
Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang), atau Thekelan (Semarang). Meski masih satu kabupaten dengan Suwanting, tetapi Wekas berada di desa dan kecamatan berbeda. Suwanting terletak di Banyuroto, Kecamatan Sawangan, sedangkan Wekas berlokasi di Kenalan, Kecamatan Pakis.
Kesempatan pertama mendaki jalur Wekas datang pada pertengahan Juli 2024. Mulanya saya mencoba pendakian tektok (tanpa menginap), tetapi tidak sampai puncak. Saat itu saya bersama Eko, kawan karib seangkatan semasa kuliah di Malang, hanya menuntaskan perjalanan hingga mata air di jalur Thekelan, lalu balik turun. Baru pada 3–4 Agustus 2024 lalu saya mengulangi jalur ini dengan camping dua hari satu malam. Eko yang kini bekerja di Pemalang ikut lagi, ditambah teman-teman dari luar kota, yakni Lukas dan Dio (Surabaya) serta Kurniawan—kakak tingkat saya semasa kuliah dan kini bekerja di Tangerang.
Dari sekitar tiga basecamp milik warga yang ada di Wekas, saya memilih basecamp Pak Lasin. Rumah petani sayur yang juga berprofesi sebagai pemandu dan porter itu dekat dengan akses utama menuju pintu hutan Merbabu Pass, titik awal pendakian. Berbeda dengan perjalanan bersama Eko sebelumnya yang membawa motor, kali ini saya membawa mobil sewaan. Sebab, barang-barang untuk pendakian lebih banyak.
Rombongan prapendakian terbagi menjadi dua keberangkatan. Saya menjemput Kurniawan terlebih dahulu di Stasiun Yogyakarta, sedangkan Eko menyusul naik bus ke Salatiga untuk bertemu Lukas dan Dio di sana. Kami sepakat bermalam di basecamp sebelum pendakian keesokan paginya, agar persiapan lebih mudah dan tidak terburu-buru.


Tampak luar basecamp Pak Lasin di Wekas (kiri) dan kondisi bagian dalam rumah/Rifqy Faiza Rahman
Kehangatan di tengah dingin
Konsekuensi dari menyulap rumah menjadi basecamp adalah berbagi ruang antara keluarga dengan tamu. Di Wekas sebagian besar tamu adalah pendaki Merbabu, yang mungkin populasi hariannya melebihi jumlah populasi penduduk setempat. Menurut sistem reservasi daring taman nasional, Wekas dapat jatah kuota harian 294 pendaki. Lebih sedikit daripada Selo, Suwanting, dan Thekelan yang mengakomodasi 330–350 pendaki per hari.
Dalam catatan GPS saya, ketinggian rumah Pak Lasin mencapai 1.748 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagaimana hunian perdesaan di kaki gunung, rumah Pak Lasin sangat sederhana tanpa banyak perabot. Ada tiga bagian di rumah ini, yaitu dua kamar pribadi, ruang tamu, dan pawon lawas beralas tanah—kamar mandi satu-satunya juga ada di sini.
Di ruang tamu tak berkeramik itu, hanya plester semen, puluhan pendaki bisa beristirahat di atas tikar yang disediakan Pak Lasin. Kadang-kadang pendaki menambahkan alas matras atau sleeping pad agar hangat lalu tidur dengan sleeping bag, seperti yang saya lakukan. Selepas petang sampai subuh keesokan harinya, suhu di luar akan turun mendekati angka satu digit. Menusuk kulit, tetapi di dalam rumah hangat.
Di rumah, istri Pak Lasin menyediakan makanan dan minuman untuk pendaki. Menunya antara lain nasi sayur (plus lauk telur), nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus. Pilihan minumannya standar, seperti teh, kopi, dan air mineral biasa. Menu makanan yang sederhana itu semata pertimbangan kemudahan bahan saja, bukan karena tenaga yang terbatas. “Kalau bikin ramesan gitu repot nanti, Mas, karena harus bolak-balik ke pasar buat belanja bahan. Kalau sayur kan tinggal ambil di kebun, sementara beras, telur, dan mi bisa awet buat beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari pergi ke pasar,” jelas ibu dua anak itu.
Ia biasa memasak di pawon jadul itu, mengandalkan kayu bakar sebagai sumber perapian, yang bisa jadi sumber kehangatan. Kehangatan yang juga muncul dari interaksi antarpendaki dengan keluarga Pak Lasin,


Eko berfoto bersama Pak Lasin dan istri (kiri). Istri Pak Lasin sedang merebus air di pawon rumahnya. Foto ini diambil saat pendakian tektok bersama Eko pada Juli 2024 lalu/Rifqy Faiza Rahman
Jarak dan air, jaminan kenyamanan jalur Wekas
“Jalur Wekas itu jalur paling pendek dan cepat di Merbabu,” kata Pak Lasin. Ia menyebut kisaran angka 4–5 kilometer untuk total jarak dari basecamp ke Kenteng Songo dan Triangulasi, puncak tertinggi gunung ini.
Saya coba mengecek situs web taman nasional. Panjang jalur Wekas 4,86 kilometer. Benar kata Pak Lasin, lebih pendek dari Selo (5,63 km), Suwanting (5,68 km), dan Thekelan (6,1 km). Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur Thekelan di percabangan batas tiga kabupaten: Magelang-Semarang-Boyolali (2.847 mdpl).
Selain soal jarak, Pak Lasin menyebut ketersediaan sumber air jadi kelebihan jalur Wekas. Letaknya di Pos 2 Kidang Kencana (2.480 mdpl), yang juga jadi tempat berkemah paling ideal di jalur ini. Kami tidak perlu repot-repot membawa banyak air dari basecamp, pun tidak perlu khawatir kehabisan bekal air selama pendakian.
“Turun dari puncak bisa isi ulang air lagi di bawahnya Helipad itu,” jelas Pak Lasin. Helipad (2.898 mdpl) adalah salah satu pos datar yang sempit di punggungan jalur Thekelan-Wekas menuju puncak. Dinamakan Helipad karena bentuknya menyerupai landasan helikopter, hanya saja tidak ada huruf ‘H’ besar di permukaan tanahnya.
Tak jauh dari Helipad, ada satu cabang jalur menurun yang bisa jadi jalan tembus ke puncak atau sebaliknya, dan terdapat sumber air yang dialirkan dengan keran. Jaraknya kira-kira 5–10 menit perjalanan. Dari sumber ini pula tersambung pipa-pipa PVC yang lentur dan panjang, menyelimuti lereng-lereng curam, untuk memenuhi kebutuhan air jalur Suwanting.
Akan tetapi, lanjut Lasin, kenyamanan jalur Wekas tersebut acapkali kurang memikat pendaki, yang kebanyakan lebih memilih Selo atau Suwanting. Bukan tanpa sebab. Pendeknya jarak tempuh jelas membawa konsekuensi bahwa jalur akan lebih sering menanjak dan minim bonus—istilah untuk trek datar atau landai. Adanya penutupan untuk rehabilitasi kedua jalur itu beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah. Jalur klasik Thekelan dan Wekas yang sebelumnya jarang dilirik mulai mendapat atensi seperti dahulu kala.
“Kalau pendaki lawas dulu, ya, tahunya naik Merbabu lewat Thekelan atau Wekas, Mas,” kata Pak Lasin. Kedua jalur tersebut sama-sama bisa diakses dari jalan raya Magelang–Salatiga, dekat kawasan wisata Kopeng.
Ujian kesabaran hingga HM 19
Pendakian pada Sabtu pagi (3/8/2024) kami mulai pada pukul 08.30 setelah sarapan nasi sayur dan lauk telur yang dibuat istri Pak Lasin. Kami juga memesan masing-masing seporsi nasi telur untuk makan siang di camp Pos 2 Wekas nantinya. Tukang ojek dengan tarif Rp15.000 sekali jalan yang kami pesan untuk mengantar ke pintu hutan Merbabu Pass (1..858 mdpl) juga sudah siap di depan basecamp.
Sejam sebelumnya, Eko turun ke Pos TPR (tempat pemungutan retribusi) yang terletak di tepi jalan kampung, untuk registrasi ulang SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang telah kami pegang lewat reservasi daring. Kami hanya perlu membayar biaya tambahan berupa retribusi kampung dan parkir. Banyak mobil rombongan pendaki yang parkir paralel di pinggir jalan. Sebab, kontur kampung cukup ekstrem dan sempit jika dipaksakan parkir dekat basecamp, kecuali sepeda motor yang bisa dititipkan di masing-masing basecamp.
Tampaknya pendakian hari itu akan ramai pendaki karena akhir pekan. Pak Lasin pun ikut naik, ia dan tetangga dusunnya disewa sebagai porter dan pemandu oleh satu rombongan pendaki asal Jakarta. “Alhamdulillah hari ini full (kuota), Mas.”
Untuk itulah kami berangkat lebih awal, sebelum jalur terlalu sesak pendaki. Menggunakan ojek merupakan pilihan bijak untuk menghemat tenaga dan waktu, sekaligus memberi sedikit kontribusi pada roda perekonomian masyarakat.
Perjalanan dengan ojek ke Merbabu Pass dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebuah plang putih sederhana memberi informasi yang menyambut pendaki memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Trek awal yang datar di 200 meter pertama sempat memberi kami napas lega, sebelum harus bersahabat dengan tanjakan yang nyaris tanpa putus sampai patok HM (hektometer) 19.
“Ya, normalnya paling 3–4 jam sudah sampai Mas di Pos 2,” Pak Lasin memberi info waktu tempuh pendakian. Ketika saya dan Eko mendaki tektok bulan sebelumnya, kami butuh dua jam berjalan santai dari Merbabu Pass sampai Pos 2. Dengan beban bawaan yang lebih banyak, kami berasumsi akan sampai di Pos 2 dua kali lebih lama dari durasi tektok.
Rasanya, energi dari asupan sarapan pagi mulai menguap seiring kemiringan tanjakan jalur Wekas. Berdasarkan pengalaman tektok sebelumnya, satu kilometer pertama sampai Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl) baru bisa dianggap pemanasan. Dua pos bayangan tanpa selter, Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl), kurang representatif sebagai tempat istirahat sehingga kami sedikit memacu tenaga agar bisa mengatur napas lebih lama di selter Pos 1 yang berupa gazebo kayu. Pendakian menuju Pos 1 memerlukan waktu sekitar 50–60 menit.
Tutupan hutan jalur Wekas sedang-sedang saja. Vegetasi yang tumbuh di jalur punggungan yang dilalui pipa air itu didominasi cemara gunung, mlanding (sejenis lamtoro), dan tanaman perdu. Jika beruntung, akan terlihat kawanan Macaca fascicularis alias monyet yang bergelantungan di dahan-dahan dan relatif jinak, tidak seagresif di Rinjani, Butak, atau hutan Baluran.
Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian menuju camp Pos 2. Di sinilah ujian kesabaran sesungguhnya, baik fisik dan mental. Selepas HM 11 sampai HM 19 adalah fase terberat jalur ini. Kaki harus diangkat tinggi-tinggi melebihi lutut. Untuk menguji diri, Dio meminta bertukar tas. Ia ingin merasakan carrier 65 liter milik saya yang berisi tenda kapasitas empat orang, alat masak, dan sejumlah logistik lainnya. Sementara saya memakai tas Dio yang bobotnya relatif lebih ringan.
Hari kian beranjak siang. Langkah kian tertatih. Dio sempat terlihat kepayahan ketika mencapai ujung tanjakan HM 19, tapi menolak menyerah. Tanggung, katanya. Ia benar. Vegetasi sudah terbuka. Hanya perlu 600 meter lagi sampai ke HM 25, tempat Pos 2 berada. Di sisi kiri terpisah jurang, tampak punggungan jalur Thekelan yang berujung pada Puncak Pemancar. Bekas menara radio tentara itu ambruk tak bersisa akibat badai besar musim hujan lalu.
Ritme langkah kami mendadak cepat seiring melandainya jalan setapak berdebu. Pos idaman jalur ini telah menyambut di depan mata. Lukas dan Kurniawan sudah tiba lebih awal setengah jam yang lalu. Mereka ‘mengkaveling’ sepetak tanah yang muat untuk dua tenda dome kami. Hanya sepelemparan batu dengan gazebo kayu dan keran sumber air. Kami akan bermalam di sini.


Gazebo sederhana di area camping ground Pos 2 Wekas (kiri) dan kumpulan tenda rombongan pendaki peserta open trip/Rifqy Faiza Rahman
Menyongsong senja, merayakan malam
Sebelum berangkat mendaki, aplikasi radar cuaca memprakirakan dua hari ke depan akan cenderung cerah. Mungkin hampir niscaya karena Agustus hingga September terbiasa jadi puncak musim kemarau, yang identik dengan debu dan angin kencang.
Walaupun potensi turunnya hujan itu tetap ada. Jika itu terjadi, BMKG kerap menyebutnya sebagai ‘campur tangan’ fenomena global, yakni gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, yang berperan dalam sistem curah hujan tropis dan memicu gelombang iklim berskala besar Osilasi Madden-Julian (MJO). Fenomena-fenomena ini mungkin tidak akan tampak secara tersurat di langit beberapa daerah dan dampak yang timbul setelahnya. Namun, setidaknya dalam pendakian kami hari itu, cuaca yang bersahabat berpeluang lebih besar terjadi daripada cuaca buruk. Di Gunung Merbabu, alam memiliki kemungkinan besar menghadirkan senja dan pagi dengan raut khas yang semestinya.
Ada satu alasan lagi yang membuat saya memilih tanggal pendakian di hari ini. Sebagai penikmat fotografi, saya tidak ingin melewatkan kesempatan memotret milky way saat malam tiba. Fenomena malam menakjubkan ini hanya akan mudah terlihat saat tanggal-tanggal fase bulan baru (new moon), atau saya biasa menyebutnya fase bulan mati—bisa dicek lewat aplikasi kalender bulan semacam Lunar Phase atau sejenisnya. Sebab, langit akan lebih bersih tanpa polusi cahaya dari hari-hari ketika bulan bersinar terang benderang. Gunung yang tinggi dan minim gangguan cahaya buatan jadi salah satu prasyarat wajib untuk merekam miliaran bintang dan sistem tata surya dalam galaksi spiral Bimasakti lewat lensa kamera.
Usai perburuan foto senja dan gemintang, saya kembali ke tenda. Pembicaraan sebelum makan malam tadi masih menggantung di antara kami, lalu saya pastikan lagi, “Gimana, besok jadi muncak?”
Tarik ulur rencana ke puncak itu karena ada sebagian dari kami yang masih merasa lelah setelah dihajar tanjakan jalur Wekas. Mulanya sempat merasa cukup dengan berada di Pos 2 ini, tetapi semua akhirnya sepakat. Kami berencana berangkat agak santai, sekitar pukul empat pagi. Kami tidak akan tergesa mengejar matahari terbit di puncak, tidak akan berambisi pula untuk menggapai seluruh puncak tertinggi.
“Mau sampai Puncak Kenteng Songo atau cukup di Puncak Syarif saja?” saya tanya ulang.
“Opo jare sesok ae, wis,” kata Eko dan Kurniawan serempak, lalu mengajak saya segera beristirahat. Bagaimana kelanjutan perjalanan kami, tergantung apa kata alam besok pagi.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.