Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan dari Yogyakarta.

Pertemuan pertama kami didasarkan atas rasa penasaran Floris mengenai informasi di peta digital, yang menyebutkan nama J. A. Dezentje sebagai pemilik awal rumah dinas wali kota Surakarta, Loji Gandrung. Ia lantas menghubungi saya melalui pesan singkat untuk mencari jawaban.

Floris merupakan buyut dari Dezentje. Ia ingin mengunjungi Indonesia dan meminta bantuan kami melacak jejak leluhurnya, berdasarkan data keluarga yang ia miliki. Kami pun bersedia melakukan penelusuran bersama. 

Senin (10/6/2024) di kediaman saya, di Boyolali, menjadi awal pertemuan kami. Sebelum penelusuran, Floris ingin bertemu orang tua saya untuk bercengkerama. Ia lantas memperkenalkan diri dan menyampaikan, rela menempuh perjalanan jauh dari Belanda menuju Singapura dan Indonesia demi mencari jejak leluhurnya tersebut.

Ibu saya tertegun mendengarnya, karena berpikir tidak ada peninggalan Belanda di Boyolali. Setelah 50 menit mengobrol dan foto bersama, kami memulai perjalanan.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Bersama Floris Kleemans (kanan) dan ibu/Ibnu Rustamadji

Sisa Jejak Perkebunan Kopi Keluarga Dezentje di Boyolali

Tujuan pertama kami berada di Desa Cluntang, Kecamatan Musuk. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari kota, tibalah kami di SDN 1 Sruni. Tempat ini dulunya pabrik kopi dan teh “Baros Tampir”. Ladang perkebunan warga dahulu merupakan perkebunan kopi dan teh.  Jejak yang tersisa berupa bak penampungan air, tepat di belakang SDN 1 Sruni.

Merujuk catatan keluarga Floris, pemilik pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” adalah Dezentje. Jika dilihat dari jalan desa, reruntuhan pabrik tidak tampak. Kami harus berjalan melalui perkebunan warga untuk dapat menyaksikan secara utuh. 

Sesampainya di lokasi, Floris dan rekan kami sangat heboh melihat reruntuhan yang saya maksud. “Wow, amazing melihatnya. Akan saya abadikan, untuk keluarga saya di Belanda,” kata Floris menggunakan bahasa Inggris. 

Ada 12 bak air, masing-masing memiliki kedalaman sekitar tujuh meter. Fungsi awalnya diduga sebagai sistem pengairan perkebunan dan menyuplai kebutuhan air pabrik. Merujuk catatan Floris, pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” di Cluntang diperkirakan sudah eksis sejak 1830.

Pabrik tersebut didirikan guna memproduksi teh dan kopi di lereng timur Gunung Merapi. Hanya saja sisa pohon kopi tidak banyak. Pohon tehnya malah hilang tak tersisa.

Gedung pabrik berorientasi ke timur, guna mempermudah proses pembersihan biji kopi arabika terbaik yang akan diekspor ke Belanda. Biji kopi pascapanen harus dibersihkan dengan air mengalir sebelum dimasukan ke dalam karung goni. Selanjutnya dilayarkan dengan kapal dagang menuju Belanda dan negara Eropa lainnya.

Perkebunan kopi Dezentje terbentang sangat luas, mulai dari lereng timur Gunung Merbabu di Salatiga hingga lereng timur Gunung Merapi di Boyolali. Rumah keluarganya ada di Kecamatan Ampel, Boyolali. Puas mengabadikan reruntuhan tersebut selama satu setengah jam, penelusuran kami lanjutkan ke Desa Tampir. 

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)

Makam Belanda, Pabrik Pewarna Kain Indigo, dan Pabrik Serat

Kami membutuhkan 10 menit berkendara dari Cluntang ke Tampir. Selain reruntuhan struktur pondasi pabrik kopi “Baros Tampir”, kami juga menemukan satu Europeesche Graafplaats atau makam Belanda tanpa nama di Tampir.

Sesampainya di lokasi, rekan-rekan semakin takjub dengan temuan makam Belanda tersebut. Bagi mereka menarik karena makam itu berbentuk obelisk dengan hiasan broken column atau kolom patah bagian puncak.

Kolom patah bermakna terputusnya kehidupan seseorang. Tidak semua orang Belanda yang wafat di Indonesia—Hindia Belanda kala itu—memiliki makam seperti ini. Ada dugaan di dalamnya mendiang pengawas perkebunan atau pengawas pabrik kopi “Baros Tampir”. 

Sayangnya, tidak ada catatan pasti yang bisa kami identifikasi. Sembari mengobrol, kami membersihkan sedikit rumput liar yang menyelimuti fisik makam guna mencari relung yang tempo hari lalu saya temukan. 

“Nah, akhirnya ketemu [relung itu]! Tertutup runtuhan pilar patah. Ini ada relung dengan ekspos batu merah berbentuk setengah lingkaran,” ungkap saya.  

Kami menduga relung tersebut seharusnya tempat nisan makam. Nisan menghadap barat, dengan hiasan broken column pada bagian puncak. Sayang posisinya kini tertimbun tanah. 

“Saya penasaran dengan keberadaan D’Abo di Boyolali. Apakah ini makam dari D’Abo di ‘Baros Tampir’?” tanya Floris. Tidak kami duga sebelumnya, ternyata Floris mencari jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis.

Saya menyahut, “Kami tidak bisa menjawab, karena minim data di stamboom keluarga dan tidak ada nisan di sini.”

Kami pun beranjak turun menuju reruntuhan pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir. Sekitar 150 meter dari lokasi makam. Tepatnya di perusahaan air minum Tirta Ampera. Setelah mendapat izin, kami lantas mengeksplorasi halaman belakang tepat di mana struktur pondasi berada.

“Oh, ini, ya, lokasi pabrik ‘Baros Tampir’ milik kakek buyut saya,” ujar Floris penuh semangat.

Merujuk catatan yang ia bawa, ada sekitar lima pabrik kopi milik Dezentje di Boyolali. Dua di antaranya “Madoesita” dan “Baros Tampir. Pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir dibangun lebih muda, sekitar tahun 1890. Namun, sekarang tinggal reruntuhan pondasi, bak penampungan air, dan lantai pabrik. 

Kami lalu memutuskan melihat reruntuhan lain di seberang jalan. Satu jam berlalu tanpa kami sadari, kami sampai beranjak ke peninggalan ketiga yang tidak kalah epik di Dukuh Madu, Desa Sukorame, Musuk. Terdapat reruntuhan pabrik pewarna kain indigo, satu-satunya milik Dezentje selain kopi dan teh. 

“Luar biasa, kamu bisa menemukan reruntuhan seperti ini. Paman saya pasti senang bertemu kamu. Tolong ajak kami keliling kembali,” pintanya. 

Pabrik indigo ini dibangun sekitar awal 1903 sebagai pusat produksi warna kain sogan biru, untuk pewarna alami kain batik di Surakarta. Keberadaan bak air tentu sangat membantu perkembangan industri. Sumber air dari bendungan di Desa Wonorejo, Musuk, dialirkan melalui pipa air besi menuju pabrik.

Air yang dialirkan sangat terkontrol dari hulu hingga hilir. Bukaan kecil di setiap sudut bak mengindikasikan hal tersebut. Apabila air meluap, akan mengalir menuju selokan kecil di sekeliling bak hingga keluar di bak penampungan terbesar.

“Sekitar satu bulan lalu, ada warga yang menunjukan di barat desa ini ada bekas jembatan lori. Saya cek masih ada dua batang rel kereta menjadi bagian dari jembatan baru. Tetapi kalau makam Belanda tidak ditemukan,” jelas saya.

Kami melanjutkan penelusuran menuju Desa Tambak, Mojosongo. Ada cerobong asap pabrik serat milik Dezentje di sana.

“Kebetulan, saya ada foto lama pabrik serat tersebut dari Leiden. Nanti bisa kita bandingkan,” ungkap saya. 

Sampai di tujuan, kami lantas menyandingkan foto lama tahun 1930 dengan kondisi saat ini. Hasilnya, fisik pabrik sudah tidak berbekas. Hanya menyisakan satu cerobong asap. 

Kami menduga pabrik serat “Tambak” berdiri pada awal 1910, sebagai akibat dari perkembangan pabrik kopi dan pewarna yang ada di Musuk. Posisi strategis menjadikan pabrik ini berkembang cukup pesat. Namun, takdir berkata lain. Pascakemerdekaan tidak ada satu pun jejak kejayaan pabrik tersisa.

Tidak ada reruntuhan, tetapi pagar halaman warga di sekitarnya mengisyaratkan kenyataan lain. Struktur pabrik hilang menjadi pemukiman, sekolah, dan ladang. Kami lalu mendekati area cerobong asap. Berimajinasi seperti apa rupa pabrik serat kala itu dan mendiskusikan peninggalan lain Dezentje di Boyolali. 

Mengunjungi Makam dan Kediaman J. A. Dezentje

Kala terik matahari semakin berkilau, kami putuskan istirahat dan makan siang iga bakar Pak Wid. Lelah setelah seharian menapaki jejak perkebunan dan pabrik kopi Dezentje akhirnya terbayar. Satu jam kemudian, kami lanjutkan penelusuran menuju pemakaman dan kediaman J. A. Dezentje.

“Oh, iya. Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Anda tahu siapa Francois Deux? Ini satu-satunya makam keluarga dengan epitaf nama Francois Deux,” tanya saya sambil menunjuk sebuah nisan di makam keluarga Dezentje. Setelah dibaca sedikit guratan epitaf yang ada, Floris segera menghubungi pamannya di Belanda untuk mencari tahu sosok Francois Deux.

Menurut informasi sang paman, keluarga Francois Deux memiliki ikatan kekerabatan dengan Napoleon Bonaparte dari Prancis. Dezentje, yang berdarah Prancis, menikah dengan orang Belanda bernama Dorothea Boode. Francois Deux merupakan keponakan Dezentje, yang menikahi salah satu anak Napoleon Bonaparte. Hanya itu informasi yang didapat, karena Francois Deux wafat sekitar tahun 1790.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Diskusi di dalam mausoleum keluarga Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Puas mendapat sedikit jawaban, kami lantas memikirkan akses masuk ke makam keluarga ini di abad ke-18 lalu. Ada dugaan pintu masuk asli berada di barat daya makam, karena areal tersebut memiliki bukaan jalan cukup luas ketimbang sudut lain. 

Selama kami di sana banyak obrolan, tetapi tidak dapat banyak informasi, Mayoritas nisan makam sudah hilang dijarah pada 1970. Meski begitu kami bersyukur kondisi makam cukup utuh dengan beragam hiasan yang menyertai.

Setelah berziarah, kami menuju bekas kediaman keluarga Dezentje di Desa Candi, Ampel. Bermodal foto lama keluaran Leiden tahun 1925, kami langsung memosisikan diri di tempat fotografer kala itu berada. 

“Kita di gerbang masuk halaman. Timur kita adalah kediaman utama, sedangkan di barat kita (belakang kami) adalah alun-alun,” jelas saya.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Posisi kami berada tepat di tempat yang diduga dulunya pintu gerbang kediaman Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan pendeta Buddhig di laporan kematian Dezentje tahun 1850, kediaman Dezentje di Ampel layaknya keraton kecil, dengan tembok benteng dan empat menara bastion di setiap penjuru. Kini, kediaman dan alun-alun sudah tidak berbekas sama sekali. Meski begitu, Floris tetap merasa bahagia karena akhirnya bisa berada di kediaman leluhurnya.

Langit oranye mulai bergelayut. Kami kembali ke rumah saya untuk berpamitan dengan ibu saya dan merencanakan aktivitas di hari kedua. Satu rekan kembali ke Yogyakarta, sementara kami berdua pergi ke Surakarta untuk bermalam di Royal Heritage Hotel bersama Floris Kleemans. Penelusuran hari pertama kami tutup dengan makan malam ala sultan di Canting Londo Kitchen, Kampung Batik Laweyan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar