Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama satu semester di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) akan berakhir, menandai kepulanganku ke Tangerang Selatan.
Bukit Cinta di kawasan Kelapa Lima, dengan panorama sunset-nya yang memukau, menjadi pilihan sempurna untuk merenungkan perjalanan akademis dan budaya yang telah mengubah perspektifku selama empat bulan terakhir.
Transformasi Akademis di Indonesia Timur
“Beta mau ajak katong ke Bukit Cinta sore ini,” ajak Filan dengan logat Kupang yang masih kental dengan aksen Manggarai, mengundangku dan Jein untuk menikmati sunset setelah kuliah.
Setelah satu semester, dialek lokal yang awalnya terdengar asing kini terasa akrab di telinga. Beradaptasi dengan bahasa lokal menjadi salah satu keterampilan tak tertulis yang kudapatkan dari program pertukaran ini—bagaimana kata “kita” berubah menjadi “katong” dan “tidak” menjadi “sonde” dengan intonasi yang naik turun seperti gelombang laut Timor.
Selama empat bulan menuntut ilmu di UNDANA, aku mengambil beberapa mata kuliah di Program Studi Matematika. Adaptasi di lingkungan baru memang tidak mudah, dan aku mengalami sedikit kesulitan dalam beberapa minggu pertama. Terlebih dengan mata kuliah yang cukup menantang, seperti Struktur Aljabar Lanjutan dan Analisis Real—mata kuliah yang benar-benar membuat rambut keriting!
Namun, pengalaman belajarku tidak terbatas pada ruang kelas saja. Melalui Modul Nusantara yang berbobot 4 SKS, aku berkesempatan menyelami kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat NTT. Di bawah bimbingan Pak Tom, dosen pendamping kami, 20 mahasiswa PMM dari berbagai universitas di Indonesia bersama-sama menjelajahi keindahan dan kekayaan budaya NTT setiap akhir pekan.
Hari Sabtu dan Minggu menjadi waktu yang paling dinantikan. Setelah lima hari bergelut dengan perkuliahan, kami menyegarkan pikiran dengan berbagai kegiatan yang menarik. Kami mendaki Bukit Fatuleu, menjelajahi gua-gua di sekitar Fatusuba, hingga berlayar ke pulau-pulau terdekat, seperti Semau, Rote, dan Alor.
Di Rote Ndao, kami mempelajari proses pembuatan sopi, minuman tradisional yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Di Timor Tengah Selatan (TTS), kami belajar seni menenun kain dengan motif-motif khas daerah. Pengalaman spiritual juga kami dapatkan melalui kunjungan ke Masjid Al-Muttaqin dan Gereja HKBP Kupang, tempat kami belajar tentang indahnya toleransi antarumat beragama di NTT.

Rusunawa, Tempat Berteduh Mahasiswa Pertukaran
Setelah menyetujui ajakan Filan, aku kembali ke rusunawa—rumah susun yang dikhususkan bagi mahasiswa pertukaran—untuk bersiap. Gedung sederhana dua lantai ini telah menjadi rumah bagi lebih dari 300 mahasiswa PMM dari berbagai penjuru Indonesia. Di sinilah aku pertama kali belajar tentang keberagaman Indonesia yang sesungguhnya.
Kamarku dihuni empat orang dari pulau yang berbeda. Aku dari Nias yang merantau di Pamulang, Kak Eris dari Depok dengan tinggi hampir 170 cm, Kak Yuli dari Lampung dengan keahlian memasaknya, dan Kak Uni dari Bandung yang sedang berhalangan datang ke Bukit Cinta. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang awalnya sering menimbulkan kesalahpahaman kecil, perlahan berubah menjadi pembelajaran berharga tentang toleransi dan adaptasi.
Rusunawa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga laboratorium sosial tempat kami belajar mengelola konflik, berkompromi, dan menghargai perbedaan. Setiap lantai memiliki dapur komunal yang menjadi saksi bisu bagaimana mahasiswa Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku bertukar resep dan cerita. Di sinilah persahabatan lintas budaya terjalin, jauh lebih kuat dari sekadar pertemanan di ruang kelas.
Koper-koper sudah mulai dikeluarkan dari bawah tempat tidur. Beberapa teman sudah mulai mengepak barang, meski masih ada yang berpura-pura perpisahan masih jauh. Aku termasuk yang kedua, menunda segala persiapan kepulangan—seolah dengan begitu waktu akan ikut tertunda.

Renungan di Bukit Cinta
Kami tiba di Bukit Cinta sekitar pukul 16.15 WIB. Jalanan menanjak dan berkelok membuat mobil Maxim kami mendengus seperti kerbau tua. Dari ketinggian, Kota Kupang terhampar dengan keunikannya—perpaduan antara modernitas perkotaan dan kesederhanaan kampung pesisir.
Bukit Cinta terletak tidak jauh dari kampus. Tempat ini menjadi favorit warga lokal untuk menikmati panorama matahari terbenam di Kupang. Konon, nama ini berasal dari banyaknya pasangan yang datang untuk menikmati pemandangan romantis.
Bukit Cinta, dengan bebatuan dan vegetasi khasnya, adalah cermin sempurna tentang ketangguhan alam NTT. Dari kunjungan-kunjungan ke desa sekitar selama program pertukaran, aku belajar bagaimana masyarakat lokal bertahan di tengah tantangan iklim kering dan lahan berbatu. Mereka mengembangkan sistem pertanian lahan kering yang unik, menanam jagung dan kacang di antara bebatuan dengan cara yang telah diwariskan turun-temurun.
“Bagaimana perasaan kaka empat bulan di Kupang?” tanya Filan saat kami duduk menghadap matahari yang mulai turun. Pertanyaan sederhana ini membuka diskusi panjang tentang pengalaman kami selama program pertukaran.
Jein, mahasiswa lokal UNDANA yang kini menjadi sahabat dekat, bercerita bagaimana awalnya ia merasa ada jarak dengan mahasiswa pertukaran. “Kami pikir kalian dari Jawa pasti memandang rendah Kupang yang kecil dan kering,” akunya jujur. “Tapi cara kalian beradaptasi dan menghargai budaya kami mengubah pandangan itu.”
Pertemanan lintas budaya seperti ini adalah inti dari program PMM. Melalui Filan dan Jein, aku belajar bahwa keramahan orang NTT bukan sekadar basa-basi. Mereka mengajariku tentang “utang budaya”, konsep bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan materi. Prinsip ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang selalu siap membantu meski hidup dalam keterbatasan.

Jejak yang Tertinggal dan Dibawa Pulang
Langit berubah jingga saat matahari perlahan turun, melukis garis-garis merah di ujung langit. “Di Kupang, kita mungkin tidak punya mal mewah atau bioskop besar,” ucap Jein pelan. “Tapi kami punya sunset terbaik di Indonesia.”
Jein benar. Selama empat bulan di sini, aku menyaksikan bagaimana senja menjadi ritual harian warga Kupang. Dari pedagang kaki lima hingga pejabat, semua menyempatkan diri untuk menikmati keajaiban alam ini.
Senja di Kupang adalah demokratisasi keindahan, tersedia gratis untuk semua orang tanpa memandang status sosial. Ini mengajariku tentang kebahagiaan sederhana yang sering kulupakan di tengah hiruk-piruk Tangerang. Di sini, keindahan alam bukan sekadar latar untuk foto Instagram, melainkan pengalaman spiritual yang dirayakan setiap hari. Obrolan hangat mengalir diiringi jepretan kamera yang berusaha mengabadikan kebersamaan.
Ketika langit mulai gelap dan pengunjung lain beranjak pulang, kami masih bertahan, enggan mengakhiri momen berharga ini. Empat bulan di Kupang telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam diriku. Bukan hanya tentang pengetahuan akademis, melainkan juga kearifan hidup yang sulit ditemukan di daerah urban. Masyarakat NTT mengajariku tentang ketangguhan dalam menghadapi keterbatasan, kegembiraan dalam kesederhanaan, dan ketulusan dalam persahabatan.


Keceriaan di tengah senja yang kian gelap/Intan Idaman Halawa
Program pertukaran ini membuatku memahami bahwa Indonesia jauh lebih kaya dan beragam dari yang selama ini kubayangkan. Setiap pulau memiliki cerita dan kearifannya sendiri, yang sayangnya sering tidak mendapat tempat dalam narasi pembangunan nasional yang terpusat di Jawa.
Dengan tangan-tangan kami yang kotor setelah bermain di rerumputan bukit, kami memutuskan untuk kembali ke Rusunawa. Cahaya terakhir senja telah lenyap, digantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala seperti konstelasi bintang buatan manusia. Dari ketinggian, lampu-lampu permukiman warga terlihat seperti refleksi langit malam, pengingat bahwa keindahan bisa hadir dalam berbagai bentuk.
Saat kami turun dari bukit dalam gelap malam, dengan hanya cahaya ponsel menerangi jalan, aku tahu bahwa Kupang telah memberiku lebih dari sekadar pengalaman akademis. Ia telah memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai tentang ketangguhan, keberagaman, dan keindahan Indonesia yang sesungguhnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.