Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar dengan halaman luas. Belum lagi deretan pohon palem raksasa di kanan-kiri jalan. Sementara bagian tengahnya ada taman yang berbentuk memanjang.
Intinya, Jalan Ijen atau sering disebut Idjen Boulevard ini tertata sangat baik. Bisa jadi karena kawasan ini adalah salah satu landmark Kota Malang sehingga harus selalu terlihat cantik. Rumah-rumah megah dengan berbagai gaya seolah menandakan bahwa tempat ini bukanlah kawasan sembarangan. Kenyataannya memang demikian, karena Idjen Boulevard merupakan permukiman elit dari masa kolonial Belanda hingga saat ini.
Saking cantiknya Idjen Boulevard ketika itu, tempat ini pernah dinobatkan sebagai kawasan terbaik pada masa kolonial. Idjen Boulevard sendiri membentang dari selatan ke utara. Mulai dari perempatan Jalan Kawi hingga perlimaan Gereja Katedral Ijen.
Kesempatan untuk menjelajahi tempat ini sambil mendengarkan kisah sejarah Idjen Boulevard, kembali saya dapatkan pada Februari lalu. Sewaktu saya mengikuti tur heritage bertema Nooit Klaar yang diadakan Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Dalam bahasa Belanda, Nooit Klaar mempunyai arti perencanaan yang belum selesai.
Dari Rumah Bentoel ke Rumah Soesman
Dulunya, kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya di masa kolonial memang masuk dalam bouwplan (rencana penataan kota) VII Kota Malang. Pada waktu itu, pemerintah Belanda berencana membangun kota ini secara bertahap melalui sejumlah bouwplan. Sayangnya, ketika Belanda hendak melengkapi pembangunan kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, Jepang keburu masuk ke Indonesia pada tahun 1942.
Warsa 1917, bouwplan Kota Malang pertama kali dilaksanakan. Sementara bouwplan VII yang meliputi Idjen Boulevard dan sekitarnya baru dilakukan tahun 1935. Perencanaan tata kota kawasan ini sendiri diarsiteki Thomas Karsten, yang dikenal juga sebagai orang di balik pembangunan Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Hardjonagoro di Solo.
Bouwplan VII merupakan kelanjutan dari proyek bouwplan V yang dimulai dari Jalan Semeru dengan dua gedung kembar yang mengapit jalan tersebut hingga ke arah barat yang tembus ke Jalan Ijen (Idjen Boulevard).
Saya berjalan beriringan dengan salah satu peserta yang saya kenal di tur-tur heritage sebelumnya. Kami menyusuri Jalan Semeru mengikuti instruksi Irawan Paulus, pemimpin tur. Bersama peserta lainnya, kami berangkat dari titik kumpul yang berada di Jalan Sumbing kemudian menyeberangi jalan. Selanjutnya kami singgah dan berdiri di samping gedung perpustakaan Kota Malang.
“Bangunan bercat merah yang ada di hadapan kita ini sering disebut sebagai ‘Rumah Bentoel’. Kenapa demikian? Karena dulunya rumah tersebut memang dimiliki pengusaha rokok cap Bentoel sehingga dinamai Rumah Bentoel,” jelas lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Om Ir itu.
Sebagai permukiman elit, rumah-rumah di Jalan Ijen memang dibangun untuk kebutuhan tempat tinggal bagi orang-orang kulit putih maupun orang berada yang termasuk dari kalangan Tionghoa. Rumah Bentoel mulanya dimiliki The Bo Gwan. Rumah ini berdiri pada tahun 1935 dengan Liem Bwan Tjie sebagai arsiteknya. Ia dikenal sebagai arsitek Tionghoa pertama di Kota Malang.
Sebelum mendapat sebutan Rumah Bentoel, bangunan yang terletak di Jalan Semeru dan Jalan Ijen tersebut juga pernah menjadi kediaman Wali Kota Malang semasa pendudukan Jepang, Raden Adipati Ario Sam (1942–1954), kemudian dimiliki pengusaha rokok Bentoel. Menurut kabar terakhir yang diperoleh ICH, kepemilikan rumah tersebut sudah beralih tangan ke pihak lain.
Sayangnya, keasrian dan keindahan bangunan era kolonial tersebut terancam. Sudah beberapa minggu belakangan, rumah yang didominasi warna merah itu ditutupi seng. Bukan rahasia umum lagi, apabila sebuah rumah telah tertutup seng, dipastikan bangunan tersebut akan berubah. Hal ini pula yang pernah saya temui di kawasan Idjen Boulevard beberapa waktu lalu. Semoga saja apa yang saya perkirakan tersebut salah.
Tak berselang lama sesudah para peserta berjalan, kami kemudian berhenti beberapa meter dari bangunan Perpustakaan Kota Malang. Perhatian saya dan lainnya tertuju ke seberang jalan, saat Om Ir menunjuk sebuah rumah di samping Museum Brawijaya.
Diperkirakan rumah tersebut dibangun pada 1930-an. Pemiliknya bernama Soesman. “Dulu, ada dua orang bernama Soesman. Yang satu orang Belanda berdarah campuran, satunya lagi pribumi. Dugaan saya, pemilik rumah yang ada di belakang saya ini adalah Soesman, orang Belanda berdarah campuran,” ucap Om Ir ketika menerangkan singkat tentang pemilik awal rumah tersebut.
Berdasarkan kisah yang diperoleh, Soesman merupakan anggota volksraad (dewan rakyat) sekaligus aktif di Indo-Europeesch Verbond (IEV). Ia juga yang berupaya mempertahankan bouwplan VI (kawasan yang diberi nama pulau-pulau) sebagai tempat hunian bagi kaum menengah ke bawah, karena sebelumnya ada rencana akan dibuat sebagai area industri pada saat itu. Sayangnya, rumah milik Soesman sekarang sudah berubah bentuk. Hanya atapnya saja yang masih asli.
Sejumlah Ciri Khas Kawasan Idjen Boulevard
Selesai mendengar penjelasan, kami kemudian meneruskan langkah menyusuri jalur pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang Jalan Ijen. Sesekali saya menengok ke atas, lalu menyadari bahwa saya seolah seperti kurcaci yang berada di bawah barisan pohon palem yang sudah ada sejak kawasan ini mulai dibangun. Tak luput, sepasang mata saya juga mengedarkan pandangan ke rumah-rumah yang kami lewati saat itu.
Sementara itu, lalu-lalang kendaraan tak berhenti melewati jalan kembar yang berada di Idjen Boulevard. Ya, kawasan ini dibelah dua jalan yang dipisahkan taman yang membentang di sepanjang Jalan Ijen. Dikutip dari Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, boulevard sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti dua ruas jalan dengan taman yang ada di tengah-tengahnya.
Pada salah satu taman, terdapat gardu ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij), perusahaan listrik yang berdiri pada 1909. Fungsinya untuk menyalurkan listrik melalui kabel ke rumah-rumah di kawasan Idjen Boulevard.
“Rumah-rumah yang ada di kawasan ini dulunya tidak dibangun secara serentak, tetapi setahap demi setahap,” ucap lelaki kelahiran 1967 tersebut.
Bentuk rumah-rumah di sepanjang Idjen Boulevard sekarang sudah bercampur. Ada bangunan peninggalan kolonial, ada juga yang sudah beralih rupa menjadi bangunan bergaya modern. Om Ir menjelaskan bahwa dulunya tipe rumah-rumah di Idjen Boulevard berbentuk rumah vila dengan ukuran sekitar 1.000 meter persegi (paling kecil 600 meter persegi), dengan ukuran bangunan banding tanah adalah 50:50.
Rumah vila di Idjen Boulevard yang masih bisa dilihat adalah sebuah rumah bertingkat dengan tulisan De Vliering di salah satu bagian atasnya. Tidak seperti rumah dua lantai zaman sekarang yang terdiri dari beberapa ruangan, lantai dua di De Vliering hanya berisi satu kamar saja.
Ciri khas Idjen Boulevard tak hanya rumah vila saja, tetapi juga menyangkut jalur pejalan kaki. Dulunya pedestrian tidak mulus seperti saat ini (dilapisi lantai), tetapi hanya berupa tanah yang dilapisi batu-batu kecil. Tujuannya agar air hujan yang jatuh di jalur pejalan kaki bisa meresap ke tanah dan tidak meluber ke jalan.
“Dulu, di sini masih terdapat burung-burung manyar yang hinggap di pohon-pohon palem yang ada di sepanjang Jalan Ijen. Sekarang sudah habis karena diburu manusia. Tupai juga masih ada saat itu,” kenang Om Ir kepada para peserta.
Kami melanjutkan perjalanan lalu berhenti kembali di depan sebuah jalan yang menyerupai gang yang diapit dua rumah. Dari penjelasan Om Ir, kami mengetahui kegunaan jalan ini di masa kolonial dulu.
Dulunya, jalan ini disebut brandgang yang berarti gang kebakaran. Brandgang ini bisa ditemui di setiap permukiman yang dibangun pemerintah Belanda saat itu. Keberadaan gang tersebut digunakan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalan yang dilalui mobil pemadam kebakaran seandainya terjadi kebakaran. Sayangnya, kini gang yang menghubungkan Idjen Boulevard dan Jalan Rinjani tersebut menjadi jalan buntu.
Salah satu rumah bergaya kolonial yang mengapit brandgang pernah menjadi rumah kos anak laki-laki (jongen) sebagaimana iklan termuat di Soerabaijasch Handelsblad tahun 1935—yang ditunjukkan kepada peserta tur. Tentu saja, saat itu yang mampu ngekos adalah anak-anak Belanda yang bersekolah di Kota Malang.
Jadi, rumah kos ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berbeda dengan kos zaman sekarang yang cenderung bebas, menurut Om Ir, pada masa itu anak-anak yang kos tinggal satu atap dengan induk semang atau pemilik kos. Sejujurnya, cerita ini mengingatkan saya kepada kisah Presiden Sukarno ketika indekos di rumah HOS Cokroaminoto.
Waktu terus bergerak menuju siang hingga akhirnya tiba di perlimaan yang ditandai dengan keberadaan Gereja Katedral Ijen. Sembari berjalan, dalam hati saya membayangkan bagaimana kondisi kawasan bouwplan VII tempo dulu dan merasa beruntung masih bisa menikmati kawasan ini.
Rasa-rasanya tak berlebihan, sebagai warga Kota Malang, saya sangat berterima kasih kepada Thomas Karsten atas mahakaryanya yang satu ini. Meskipun nasib arsitek kelahiran Amsterdam tersebut harus berakhir pada 1945 di kamp interniran di Cimahi, sewaktu pendudukan Jepang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.