Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.
Dahulu, sebelum ada Jembatan Rajamandala, yang dikenal pula sebagai Jembatan Citarum Baru, satu-satunya akses utama menuju Cianjur maupun sebaliknya via Rajamandala adalah Jembatan Citarum Lama. Jembatan ini adalah bagian kecil dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan Willem Daendels, pada abad ke-19.
Jalur Jembatan Citarum Lama berada di sisi selatan Jembatan Rajamandala dan terhalang oleh beberapa bukit. Berbeda dengan jalur Jembatan Rajamandala yang lebih modern, lurus, dan datar, jalur Jembatan Citarum Lama dihiasi dengan sejumlah kelokan tajam, tanjakan, serta turunan curam.
Meski demikian, kawasan ini sesungguhnya menyimpan daya tarik tersendiri. Wilayah di sekitar Jembatan Citarum Lama masih dipenuhi belukar, hutan, maupun ladang. Suasananya lebih alami dibandingkan jalur Jembatan Citarum Baru, yang bernuansa urban dan relatif lebih sibuk.

Keberadaan Monyet Ekor Panjang
Salah satu daya tarik utama di kawasan Jembatan Citarum Lama adalah keberadaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering berkeliaran di sekitar jembatan. Kera jenis ini termasuk spesies yang dapat beradaptasi dengan lingkungan urban sehingga sering pula ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Keberadaan mereka di sekitar Jembatan Citarum Lama setidaknya menunjukkan bahwa ekosistem di sekitar kawasan masih cukup alami untuk mendukung populasi primata ini.
Saat saya menyambangi kawasan ini, Kamis pagi (3/4/2025), terlihat kawanan kera sedang terlihat berada tak jauh dari belokan di sisi timur jembatan. Sementara sebagian lainnya dengan lincah melompat dan bergelayutan di ranting-ranting bambu yang tumbuh di sekitar jembatan. Beberapa kera terlihat pula merayap di pagar jembatan.
Sejumlah pengendara yang melintas memilih untuk melambatkan kendaraan mereka, bahkan ada yang berhenti sejenak untuk memotret kera-kera tersebut. Namun, ada juga yang tampak ragu-ragu untuk melintas, khawatir kera akan melompat ke kendaraan mereka.
“Sok, Teh, teras we. Moal nanaon, da (Silakan, Mbak. Terus saja. Nggak akan apa-apa),” kata seorang bapak, yang merupakan warga lokal. Ia meyakinkan seorang perempuan pengendara motor yang terlihat ragu untuk melintas tatkala sejumlah kera bergerombol di bahu jalan. Bapak itu lantas menggiring kera-kera itu ke tepi jalan.

Menjadi Jalur Utama Bandung–Cianjur
Sementara itu, di sisi utara, Jembatan Citarum Baru yang menjadi jalur utama Bandung–Cianjur, kini menjadi kawasan yang semakin ramai. Bukan hanya aneka jenis kendaraan, kawasan ini juga disesaki para penjual makanan dan minuman.
Di kiri dan kanan jalan, berderet jongko yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak ketinggalan, sebuah toko swalayan berdiri pula tak jauh dari Jembatan Citarum Baru. Banyak pengendara yang memilih beristirahat sejenak di kawasan ini sebelum melanjutkan perjalanan mereka.
Boleh dibilang keberadaan Jembatan Citarum Baru ini telah menumbuhkan apa yang diistilahkan sebagai roadside economy. Artinya, infrastruktur jalan yang dibangun lantas mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sekitar jalur tersebut.
Dikutip dari Pikiran Rakyat (21/12/2020), Jembatan Citarum Baru pertama kali difungsikan sebagai jembatan tol pada tahun 1979. Kehadirannya dimaksudkan untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh Bandung–Cianjur maupun sebaliknya.
Status tol Jembatan Rajamandala sepanjang 222 meter ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979. Pengoperasiannya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia, yakni Jalan Tol Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978. Merujuk pada keputusan tersebut, saat diterbitkan, besaran tarif tol jembatan tersebut kala itu adalah Rp50 untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga, lalu Rp100 untuk kendaraan roda empat atau lebih.
Saat ini, Jembatan Rajamandala alias Jembatan Citarum Baru tak lagi berstatus sebagai jalan tol, Statusnya dicabut oleh Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan ini pun kini bisa dilintasi dengan gratis karena menyandang status sebagai jembatan umum non-tol.

Tidak Serta-merta Dilupakan
Lantaran kiwari sebagian besar pengendara umumnya memilih jalur Jembatan Citarum Baru, maka kawasan Jembatan Citarum Lama cenderung relatif lengang. Meskipun demikian, Jembatan Citarum Lama tidak serta-merta dilupakan. Selain warga lokal, toh masih ada pengendara yang memilih melewati jalur ini. Baik itu karena alasan nostalgia, menghindari kemacetan di jalur utama, atau sekadar ingin merasakan sensasi perjalanan dengan suasana yang lebih tenang.
Ditilik dari aspek historis, keberadaan Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari potongan kecil dari sejarah jaringan transportasi di Jawa Barat. Jembatan Citarum Lama bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan juga saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan sosial di wilayah tersebut.
Seperti telah disebutkan di muka, Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari proyek Jalan Raya Pos yang diinisiasi oleh Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Jalan Raya Pos ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jembatan Citarum Lama sendiri awalnya difungsikan untuk mendukung mobilitas logistik dan militer, serta menghubungkan kawasan pedalaman Tatar Sunda dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi yang berada di pesisir utara Jawa Barat.
Secara strategis, jembatan ini menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan antardaerah, terutama sebelum hadirnya jalan-jalan arteri modern dan tol. Arus manusia, hasil bumi, serta komoditas industri melewati jembatan ini selama beberapa dekade, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi lokal.

Potensi Destinasi Wisata Sejarah
Dilihat dari kacamata pariwisata, jalur Jembatan Citarum Lama sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah serta ekowisata. Dengan panorama alam di sekitarnya dan keberadaan satwa liar macam kera ekor panjang, Jembatan Citarum Lama bisa dikembangkan sebagai objek wisata alternatif bagi mereka yang ingin merasakan perjalanan yang lebih tenang dan dekat dengan alam.
Pemerintah setempat, misalnya, dapat mengembangkan jalur ini sebagai rute wisata sejarah. Caranya dengan menyediakan informasi mengenai sejarah Jalan Raya Pos dan peran jembatan ini dalam mobilitas masyarakat dari masa ke masa. Konsep ini mirip dengan pengelolaan heritage road di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, yang menggabungkan nilai historis sebuah jalan dengan pengembangan wisata.
Khusus berkaitan dengan keberadaan kera ekor panjang, tentu saja perlu ada upaya konservasi terhadap habitat satwa ini. Penyediaan papan peringatan untuk tidak memberi makan satwa liar secara langsung, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kiranya dapat membantu menjaga populasi mereka tetap lestari.
Dengan pendekatan yang tepat, jalur Jembatan Citarum Lama diharapkan bisa terus berfungsi sambil mampu mempertahankan nilai historis dan ekologinya. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, jembatan ini tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa tergantikan oleh jalur baru yang lebih modern.
Melewati jalur Jembatan Citarum Lama bukan hanya sekadar melakoni perjalanan fisik, tetapi juga memasuki semacam lorong waktu. Setiap kelokan dan tanjakan di jalur ini menyimpan kisah tentang masa lalu yang gemanya masih bisa dirasakan hingga hari ini.
Bagi para pencinta sejarah, pengendara yang ingin mencari jalur alternatif dari arah Bandung menuju Cianjur maupun arah sebaliknya, atau mereka yang ingin sekadar menikmati suasana alam yang lebih tenang, jalur Jembatan Citarum Lama dapat menjadi opsi yang menarik. Sekaligus menawarkan pengalaman berkendara yang berbeda dibandingkan dengan jalur utama yang padat dan bising.
Referensi:
Arifianto dan Muhaemin. (2020, 21 Desember). Jadi yang Pertama di Indonesia, Kisah Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala Bisa Mendebarkan Jantung. Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011143809/jadi-yang-pertama-di-indonesia-kisah-pembangunan-jembatan-tol-rajamandala-bisa-mendebarkan-jantung?page=all, diakses pada Kamis, 10 April 2025.
Slamet, Ikbal. (2023, 29 Mei). Kenangan di Tol ‘Gope’ Jembatan Rajamandala Cianjur. Detik.com, https://www.detik.com/jabar/berita/d-6743344/kenangan-di-tol-gope-jembatan-rajamandala-cianjur, diakses, Kamis, 10 April 2025.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.