INTERVAL

Upaya Menghimpun Anggrek Kangean

Pada sebuah siang yang terik membakar, beberapa anak muda duduk mengaso di bawah dua pohon trembesi raksasa. Sepasang trembesi itu adalah saksi banyak kejadian, dahan-rantingnya yang kini telah menjelma kanopi raksasa barangkali telah merangkum banyak peristiwa. Akar-akarnya menancap di kedalaman tanah, menarik jutaan liter air agar menyembur sebagai sumber mata air. Itulah Kolla, sebuah dusun kecil di tengah-tengah Pulau Kangean.

Banyak riwayat menyebut soal peradaban mula-mula manusia selalu dimulai dari mata air dan aliran sungai. Pun demikian Kangean, konon katanya Dusun Kolla merupakan lokasi utama pusat kegiatan dan keramaian raja-raja Kangean. Jika benar demikian, maka sejatinya pusat adalah sepasang trembesi raksasa yang hingga kini masih terus menyalakan mata air pada sela-sela akarnya.

Berawal dari gerombolan anak muda di bawah pohon trembesi raksasa itulah penelusuran dan upaya menghimpun anggrek Kangean dimulai. Pohon-pohon purba itu telah mengutus angin untuk menerbangkan kelopak bunga anggrek ke tanah tempat anak-anak muda itu berlindung dari sengatan cahaya matahari.

Sadar bahwa sejak bertahun lamanya tempat yang jauh dari perhatian manusia itu telah menyembunyikan suatu kekayaan di kedalaman rimba, maka dimulai juga suatu pengembaraan dan penelusuran ke tiap-tiap sudut hutan pulau. Tujuannya adalah menggali lebih jauh rahasia tanah moyangnya, mengeja pelan-pelan salasilah kampung halamannya. Sepenuh-penuhnya eksplorasi, bukan eksploitasi.

Belakangan sekelompok anak muda di bawah pohon trembesi itu aktif menghimpun berbagai informasi ihwal Kangean, termasuk sebaran anggrek melalui kanal digital dan akun Instagram Rumah Anggrek Kangean.

Berpose di bawah hutan lindung Kangean (kiri) dan mengambil sampel anggrek vanda di hutan Pulau Sepanjang/Syauqi Khaikal Zulkarnain

Jika ditanya apakah Pulau Madura memiliki hutan yang dominan, maka Kangean adalah jawabannya. Kepulauan Kangean menguasai 74% luas hutan di seluruh Madura. Hutan di gugus kepulauan itu memiliki luas 36.325,6 ha, tersebar di tiga pulau terbesar: Pulau Kangean, Pulau Sepanjang, dan Pulau Paliat.

P. J. Veth dalam tulisannya pada tahun 1903 mengontraskan Madura dengan Jawa. Baginya Jawa menghadirkan bentang alam dengan warna-warna kuat dan bentuk yang menakjubkan, sementara Madura menghadirkan sebuah potret yang jauh lebih sederhana. Kangean memang tak semegah Jawa, tapi juga tak sesederhana Madura. Kangean dan pulau-pulau kecilnya telah mendefinisikan dirinya sendiri dengan autentik dan sama sekali berbeda.

Perbedaan lanskap Kangean dengan gambaran utama tentang Madura kian terasa dalam jalannya penelusuran menghimpun anggrek Kangean. Berbagai hal berlainan tersebut di antaranya ialah karakteristik tanah dan hutan, sebaran flora-fauna, serta posisi hutan bagi manusia Kangean. Dalam aspek keanekaragaman hayati misalnya, ditemukan beberapa flora-fauna Peralihan di Kangean yang notabene digolongkan sebagai wilayah Asiatis dalam pembabakan Wallace atau Weber.

Perbedaan karakteristik hutan hingga penemuan flora-fauna Peralihan bukan tak mungkin disebabkan oleh letak geografis Kangean, pasalnya Kepulauan Kangean benar-benar berada di bawah garis Wallace. Posisinya tepat di ujung timur kawasan Asiatis sekaligus di titik paling barat kawasan Peralihan.

Terkumpul 27 Jenis Anggrek

Ekspedisi Rumah Anggrek Kangean hingga kini masih terus menghimpun dan mencatat jenis-jenis anggrek di sepanjang Kepulauan Kangean. Paling tidak, perjalanan-perjalanan itu telah berhasil mengidentifikasi 27 jenis anggrek di Kangean, dengan potensi penambahan spesies baru. Sebab, sampai sekarang masih banyak titik belantara Pulau Kangean, Pulau Paliat, dan Pulau Sepanjang yang belum dieksplorasi secara menyeluruh.

Jenis-jenis anggrek yang berhasil dihimpun antara lain puspa pesona atau anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), Dendrobium secundum, Dendrobium calophyllum, Vanda perplexa, Vanda limbata, Geodorum purpureum, Thrixspermum subulatum, berbagai anggrek tanah jenis Nervilia, hingga anggrek tanpa daun macam Taeniophyllum pusillum dan Chiloschista phyllorhiza.

Soal anggrek bulan, misalnya, banyak termuat dalam sumber berbahasa Belanda. Satu yang akan dikutip dalam tulisan ini adalah apa-apa yang sempat dicatat oleh E. du Perron dalam suratnya. Sastrawan kolonial Belanda itu pernah mengunjungi Kangean. Ia menyebutkan banyaknya berbagai spesies tanaman langka dan unik yang hanya dapat ditemukan di Kangean.

  • Upaya Menghimpun Anggrek Kangean
  • Upaya Menghimpun Anggrek Kangean
  • Upaya Menghimpun Anggrek Kangean

“Kangean menyimpan banyak hal baru terkait keanekaragaman hayati. Beberapa waktu yang lalu, seorang botanis yang mengkhususkan diri pada flora Jawa melakukan penelitian di daerah hutan Kangean. Dalam penelitian ini, ditemukan berbagai jenis tanaman yang menarik, termasuk beberapa spesies langka dan unik yang hanya dapat ditemukan di Kangean. Tanaman-tanaman tersebut diambil dan akan dikembangkan di kebun botani Buitenzorg. Di antara penemuan tersebut, Phalaenopsis amabilis (yang dikenal sebagai anggrek bulan) termasuk dalam kategori tanaman yang paling umum ditemukan,” tulisnya.

Selain Phalaenopsis amabilis, ditemukan juga anggrek dari jenis Phalaenopsis lain, yakni anggrek bulan mini atau Phalaenopsis deliciosa. Sayangnya, penemuan terakhir terhadap spesies tersebut terjadi pada tahun 2020 dan hingga kini anggrek berukuran kecil itu gagal ditemukan kembali.

Secara spesifik, Phalaenopsis deliciosa hanya sekali ditemukan di salah satu pohon bungur besar pada tepian hutan Kangean. Sialnya, pohon raksasa itu kini telah menjadi bangkai, teronggok di tanah setelah ditemukan megap-megap meregang nyawa karena digorok gergaji mesin. Sampai sekarang belum ada kepastian apakah anggrek bulan mini Kangean dapat kembali ditemukan.

Temuan penting selanjutnya adalah Dendrobium calophyllum, spesies ini menjadi demikian berharga karena sebarannya terbatas di kawasan Peralihan, yakni Sunda Kecil dan Maluku, termasuk Kangean yang notabene digolongkan sebagai bagian dari Jawa atau kawasan Asiatis. Dendrobium calophyllum menjadi bukti bahwa Kangean adalah daerah sebaran bagi beberapa spesies-spesies Peralihan pula.

Selanjutnya adalah kembali ditemukannya Chiloschista phyllorhiza atau anggrek akar (anggrek hantu) setelah terakhir ditemukan pada tahun 2020. Anggrek tanpa daun ini memiliki keunikan karena akar-akarnya ditumbuhi bulu-bulu halus sebagai pengganti daun. Selain itu, sebagaimana namanya, anggrek hantu jenis ini jarang sekali terlihat dan sulit untuk dikembangkan. Daerah sebarannya juga sangat terbatas, hanya dapat ditemukan di Jawa Timur, Kepulauan Kangean, dan sebagian kecil Australia.

Dendrobium calophyllum Kangean (kiri) dan anggrek hantu (Chiloschista phyllorhiza)/Syauqi Khaikal Zulkarnain

Ancaman Kerusakan Ekologi

Sulit membayangkan hutan sebagai tempat anggrek-anggrek Kangean beranak-pinak sejak beratus tahun lamanya kini justru menjadi ancaman utama bagi kehidupan mereka. Tapi demikianlah yang terjadi, toh seorang manusia juga dapat dengan mudah “dirusak” oleh lingkungan tempat bergaulnya. Kerusakan hutan di Kangean rasanya sudah berada pada titik paling kronis, stadium akhir.

Berbagai perjalanan yang dilakukan oleh Rumah Anggrek Kangean telah merekam-catat keberadaan anggrek dan penemuan mayat-mayat pohon raksasa dengan jumlah yang nyaris sama banyaknya. Keberadaan hutan lindung Kangean kian hari semakin terdesak oleh aktivitas penebangan liar hingga alih fungsi hutan.

Misalnya yang tercatat, jika tak salah mengingat, 15 tahun lalu anggrek Kangean sangat mudah ditemui di kawasan hutan Jhete Lanjheng, Kecamatan Kangayan, sebuah kawasan hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan hutan negara. Sayangnya status sebagai hutan produksi memastikan pohon jati di kawasan itu untuk ditebang dalam kurun waktu tertentu. Ketika ratusan pohon itu ditebang, maka mati juga berbagai jenis tanaman epifit seperti anggrek. 

Bibit-bibit jati memang kembali ditanam, dinormalisasi, tapi anggrek? Sama sekali luput, dilupakan, dan tak dianggap penting sama sekali. Perusahaan hutan negara yang memiliki peran strategis untuk memastikan kelestarian lingkungan itu nyaris tak mempertimbangkan hal-hal seperti ini. Alih-alih menjadi garda terdepan kelestarian hutan, mereka justru fokus melakukan produksi dan bisnis, seolah-olah hutan Kangean adalah pabrik pencetak kayu untuk terus dijual.

Meminjam potongan puisi Iman Budhi Santoso, katanya: Aku belajar menghargai rumput / semak belukar dan rumpun daun sikejut / sebab, bukan hanya jati mahoni / yang patut menjaga erosi negeri ini.

Kini anggrek Kangean benar-benar cuma dapat ditemui di belantara hutan rimba yang sulit dijangkau. Hutan Kangean, rumah yang dulu aman bagi anggrek-anggrek itu kini justru berubah menjadi tempat persembunyian agar tetap selamat dari kematian. Sebuah ironi yang terjadi dan hingga kini masih terus dibiarkan.

  • Upaya Menghimpun Anggrek Kangean
  • Upaya Menghimpun Anggrek Kangean

Ancaman selanjutnya adalah rencana tambang dan pengeboran migas di Kangean. Dalam bukunya, Madura 1850-1940, Kuntowijoyo menyebut hampir setengah dari luas Kangean adalah rimba, dan memang demikian terlepas dari banyaknya titik kerusakan di dalam hutan. Kangean sebagai pulau kecil juga dilindungi undang-undang untuk tak ditambang. Beberapa hal ini dapatlah menjadi bayangan awal soal betapa tak masuk akalnya rencana pengeboran migas yang ditolak oleh mayoritas rakyat Kangean itu.

Terakhir, sebagaimana yang sudah Pramoedya ajarkan, bacalah: Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu pengetahuan modern memberikan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus.


Referensi:

Kuntowijoyo. (2017). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Yogyakarta: IRCiSoD.
Perron, E. D. (1990). Brieven. Amsterdam: G. A. van Oorschot.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Syauqi Khaikal Zulkarnain

Syauqi Khaikal Zulkarnain, lahir di Kangean, berkegiatan di Yogyakarta. Alumni Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Kini memilih fokus untuk aktif menghimpun dan mendokumentasikan sisa-sisa khazanah kebudayaan manusia di kampung halamannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jalan-Jalan ke Kangean (1)