Penelusuran saya berlanjut ke Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus Gedangan. Lokasinya yang saling berhadapan dengan gereja, membuatnya menarik dikunjungi meski hanya sekadar menikmati keindahan gedungnya. Tentu tidak asal menyelonong masuk. Pengunjung harus mematuhi aturan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak.
Gerbang regol kayu memikat mata siapa pun yang melintas. Di balik regol, suasana berubah bagaikan di istana. Sesuai namanya, susteran, tentu mereka yang tinggal di sini adalah para suster Ordo Santo Fransiskus. Mereka tinggal untuk mejalankan kaul biarawatinya, sedangkan bruderan menjadi tempat tinggal para bruder dan romo.
Masing-masing memiliki tempat dan ajaran berbeda, sesuai dengan pendidikan yang diemban. Gedung susteran biasa disebut juga sebagai biara. Sarana prasarana pendukung kegiatan masih sangat lengkap, seperti saat awal berdiri.
Setelah mendapat izin dari perwakilan biara, saya pun tak menyia-nyiakan waktu untuk menikmati detail ornamen bangunan. Tak lupa saya memotret sejumlah momen dan mencari tahu cerita di baliknya.
Berdiri di Lahan Bekas Rumah Sakit VOC
Merujuk informasi dari Albertus Kriswandono, gedung berarsitektur indis Neo-Classic ini sejatinya menempati bekas rumah sakit swasta zaman Hindia Belanda. Didirikan tahun 1732 oleh seorang pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bernama Frederik Julius Coijet.
Ketika Kota Semarang masih di bawah cengkeraman VOC, kawasan ini sangat sepi. Ideal untuk membangun rumah sakit, sebagai antisipasi penyakit menular kepada orang yang sehat yang tinggal di Kota Lama Semarang—notabene kampung Eropa. Prasasti peringatan pendirian rumah sakit sampai sekarang masih terpahat apik di dinding belakang susteran.
Seiring berjalannya waktu, gedung rumah sakit mengalami renovasi sampai seperti sekarang. Menariknya, di susteran terpahat satu prasasti lain berbahasa Belanda sebagai peringatan 100 tahun pendirian panti asuhan di Kota Semarang.
Pendirian panti asuhan tersebut dilakukan oleh Pastor Prinsen atas wasiat Wilhelmus Bezagter, seorang pensiunan militer yang sakit-sakitan. Wilhelmus Bezagter berwasiat ingin menitipkan kedua anaknya, yakni Katharina Wilhelmina dan Wilhelmus Bartholomeus, kepada gereja sehingga sang anak dapat tumbuh dewasa dengan baik.
Untuk mengurusi pekerjaan tersebut, Pastor Prinsen membentuk Kerk en Armenbestuur atau Pengurus Gereja dan Kaum Miskin (PGKM) pada 28 Januari 1809. Nama pengurus terabadikan dalam prasasti. Awal didirikan, mereka mengasuh dua anak dari Wilhelmus Bezagter. Namun, karena belum memiliki tempat, pengasuhan dilakukan dari satu keluarga ke keluarga lain.
Sekitar pertengahan 1815, berembus angin segar dari seorang janda Nieuwenhuis. Ia bersedia mengasuh anak secara tetap. Pada 1820, seiring dengan kembalinya para prajurit militer ke Belanda, Belgia, dan Prancis, banyak anak mereka yang telantar dan membutuhkan tempat layak huni. Alhasil, panti asuhan pun semakin membeludak anak asuhnya.
Setibanya Pastor Henricus Scholten di Semarang pada 1828, yang menjadi perhatian pertama adalah pendirian tempat hunian permanen untuk anak panti asuhan, yang tinggal sementara di sebuah rumah kontrakan. Ia pun membeli bekas gedung rumah sakit VOC di Gedangan, Semarang—kini Susteran St. Fransiskus—seharga 18.000 gulden, dengan pinjaman dana pemerintah Kerajaan Belanda sebesar 16.156 gulden.
Kala itu, gedung rumah sakit dikelola kolonel VOC bernama H.C. Cornelius. Setelah menjadi milik PGKM, Pastor Scholten lalu membuka sekolah pendidikan anak yatim piatu.
Bersama Gereja Katolik Gedangan, susteran ini ternyata juga menyimpan cerita kelam ketika Jepang menguasai Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada 21 Oktober 1943. Kedua kompleks digunakan sebagai kamp interniran sementara bagi warga Belanda, terutama anak dan perempuan lanjut usia, sebelum dipindah ke kamp Bangkong dan Lampersari Sompok Semarang.
Menangani Konflik Internal
Namun, begitu Pastor Scholten pindah tugas ke Batavia, terjadi perselisihan dalam tubuh PGKM semasa kepemimpinan Pastor Mouriks. Perselisihan berawal dari pernyataan sikap atas pengambilan kebijakan sekolah panti asuhan, yang harus dibuka untuk anak di luar panti. Dua kubu saling memanas, ditambah dengan informasi seorang anggota memasukkan anaknya ke sekolah panti. Pastor Mouriks mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan sang anak dari sekolah.
Guna menyelesaikan konflik, pemerintah turun tangan dalam kepengurusan PGKM. Namun, langkah tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan Residen Semarang Le Clerq. Pasca Perang Jawa berakhir, anak yatim piatu—baik akibat orang tua wafat sebagai prajurit atau lahir dari hubungan di luar nikah—pun melonjak. Mereka butuh perawatan dan perlindungan PGKM. Akan tetapi, anak-anak menerima kondisi yang tak layak. Terlebih adanya narapidana yang dipekerjakan sebagai juru masak dirasa sangat memperburuk psikis anak.
Angin segar berembus kembali tahun 1858, seiring kedatangan Pastor Josephus Lijnen di Semarang. Ia menyumbangkan gajinya 2.000 gulden lebih untuk disumbangkan ke panti asuhan. Pada 17 Oktober 1868, sang pastor kembali ke Belanda untuk menjalin kerja sama dengan kongregasi OSF Biara Induk di Heythuysen. Mereka dengan senang hati mengirimkan para suster ke Semarang pada 5 Februari 1870.
Saat para suster datang, kehidupan anak panti berubah signifikan. Setahun kemudian, didirikanlah sekolah Eksternaat untuk anak luar panti dan pendirian sekolah Frobelschool di utara panti. Frobelschool menempati bekas kediaman Radhoven, yang dibeli seharga 43.300 gulden.
Peningkatan jumlah anak asuh diimbangi dengan pendirian kedua sekolah di luar wilayah Gedangan. Area biara Gedangan lantas digunakan sebagai sekolah calon biarawati untuk perempuan pada 1892. Lalu tahun 1923 dibuka untuk biarawati pribumi.
Seiring waktu panti asuhan harus membiayai diri sendiri untuk bertahan. Salah satunya dengan menggelar lotre pada 1888. Sebagian keuntungan untuk pembangunan gedung baru hasil rancangan arsitek Westmaas Sr. Upacara peletakan batu pertama dilakukan Residen Semarang, Pieter Sijthoff pada 16 Februari 1905.
Keheningan dan Kemegahan Susteran Menghadapi Tantangan Alam
Ketika saya melangkahkan kaki ke utara biara, mata lensa langsung tertuju satu bangunan mewah berwarna merah merona. Kapel bergaya gothic ini dibangun sekitar 1891. Merujuk inskripsi Hic Primarius Lapis Positus Est. die 17 Septembris A: MDCCCCXCI, upacara peletakan batu pertama kapel dilakukan tanggal 17 September 1891. Lalu upacara peresmian pembukaan kapel berlangsung pada 6 Agustus 1892 oleh Pater Keyzer.
Deretan kursi jemaat berhias buah anggur sebagai simbol darah Kristus dan desain interior kapel masih asli seperti sediakala. Kaca patri bergaya gothic pun tetap bertengger apik di jendela yang mengelilingi kapel. Hamparan tegel motif cetak timbul, senantiasa menghiasi seluruh lantai.
Altar doa cukup sederhana. Kontras dengan bangunan kapel. Mungkin, karena fungsi awal kompleks ini sebagai biara, sehingga altar doa dibuat lebih sederhana. Jika ingin misa atau sembahyang hari raya, maka dilakukan di Gereja Katolik Gedangan.
Keindahan detail biara tidak berhenti hanya di kapel, tetapi juga gedung Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik di utara kapel yang dibangun pada 1899. Awal pendirian gedung ini memiliki dua fungsi, yakni tempat tinggal suster dan ruang kelas kesenian sekolah Eksternaat.
Keadaan di dalam kedua gedung tersebut lebih tenang dan hening, meski suara kendaraan di luar sangat bising. Bahkan mereka yang tinggal di dalamnya pun tidak merasa terganggu. Hanya saja yang menjadi perhatian mereka saat ini adalah jika suatu saat terjadi banjir rob.
Posisinya yang lebih rendah dari jalan membuat kedua kompleks rentan terendam banjir rob setiap tahun. Banjir rob tidak hanya disebabkan hujan, tetapi juga gelombang pasang laut utara Jawa yang masuk ke Semarang.
Menurut saya, pembenahan kawasan Gedangan sangat diperlukan. Minimal menyelesaikan atau meminimalisasi genangan air rob masuk ke kompleks gereja dan susteran, sebagai upaya penyelamatan kebudayaan. Dua gedung dengan seribu cerita masa lalunya itu layak mendapat perhatian.
Jika dihitung, dua kompleks suci di Gedangan tersebut sudah berusia lebih dari tiga abad. Setia menemani perkembangan Kota Semarang hingga kini. Sejak masih berupa kebun pisang, dibangun rumah sakit hingga panti asuhan. Semuanya terekam kuat.
Puas menelusuri, saya putuskan berpamitan dengan pengelola masing-masing gedung. Saya ingin melihat situasi kampung di sekitarnya. Tidak banyak aktivitas warga sore itu, hanya mobilitas kendaraan pribadi dan truk-truk besar silih berganti keluar masuk Pelabuhan Tanjung Mas.
Terik sinar matahari mulai berubah oranye. Besar harapan, Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus Gedangan mampu bertahan menghadapi perubahan zaman dan gempuran rob tahunan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.