Ada yang bilang kalau kapoknya naik gunung itu kayak kapoknya orang abis makan sambel yang pedes banget. “Abis ini nggak lagi-lagi, deh.” Tahu-tahu ngajak lagi. Namun, ada juga pendaki yang benar-benar kapok—kapok serius—setelah melakukan pendakian perdana. Inilah beberapa alasan kenapa pendaki perdana kapok naik gunung.
1. Langsung ke gunung yang berat
Alasan pertama kenapa pendaki perdana kapok naik gunung adalah karena ia salah memilih gunung. Idealnya, gunung yang pertama adalah gunung yang bisa didaki dengan santai dan yang bisa ditelusuri dengan tertawa. Bukannya malah yang bikin dengkul mau copot.
Langsung mendaki gunung tertinggi di Jawa untuk pendakian perdana sama sekali nggak direkomendasiin. Barangkali kamu punya sumber daya secara finansial. Tapi, lur, naik gunung nggak cuma soal duit. Ini soal tekad, tentang keinginan kuat untuk mencapai tujuan. Kalau biasanya sehari-hari cuma naik-turun komuter di antara hutan beton, ada kemungkinan kamu bakal gegar mendapati bahwa yang kamu lihat di gunung adalah hutan belantara. Ditambah medan yang terjal, kamu mungkin bakal menjerit-jerit minta pulang.
2. Kurang persiapan fisik dan mental
Naik gunung itu aktivitas yang menguras tenaga. Itulah alasan kenapa kamu mesti melakukan persiapan fisik sebelum naik gunung. Seminggu atau dua minggu sebelum nanjak, ada baiknya kamu jogging rutin setiap hari, berenang beberapa lap, atau sekadar jalan kaki sore-sore.
Sebagai persiapan mental, kamu mesti memperkuat tekad. Kalau tekad sudah kuat, kamu nggak bakal peduli mendengar kisah-kisah yang diceritakan para pendaki tentang gunung yang bakal kamu daki. Persiapan mental diperlukan supaya nantinya kamu nggak tiba-tiba melempem di tengah jalan—ngeluh, nangis, main watak. Kurangnya persiapan fisik dan mental adalah alasan kedua kenapa pendaki perdana kapok naik gunung.
3. Terlalu menggampangkan naik gunung
“Ngapain dibikin ribet. Naik gunung ‘kan cuma jalan kaki aja sampai puncak.” Ada yang berpendapat seperti itu. Naik gunung dianggap nggak perlu persiapan seserius caving, climbing, atau scuba diving, yang technical. Seolah-olah syarat supaya bisa naik gunung cuma satu: bisa beli gear.
Padahal, dari mulai perencanaan sampai benar-benar melakukan perjalanan, seorang pendaki dituntut buat punya skill tertentu. Supaya perjalanan bisa nyaman, mereka mesti jago riset pra-pendakian, harus bisa packing supaya nyaman di jalan, mesti punya social skill supaya bisa tiba di base camp, wajib punya ilmu manajemen perjalanan. Kamu pasti bisa melihat sendiri nanti: bagaimana bedanya antara pendakian yang persiapannya bagus sama pendakian yang persiapannya asal-asalan. Naik di rombongan yang terlalu menggampangkan naik gunung juga bakal bisa jadi alasan kenapa pendaki perdana kapok naik gunung.
4. Nanjak bukan atas kesadaran sendiri tapi diajak
Alasan berikutnya kenapa pendaki perdana kapok naik gunung adalah karena mereka nanjak bukan atas kesadaran sendiri tapi diajak. Bukan berarti kamu disarankan buat nggak nerima tawaran buat naik gunung pertama kali, lho. Maksudnya begini: sebelum kamu diajak naik gunung sama orang, pastikan dulu kamu sudah punya keinginan buat naik gunung.
Anggap aja ajakan naik gunung adalah kesempatan, dan kesempatan cuma bakal bisa diambil oleh orang-orang yang sudah siap. Kalau kamu sudah punya keinginan buat naik gunung saat tawaran buat nanjak muncul, artinya kamu sudah siap untuk menerima kesempatan itu. Ini penting banget, lur. Supaya bisa bertahan di rimba, kamu perlu “kesadaran” dan inisiatif.
5. Naik gunung di musim yang salah
Nanjak di musim yang salah juga bisa jadi alasan kenapa pendaki perdana kapok naik gunung. Oke, gunung yang kamu pilih buat pendakian perdanamu adalah Merbabu yang katanya cocok buat perdana. Jalur yang dilewati juga jalur klasik, Selo, yang panjang tapi nggak terlalu nanjak. Tapi, kamu naik pas di puncak musim hujan.
Konsekuensinya kamu kena hujan sepanjang perjalanan, dingin. Trek pendakian kamu jadi sungai kecil yang airnya mengalir deras, warna coklat pula, kamu basah sepanjang perjalanan. Licin, tiap sepuluh meter jatuh. Kalau sudah kayak gitu pada pendakian perdana, kalau tekad nggak kuat, pendaki perdana bisa say goodbye sama kegiatan pendakian gunung.
6. Nanjak dengan teman yang salah
Bukannya menghasut kamu untuk pilih-pilih teman. Kenyataannya, di gunung semua sifat, karakter, dan tabiat seseorang ketahuan. Di kota mungkin teman-temanmu itu asyik. Waktu nongkrong kalian bisa ketawa terus-terusan sampai pagi. Bisa ngobrol karena banyak bahan pembicaraan—yang bisa kalian temukan di media sosial.
Teman-teman asyikmu waktu di kota itu barangkali jadi teman-teman yang bakal ninggalin kamu saat melakukan pendakian. Atau malah jadi teman-teman yang bakal kamu tinggalin waktu nanjak. Mereka bisa jadi pendiam di gunung karena jauh dari sinyal 4G. Nggak ada yang bisa menebak. Jadi, kamu mesti selektif memilih kawan buat mendaki. Cari tahu dulu riwayat pendakiannya gimana. Soalnya, nanjak dengan teman yang salah juga bisa jadi alasan kenapa pendaki perdana kapok naik gunung.
7. Terlalu termakan film-film petualangan
Film-film tentang petualangan biasanya cuma menampilkan yang enak-enaknya aja, lur. Jangan lupa kalau para aktornya bisa santai kayak gitu karena mereka jalan bareng kru. Barang-barangnya ada yang bawain, makanan ada yang masakin, mereka punya asisten. Makanya masih sempat baca puisi di puncak gunung.
Kenyataannya beda banget. Cobain aja sendiri kalau nggak percaya. Makanya, jangan terlalu termakan sama adegan-adegan dalam film petualangan. Buat dapetin adegan bagus—langit biru, samudra di atas awan, matahari terbit yang bulat banget—yang bikin film pasti rela bertahan di sana berhari-hari. Kalau yang kamu harapkan itu, siap-siap kecewa dan kapok naik gunung.
Bagaimana menurutmu? Bener, nggak? Atau, malah sebaliknya, kamu ngalamin hal-hal di atas tapi malah nggak kapok-kapok buat naik gunung?
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.
Lebih tepatnya ke Fisik sih.
Gw Tahun kemarin pertamakalinya naik Gunung. Langsung di ajak Bokap naik Gunung Slamet via Bambangan.
Dari semenjak di Stasiun Purwokerto, Temen Bokap gw selalu ngomong gini ke Bokap gw :
“Boy, anak lu nanti santai aja, kalo gak kuat, usahain tetep ikutin kita aja di paling belakang”.
Tapi sejak awal start ke Pos Bayangan, Pos 1, 2, 3, 4 (letak sumber air terakhir), 5 sampai tempat Camp di Pos 6, Justru gw yang pertama sampai, berdua Bokap gw.
Karena gw dan Bokap gw Seminggu 3 kali masih Rutin Badminton dan kita berdua Tidak merokok. Kita berhenti di tiap Pos aja, dan kalo dapet Spot Foto keren / nature banget.
2-3 Jam kemudian Rombongan lain yang sering naik Gunung baru sampai di Pos untuk Berkemah td (Pos 6 & 7 yang memang berhimpitan).
Di tambah Momen Rese, dimana Jam 4 gw berdua Summit Attack bawa Full Carrier + Bawa Tenda. Karena rencana awal mau Lintas. ternyata Setelah kita berangkat ada Ranger yg memberitahukan Jalur Lintas sedang Longsor. Hadeuhhh.. (Rombongan lain tiba bareng kita 5 menit kemudian, padahal mereka berangkat Jam 5 an hanya bawa Tas Pinggang).
Iya, bener. Persiapan fisik perlu banget. Mau nggak mau harus. 🙂