahu menuju tengah laut. “Cuma mau keliling, Mas. Lihat-lihat aja,” kata saya pada pengemudi kapal, yang belakangan saya kenal bernama Pak Nuri. Tarifnya Rp50.000 untuk dua orang. Kami tak menawar.
Setelah melewati tembok bangunan dan crane, kami terkesima: puluhan kapal besar berjejer, menunggu giliran bongkar muatan. Ada yang membawa gelondongan kayu, ada yang tampak mengangkut gundukan mirip pasir—mungkin batu bara. Sisanya? Entahlah.
“Dulu saya juga nelayan, Mas. Tapi ikan makin sedikit. Sekarang, ya, begini: antar jemput orang ke kapal,” ujar Pak Nuri sambil mengemudikan kapal kecil kami di antara kapal-kapal raksasa berbendera merah putih.
Kami melambaikan tangan pada awak kapal yang membalas sapaan. Saya merasa seperti anak kecil yang melihat pelabuhan dari dekat untuk pertama kalinya—meski saya pernah menyaksikan pemandangan serupa dari jendela sempit kapal di Selat Malaka, bertahun-tahun lalu.
“Awak-awak kapal itu kadang turun buat belanja, ada juga yang cari hiburan,” lanjut Pak Nuri. Saya teringat dua pemuda dengan kresek merah tadi—mungkin mereka awak kapal yang turun mengisi ulang kebutuhan.
Pesisir ini bukan kawasan biasa. Di sini, pabrik dan pelabuhan berdiri berdampingan dengan kehidupan nelayan. Kapal datang dari segala penjuru. Para nelayan bertahan, beradaptasi, dan sesekali berganti profesi menjadi ojek kapal. Di sini, ombak memang tak terlihat, tapi kehidupan tetap bergelombang.


Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang dijemur untuk diolah menjadi penganan (kiri) dan salah satu toko oleh-oleh khas Gresik di Jalan Sindujoyo/Rosyid HW
Langit Merah, Langkah Berat
Hari pertama pameran, saya tidak benar-benar hadir. Raga saya ada, tapi pikiran saya masih tersesat di antara jembatan kayu, kapal-kapal, dan pusara Sindujoyo. Kawasan pesisir ini berbeda dari pesisir mana pun yang pernah saya kunjungi. Rencana kunjungan sehari berubah seketika. Farid memutuskan menginap di Hotel Saptanawa, sekitar 2,7 kilometer dari pesisir. Saya memilih pulang, tapi tak bisa tidak; saya akan kembali esok hari.
Sebelum pulang, saya sempatkan membeli oleh-oleh di sepanjang Jalan Sindujoyo: jenang ayas wijen, wingko, otak-otak bandeng—semuanya produk UMKM lokal. Menariknya, semua diproduksi di jalan yang sama. Jalan Sindujoyo bukan hanya menyimpan sejarah, melainkan juga denyut ekonomi kecil yang terus bergerak.
Kawasan ini punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi jujugan wisata: jejak sejarah, manuskrip kuno, perkampungan nelayan, kapal-kapal raksasa yang berseliweran, UMKM oleh-oleh, dan kuliner yang menggugah. Saya masih ingat rasa pecel siang itu dan bebek goreng di malam harinya—sama-sama istimewa.
Apakah makam Sindujoyo, manuskripnya, dan peringatan haulnya bisa menarik orang-orang datang ke pesisir Gresik? Apakah perjalanan menyusuri jembatan kayu dan melihat kapal-kapal bongkar muat di tengah laut bisa jadi daya tarik wisata?
Saya tidak tahu apa jawaban orang lain, tapi saya menjawab, “Iya.” Dan saya akan menjawabnya lagi: “iya.” Dan lagi: “iya.” Sekali ke sini, saya ingin kembali—untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, dan entah untuk keberapa kalinya.
Referensi:
Mashuri. (2017). Ilustrasi dalam Serat Sindujoyo. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 19(1), hlm. 105–118. https://doi.org/10.14203/jmb.v19i1.400.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.