INTERVAL

Lapau, Ruang Demokrasi dengan Cita Rasa Lokal Minangkabau

Suara tawa dan perdebatan beradu dengan denting sendok yang bergerak memutar di dalam gelas kaca. Aroma kopi, teh talua, dan asap tembakau menyebar ke berbagai penjuru. Di sinilah, di tempat bernama lapau, denyut nadi masyarakat Minangkabau berdetak tanpa henti dalam pelukan malam yang dingin.

Lapau tak hanya menjadi tempat untuk mencari makanan atau minuman. Ia menjadi tempat berkumpul dan melepas penat, dari sekadar bagarah hingga membahas program-program pemerintah, semua bisa terjadi di sini.

A. A. Navis, sastrawan Minangkabau pernah menulis dalam cerpennya yang berjudul Politik Warung Kopi: Di warung Mak Lisut, di simpang tiga dekat rumahku di kampung, saban waktu bisa terjadi sidang politik menarik”.1

Jika kau besar di ranah Minang, maka pasti akan tahu, bahwa kalimat tersebut bukan muncul dari imajinasi yang dilebih-lebihkan, melainkan sebuah realitas hidup.

Kata atasan saya di kantor, “Urang Minang tu, kalau lah duduak di lapau, bisa salasai deknyo masalah ciek negara ko” (orang Minang, kalau duduk di lapau, bisa menyelesaikan masalah negara).

  • Lapau, Ruang Demokrasi dengan Cita Rasa Lokal Minangkabau
  • Lapau, Ruang Demokrasi dengan Cita Rasa Lokal Minangkabau

Ragam Cerita dalam Lapau Sederhana

Di kampung saya, Dusun Koto, Desa Talago Gunung, Kota Sawahlunto, lapau berjejer dengan jarak yang sangat dekat, tak lebih dari 10 meter, bahkan ada yang saling berhadapan. Antarpemilik akur-akur saja, tak ada persaingan yang menyulut konflik. Bahkan kadang, pemilik lapau malah berbelanja ke lapau sebelahnya.

Kebetulan, keluarga saya juga punya lapau. Meski tak tinggal di kampung, saya rutin berkunjung, sekadar untuk menikmati suasananya yang khas. 

Malam hari, selepas salat Isya, bapak-bapak berjalan dari masjid ke arah lapau. Masih menggunakan sarung dan peci, duduk di bangku-bangku plastik yang mulai aus bahkan patah, sehingga harus ditumpuk dua agar lebih kuat diduduki.

Ibu-ibu yang mampir untuk belanja kebutuhan dapur, diselingi gosip-gosip ringan dan keluhan tentang harga kebutuhan dapur yang semakin mahal. Yang muda juga mampir, seringnya jadi pendengar, tetapi sesekali juga ikut dalam obrolan.

Suasana lapau di kampung itu khas, sederhana, tak ada etalase-etalase besar nan mewah. Lebih banyak rak dan meja kayu lama yang kakinya sudah dimakan rayap. Penerangannya tak makan banyak daya listrik, hanya lampu putih biasa yang bersinar di antara gelapnya malam, bahkan ada yang masih menggunakan lampu strongking (petromaks).

Bercerita dan duduk di lapau ini sudah menjadi kultur yang melekat dalam kehidupan orang Minang, khususnya laki-laki. Muhammad Radjab, seorang jurnalis yang berasal dari Sumatra Barat, menggambarkan bagaimana suasana lapau ini dalam bukunya, Semasa Kecil di Kampung.

“Jika tidak di halaman surau, saya tentu bermain-main di depan lepau kopi. Sekali saya lihat seorang membaca sehelai kertas lebar, yang lain-lainnya duduk di sekeliling meja mendengarkan dengan minatnya, sambil sekali-kali meneguk kopi, atau menggigit pisang goreng.”2

Sepanjang waktu duduk di lapau, selama itu jugalah saya asyik mengamati dan mendengarkan percakapan yang bersahut-sahutan.

Malam itu, ada yang membahas harga jual beli mobil bekas yang katanya menguntungkan. Ada juga yang langsung melempar topik berat, Koperasi merah putiah ko apo lo lai ko,” sambil melepas peci dan melemparnya ke atas meja. Kemudian topik itu mengalir, ada pro dan kontra. Di tengah debat panas, ada yang dengan sigap melempar jokes yang mengundang gelak tawa dan mencairkan suasana.

Dari kiri, searah jarum jam: Proses pembuatan teh talua, minuman favorit orang-orang di lapau, menggunakan mixer untuk mengaduk campuran kuning telur, gula, dan sedikit bubuk kopi hingga berbuih. Segelas teh talua yang sudah disiram dengan teh panas dan diberikan kental manis (ada juga irisan jeruk nipis yang bisa digunakan untuk menetralisir rasa amis dari kuning telur). Kue kukus hijau bertekstur lembut dan memiliki rasa manis dengan isian kelapa parut, biasa dimakan sebagai pendamping teh talua/AdzkiaArif

Teh Talua dan Roti Kukus Hijau

“Teh talua, ciek,” seru seorang pelanggan malam itu.

Pak Etek saya, yang punya lapau, dengan sigap menyiapkan pesanan. Telur itik dipecah dan diambil kuningnya lalu dimasukkan ke dalam gelas, ditambahkan gula dan sedikit kopi bubuk yang kemudian diaduk dengan mixer hingga berbuih.

Kemudian teh panas dituang hingga penuh, diberikan sedikit kental manis dan irisan jeruk nipis. Jadilah minuman teh talua atau teh telur yang manis dan hangat. Katanya, minuman ini bisa menambah stamina pria.

Tak cukup hanya dengan teh talua, hangatnya percakapan juga ditemani roti kukus hijau yang baru dimasak. Masih hangat, memiliki tekstur lembut dengan rasa manis, di dalamnya ada isian kelapa parut yang memperkaya rasa.

Dicelupkan ke dalam teh talua, rasanya menjadi lebih gurih lagi. Meskipun riuh ramai dengan suara yang bersahutan, rasanya senang dan tenang sekali.

Lapau dan Materi Kuliah dari Aristoteles

Lapau menjadi ruang untuk bercerita, berdebat dan membentuk aturan tak tertulis yang dipahami bersama. Mungkin inilah yang dimaksud Aristoteles ketika mengatakan manusia itu zoon politicon, makhluk sosial yang hidup bersama. Ia menyebutkan, secara alamiah manusia didesain sebagai makhluk zoon politicon yang hidup dalam sebuah komunitas politik; “man is by nature a political animal”.3

Manusia adalah ciptaan yang disempurnakan dengan akal dan bahasa, yang hanya bisa menjalankan kodratnya jika ia hidup bersama-sama. Manusia tak bisa hidup sendiri karena membutuhkan manusia lainnya untuk berbicara, bertukar ide, dan membentuk aturan bersama. Tempat siapa pun bisa berbicara tanpa memandang statusnya, tetapi tetap mengedepankan adab dan norma. Menghargai yang sedang berbicara, membantah tanpa membuat malu, dan siapa yang paling bisa mencairkan suasana.

Lapau menunjukkan wajah egaliter masyarakat Minangkabau, “duduak samo randah, tagak samo tinggi”. 

Lapau, Ruang Demokrasi dengan Cita Rasa Lokal Minangkabau
Lapau menjadi tempat diskusi untuk semua kalangan. Ada candaan, ada juga pembahasan yang serius, seperti politik dan kebijakan pemerintah. Laki-laki, perempuan, tua dan muda, semuanya boeh ikut/Adzkia Arif

Malam Ini, Besok, dan Seterusnya

Saat malam sudah larut dan hawa dingin menusuk, satu per satu kursi mulai kosong, tersisa gelas dan piring kotor di atas meja. Satu per satu penerangan di lapau-lapau yang ada dimatikan, para pemilik lapau mulai membereskan dagangan dan menyapu teras-teras yang kotor.

Lapau bukan sekadar tempat transaksi. Ia adalah lingkungan terkecil dari praktik demokrasi, panggung orasi, dan ruang silaturahmi.

Selama orang Minang masih suka bercerita dan beradu gagasan, lapau akan terus hidup, malam ini, besok dan seterusnya.


  1. A. A. Navis, Politik Warung Kopi, dalam Hudjan Panas (1963), tersedia di https://sastra-indonesia.com/2010/10/lokasi-lepau-cerpen-aa-navis. ↩︎
  2. Muhammad Radjab, Semasa Kecil di Kampung, (Jakarta: Balai Pustaka, 1950). ↩︎
  3. Aristoteles, The Politics of Aristotle, diterjemahkan oleh Ernest Barker, (Oxford: Oxford University Press, 1946), Buku I. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Adzkia Arif

Seorang penulis honorer yang bercita-cita punya perusahaan media sendiri. Tukang jalan-jalan dan suka bercerita.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat