Salah satu bapak paling bijaksana di muka bumi ini, Jean Froissart, pada suatu hari balik kampung setelah melanglang buana. Ia telah melayari tujuh samudra, menyusupi kolong gua, juga mengarungi sahara, mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk penelitian dan alam. Sabdanya, “Di buana ini, tidak ada yang pasti kecuali kematian.” Selama pengembaraan itu, sebagai seorang peneliti, tidakkah Jean Froissart merasa cukup hidup? Mengapa baginya, kehidupan tidak lebih pasti dari kematian?
Kehidupan dan kematian yang dipertanyakan Jean Froissart mengingatkan saya pada karya Iwan Simatupang, Bulan Bujur Sangkar, yang dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (26/5/2024). Dalam babak awal, seorang perempuan tua, Ibu sebutannya, menyeret gelondongan kayu sebagai pelengkap mahakaryanya. Kemudian ia bersaksi bahwa enam puluh tahun hidupnya ia persembahkan untuk mendaki gemunung, menyelami lautan, menapaki padang pasir―semua demi mencari kayu dan tali termulia.
Usahanya hampir sempurna. Tiang gantung bikinannya akan memakan korban dan ia sebut itu sebagai kesenian. Bila gagasan atau ciptaan produk kultur tidak memberinya gelar seniman, kematianlah yang akan memberinya pengakuan.
Komunitas ini tampaknya memilih malam terkelam di bulan Mei. Sama mahirnya dengan Edgar Allan Poe menetapkan malam Leonor bangkit dari kuburnya; keruh awan petang melibas purnama perak. Kicau cabak mengiba di antara pepohonan yang berbanjar di depan ruang pementasan. Memasuki ruang pementasan juga tak kalah petang, area ini merupa liang lahat raksasa yang menelan 250 pengikut Korah saat memberontak melawan Nabi Musa.
Impresi Lakon dan Babak-babak Pementasan
Nyala lampu pertama mengawali babak pementasan. menit berjalan dan belum terbilang puluhan menit, dalam jangka waktu ini, saya terus mendengar kematian dan kematian; mematikan atau yang dimatikan, bunuh dan membunuh, kesudahan dan keakhiran. Pelakon datang lalu pergi tanpa kembali (kecuali Ibu), mereka berdialog tanpa saling mengenal satu sama lain, membincangkan ketidakberdayaan dan ketiadaan.
Saya menekuri, dan dalam hal ini membatasi objektivitas saya untuk fokus pada naskah yang dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah, itu artinya bertahan menjadi mercusuar di antara deburan ombak subjektivitas interpretasi. Saya bahkan tidak menengok naskah Iwan Simatupang Bulan Bujur Sangkar sebelum pementasan agar terhindar dari ekspektasi impulsif. Meskipun mengorek informasi tentang Iwan Simatupang dan Bulan Bujur Sangkar sebelum dipentaskan mungkin bisa membuat kejernihan pikir. Jujur saja, saya memilih untuk datang dengan kelonggaran pikir daripada berpikir yang macam-macam.
Multum in parvo atau much in little sudah saya rasakan sejak perempatan pertama naskah ini dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah. Lakon Ibu menyoal pembunuh dan yang dibunuh, korban dan pelaku. Tapi karya seni bikinannya itu, mahakaryanya itu―tiang gantung―menguarkan aura mengundang sehingga korban bunuh diri berjatuhan. Misalnya, seorang berseragam tentara merasa terancam dengan tiang gantungnya, seorang perempuan berduka atas kematian kekasihnya dan buah delima yang diinjak-injak babi, seorang gembala datang dengan warta wanita telanjang yang bunuh diri, dan seterusnya.
Ketiadaan itu sendiri adalah seni begitu Ibu berkata. Ibu adalah penciptanya, dan melalui karyanya itu dengan bangga ia memproklamasikan di babak akhir, “Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.” Lalu di tiang gantung ia memutuskan mengambil nyawanya, ia mati oleh sebab buah pikirnya.
Meskipun di akhir pementasan sutradara dari LSO Seni Teater Hompimpah menyatakan tentang kegelisahannya atas maraknya bunuh diri di Malang, sehingga dengan melankolisnya ia berkata, “Itulah sakitnya bunuh diri,” menurut saya malah membuat pesan dari teater ini sumbang. Tidak ada satu pun kata, frasa, atau kalimat dalam teater yang dipentaskan mereka yang merujuk pada penafsiran, “Mati itu sakit.” Apakah sutradara ini pernah mati sebelumnya ataukah wacana sakaratul maut menakutinya?
Arus opini ‘bunuh diri itu sakit’ telah menggulung badannya hingga ke laut lepas, padahal tidak ada filsuf atau pemikir yang menyinggung bunuh diri dengan khotbah epik soal rasa sakit. Buktinya, momok rasa sakit tidak bisa membatalkan keputusan Virginia Woolf, Osamu Dazai, Sylvia Plath, dan Walter Benjamin misalnya, untuk bunuh diri. Bukankah mereka tengah menanggung rasa sakit di masa itu, bukankah bunuh diri bakal melipatgandakan rasa sakit?
“Menyoal bunuh diri,” kata Albert Camus, “berarti menyelapi intisari filsafat,” (diterjemahkan dengan bebas oleh pengulas). Itu yang ia katakan sebagai kalimat pembuka The Myth of Sisyphus, membuatnya dinobatkan menjadi peraih Nobel Sastra tahun 1957. Alih-alih membubuhi sakitnya sakaratul maut dalam analisisnya, Albert Camus menyatakan bahwa, “Mereka yang memutuskan untuk bunuh diri, justru adalah mereka yang paling menginginkan kehidupan.” Ia mendobrak ukuran dramatisasi kehidupan, “Apakah hidup ini layak untuk dijalani?” menggantinya dengan pertanyaan, “Apakah hidup ini layak untuk diratapi?”
Merujuk kembali pada teater, bunuh diri diputuskan bukan saat kehidupan dijalani, tapi diratapi―terus meratap hingga, apakah hidup ini layak untuk diratapi? Misalnya dalam babak, seorang lelaki entah siapa, ia berseragam, tampaknya memiliki jabatan (lakon di pentas ini tak bernama) berjalan dengan merana. Ia menuju tiang gantung. Tanpa pikir panjang ia bunuh diri. Ibu memerhatikan tingkah lakunya, terkikik, tertawa. Lelaki yang berjalan menuju tiang gantung dan mengakhiri hidupnya sendiri, apakah ia tengah menjalani kehidupan itu? Tidak, ia sedang meratapi kehidupan.
Namun, kedatangan lelaki itu seakan memberi kesan bahwa bunuh diri bisa sesederhana itu, tanpa solilokui, tak berkata apalagi menggumam―tanpa alasan. Itu merupa klaim bahwa ada kemungkinan orang melakukan bunuh diri tanpa alasan sama sekali. Setidaknya ini yang membuat gusar Albert Camus dalam bukunya The Rebel; “Penyangkalan atas orang memiliki alasan untuk bunuh diri, sama dengan memercayai bahwa ada pembunuhan tanpa motif sama sekali.” Dengan landasan ini, kita semua mengamini bahwa setiap pembunuh memiliki motif, bahkan bila motif itu masuk dalam dua kategori ala Albert Camus, crime of passion dan crime of logic sekalipun.
Dalam kasus babak bunuh diri tanpa alasan ini saya husnudzon, mungkin alasan itu tidak ada di naskah, mungkin digubah dari naskah asli, mungkin kediaman itu justru merepresentasikan pergolakan hati. Karena di pertengahan awal, Ibu jelas-jelas berkata, “Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh kau?” Itu berarti baik logika maupun hasrat, pembunuh selalu memiliki motif.
Meskipun ada beberapa kasus minor tentang pembunuhan yang sekadar iseng saja (iseng pun adalah alasan), tentunya ini masuk dalam pikiran atau pendapat yang tak tersampaikan, ini berada dalam ranah pikir tak tergapai ala Carl Jung, psyche objektif (tidak bisa dianalisis). Tak tergapai itulah mengapa wallahu a’lam, coba bilang wallahu a’lam pada Nietzsche, ia pasti bakal mencukur kumisnya. Baginya, di buana ini bisa dijelaskan dan dimaknai bahkan yang ‘tiada’ sekalipun.
Ibu dalam pementasan ini mengingatkan saya pada sosok monster gabut di legenda Yunani, Sphinx, berkepala wanita berbadan singa. Dahulu, ia biasa ongkang-ongkang di Thebes menanti para pendatang untuk menjawab teka-teki bikinannya. Mereka yang gagal menjawab akan dibunuh. Oedipus berhasil menjawab, Sphinx akhirnya bunuh diri. Alur dari teater ini agak mirip, Ibu ada untuk menyoal ketiadaan, orang-orang datang untuk menjawab dan berdialog dengannya. Mereka yang telah berdialog dengan Ibu satu per satu tewas. Bunuh diri Ibu mengakhiri pementasan Bulan Bujur Sangkar, tapi tindakan ini tidak diambil karena seseorang berhasil menjawab.
Eksistensi Ibu sebagai penanya sekaligus penjawab, menurut saya, cocok untuk digunakan sebagai alegori Socrates. Kalau Ibu menantang para sarjana untuk menjawab pertanyaannya, itu berarti Ibu telah membuka jalan untuk mengkritis kehidupan dan kematian. Karena, “The unexamined life is not worth living,” ungkap Socrates. Tapi ada jebakan dalam sandiwara ini, Ibu seolah menjadi sosok yang paling mengerti, berlagak bijaksana―hal ini yang malah Socrates sebut sebagai ketidakbijaksanaan. Kalau boleh menyadur ungkapan yang lebih posmo, Socrates-nya Ibu is not socrating.
Tidak hanya bertanya dan menjawab, Ibu juga menyatakan berderet-deret penyangkalan. Misalnya, Ibu menyangkal pendapat Lelaki tentang ‘awal mutlak’ setelah kematian; Lelaki berpendapat bahwa ada kehidupan setelah kematian, lalu Ibu menyangkal bahwa kematian tidak sesederhana kelahiran atau awal mutlak seperti yang diajarkan agama. Ini tidak semata-mata menjadikan Ibu pengikut atheistic existentialism-nya Sartre, karena Ibu sendiri juga mengalami pergolakan batin. Tapi yang jelas, menurut saya tokoh Lelaki memiliki theistic existentialism Kierkegaard.
Apresiasi
Saya menemukan banyak anti-fondasionalisme dalam pementasan ini. Bisa dikatakan, semua tokoh dalam pementasan ini, pada bagian-bagian tertentu, tidak yakin dengan pendapat atau pengetahuannya sendiri. Semakin tidak yakin dan semakin gelisah, Lelaki akan membidikkan bedilnya pada Ibu.
Teater ini tidak menyorot perkara insting kehidupan dan kematian sebagaimana dalam Totem and Taboo karya Sigmund Freud atau adanya dorongan ‘yang primitif’ dalam insting tersebut. Namun, unsur yang lebih mutakhir dibeberkan; insting menyeruak dari keyakinan yang melekat dalam diri manusia, seperti kepercayaan atas agama tertentu misalnya. Bukankah ini sangat Jungian? Hanya saja pergolakan batin melaju tanpa akhir. Teater ini ditutup justru karena ada sesuatu yang belum beres.
Saya tidak sanggup atau bahkan tidak merasa perlu menarik kesimpulan apakah pada akhirnya kehidupan lebih layak dipertimbangkan daripada kematian. Saya juga tidak dapat memihak pelakon tertentu. Bukankah Nietzsche mantap menjawab ‘iya’ setelah ditanya, “Can one live believing in nothing?”
Terlepas dari penyederhanaan sutradara LSO Teater Hompimpah atas kasus bunuh diri dan bunuh diri itu sakit, teater ini bukan versi improvisasi, kata demi kata disampaikan sesuai dengan naskah asli. Hampir tidak mungkin LSO Seni Teater Hompimpah menghafalkannya tanpa penghayatan tinggi. Saya terkesan dengan keberanian LSO Seni Teater Hompimpah, karena di teater di kampus lain mementaskan Narnia (tidak bisa saya sebutkan siapa). Anak-anak yang malas berpikir itu bahkan masih improvisasi ungkapan di film. Padahal karya sudah alih wahana dari novel ke film lalu dipentaskan teater, mereka cuai atas kaidah kepenulisan teater apalagi diskursus narasinya.
LSO Seni Teater Hompimpah juga sama generasi Z-nya dengan kawanan yang mementaskan Narnia itu, dan mereka mengambil risiko menampilkan karya filosofis Iwan Simatupang. Bagi saya LSO Seni Teater Hompimpah adalah batu Horeb dalam kitab Exodus yang menuntaskan dahaga kaum Nabi Musa, di antara batu-batu tak berguna di generasi mereka.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.