Pada liburan Iduladha awal Juni 2025, aku menjejakkan kaki di provinsi paling utara Pulau Sumatra. Dari Medan, aku menempuh perjalanan darat 10 jam dengan bus ke Terminal Bus Batoh, Banda Aceh. Setelah beristirahat di penginapan, sorenya aku menyambangi ikon Bumi Serambi Makkah itu, yakni Masjid Raya Baiturrahman.
Lantaran sudah di Aceh, rasanya tak afdol jika tidak mengunjungi Monumen Kilometer Nol Indonesia di Kota Sabang, Pulau Weh. Dari Banda Aceh, aku harus menyeberang ke Sabang. Sejak aku meniatkan diri untuk berlibur ke Aceh, Tugu Nol Kilometer menjadi salah satu tujuan utama.

Terlambat Datang di Pelabuhan
Pada Minggu, 8 Juni 2025, aku bergerak menuju Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Dari Pelabuhan Ulee Lheue, ada dua pilihan kapal untuk menuju Pelabuhan Balohan, Sabang. Pertama, kapal feri biasa (ro-ro) dengan lama perjalanan sekitar dua jam. Kedua, kapal cepat atau ekspres dengan durasi sekitar 45 menit. Ini adalah estimasi jika kondisi cuaca bersahabat.
Niat hati ingin mencoba kapal ekspres untuk menghemat waktu. Nyatanya, aku terlambat sampai di Pelabuhan Ulee Lheue. Sebuah kapal ekspres sudah berangkat pada pukul 10.00 WIB, sedangkan aku tiba pukul 10.10. Jika ingin tetap menggunakan kapal ekspres, baru ada jadwal lagi pada sore hari. Akhirnya kuputuskan untuk naik feri yang akan berangkat pukul 11.00, dengan tiket seharga Rp35.000 sekali jalan.
Menjelang kapal berangkat, hujan turun. Aku berdoa, semoga kapal tetap berangkat tepat waktu. Dan diiringi hujan, feri yang kunaiki perlahan menjauhi dermaga Ulee Lheue. Di dalam kapal terdapat sejumlah pedagang yang menjajakan makanan. Kubeli beberapa untuk mengganjal perut, mengingat durasi menyeberang ke Sabang cukup lama.
Sekitar pukul 13.00, feri mulai merapat ke dermaga Balohan. Kala itu, meski tidak hujan, tetapi mendung cukup menggelayut di langit. Jelang keluar pelabuhan, aku disambut gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kota Sabang”.
Di luar pelabuhan, aku langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari tempat yang menyewakan motor. Sebelumnya, aku sudah mencari-cari informasi, jalan termudah ke Tugu Nol Kilometer adalah menyewa motor.
Tak begitu jauh dari gapura Pelabuhan Balohan, aku melihat sebuah toko yang memajang spanduk rental motor. Langsung saja kuhampiri. Dapat. Cuma tinggal satu motor yang tersedia, yakni Honda Beat. Aku menyewanya seharga Rp100.000 per hari.
Aku bergegas membuka Google Maps, melihat rute yang dilewati menuju Tugu Kilometer Nol. Aku harus bergerak cepat, karena pukul 17.00 aku harus kembali ke Pelabuhan Balohan untuk menyeberang ke Banda Aceh dengan feri terakhir. Sebelum mengarungi jalanan Sabang, aku mengisi bahan bakar motor di salah satu SPBU.

Tersesat di Belantara Sabang
Aku mulai berjalan menyusuri jalanan Sabang. Sebentar-sebentar aku melihat peta sebagai petunjuk. Semoga sinyal seluler ponselku tetap kuat di pulau ini. Tak kusangka, aku bisa mengendarai motor di Sabang. Sebuah tempat yang sebelumnya tak pernah tebersit aku akan bisa ke sini.
Selain Google Maps, aku juga memperhatikan petunjuk arah yang terpasang di sepanjang jalan. Aku mulai gamang, karena rintik hujan mulai turun. Meski aku mengenakan jaket parasut, aku berharap semoga hujan ini cuma terbawa angin dan mereda. Aku terus melaju sesuai petunjuk yang kubaca di peta.
Perasaanku tiba-tiba tak enak. Dari peta yang kubaca, harusnya aku menyusuri jalanan yang berada di sepanjang pantai. Harusnya, aku masih bisa melihat garis pantai meski samar. Namun, kenapa di sekelilingku yang ada hanya hutan? Aku nyaris tak melihat adanya pantai. Kurogoh ponselku. Klop, sinyal hilang. Aku mulai gusar.
Beruntung sistem Google Maps masih merekam hendak ke mana arah tujuanku. Dan di momen ini aku baru sadar, bahwa aku ternyata salah jalan. Dengan berusaha tetap tenang, aku langsung memutar balik arah motor. Kugeber motor kembali ke trek yang seharusnya. Aku terus berdoa dalam hati. Jika memang rezekiku bisa menemukan Tugu Kilometer Nol, maka aku pasti sampai ke sana.
Sepanjang perjalanan, rintik hujan masih turun. Aku tak berani melirik arloji, karena kalau aku melihatnya, aku akan panik. Sinyal seluler ponselku naik turun. Namun, aku bersyukur telah kembali ke jalur yang benar. Di sepanjang jalan, hutan Pulau Weh kian lekat di mataku. Semakin mendekat ke tujuan, intensitas bangunan atau rumah-rumah penduduk semakin berkurang.

Diguyur Hujan Lebat
Cobaan belum berhenti. Setelah sempat salah jalan, aku dihadapkan pada hujan yang terasa mulai deras. Aku mulai panik meski motor masih terus kugas. Tetesan air hujan semakin rapat. Aku mendongak. Ya, mendung seolah cuma berjarak sejengkal di atas kepalaku.
Kumasukkan ponsel ke dalam tas supaya tak terkena air hujan. Di kanan kiriku, hutan lebat Sabang masih setia menemani. Kemudian, hujan turun semakin deras. Langit seakan-akan sedang menumpahkan semua persediaan airnya kepadaku. Nyaliku mulai ciut. Nyaris tak ada pengendara lain yang ada di depan maupun belakangku.
Aku mulai menggerutu. Ya Tuhan, aku hanya ingin tahu seperti apa Monumen Nol Kilometer di Sabang. Itu kalimat yang berkali-kali kubisikkan kala itu. Aku sempat berhenti di pinggir sebuah bangunan. Sepertinya penginapan. Apa aku menyerah saja? Kulihat jaketku yang basah karena tak mampu menghalau derasnya air hujan waktu itu. Air hujan juga telah menembus tasku.
Namun, segera kutepis rasa itu. Kepalang tanggung. Aku kembali menggeber motor sewaan yang sedang kunaiki ini. Kulanjutkan tekad untuk menghampiri tugu itu. Aku sudah berniat sejak dari Pelabuhan Ulee Lheue. Masa lantaran hujan, aku menyerah? Padahal menurut peta, monumennya sudah tidak jauh lagi.
Kulanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Namun, ajaibnya, hujan deras ini perlahan berhenti. Kurasa tak sampai sepuluh menit, hujan mereda dan berubah menjadi gerimis kecil-kecil. Masyaallah, aku sungguh bersyukur. Semangatku kembali bertambah untuk menggapai destinasi yang kuimpikan.


Menyentuh Titik Nol Indonesia
Aku melihat keramaian dari kejauhan. Rupanya aku sudah sampai. Aku memarkir motor di tempat parkir yang tersedia. Kubersihkan kacamataku dari butir-butir air hujan, kemudian berjalan menuju monumen. Angin yang bertiup cukup kencang menyambutku begitu tugu yang masyhur itu terlihat. Akhirnya, aku mencapai tujuanku. Inilah Tugu Kilometer Nol Indonesia di Sabang!
Tatkala aku melihatnya, ada sebuah rasa yang membuncah. Barangkali ini yang namanya nasionalisme. Tugu yang ada di depan mataku ini memang bukan titik terluar Indonesia secara riil. Namun, monumen ini menjadi simbol wilayah Indonesia. Menjadi penanda batas kedaulatan Indonesia.
Menurut informasi yang kubaca, tugu di Sabang ini memiliki kembaran di Merauke, Papua. Kalau kuamati detail, Tugu Kilometer Nol ini mempunyai ornamen berbentuk lingkaran. Lingkaran yang menyimbolkan angka nol, sebagai penanda titik awal diukurnya wilayah Indonesia di bagian barat.
Sayangnya, aku tidak bisa menaiki tangga untuk mengeksplorasi bagian atas monumen. Jika diamati lebih saksama, ada sejumlah komponen yang sudah rusak pada bagian lingkarannya. Untuk mencegah pengunjung naik ke atas, pihak pengelola tugu kemudian memasang kawat berduri di akses tangga yang mengarah ke atas.

Setelah puas memandangi tugu berwarna biru tersebut, aku berjalan ke sekeliling. Persis di depan tugu, terpampang samudra yang nyaris tiada ujung. Sungguh jelas di telingaku, deburan ombak lautan lepas. Sekali lagi aku merinding. Tugu ini tak pelak kembali mengobarkan rasa memiliki Indonesia.
Tugu Kilometer Nol di Sabang sudah kukunjungi. Bucket list telah terpenuhi. Setelah puas berfoto dan mengambil video, aku bergegas pulang. Sebenarnya aku ingin menghampiri aneka kedai yang terdapat di sekitar monumen. Kedai-kedai ini menjajakan aneka makanan khas Aceh, camilan, dan berbagai jenis suvenir. Namun, karena aku harus segera kembali ke Pelabuhan Balohan, kuurungkan niatku untuk singgah.
Saat berjalan menuju Pelabuhan Balohan, aku merenung sejenak. Hujan apa yang tadi menimpaku kala berjalan menuju Tugu Kilometer Nol? Apakah mungkin itu hujan lokal? Ah, kuanggap itu adalah hujan “selamat datang” dari segenap alam Pulau Weh untukku.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.