Latar belakang perjalanan kali ini sebenarnya cukup sederhana. Saya ingin membuktikan perkataan teman tentang cerita keindahan Pantai Sembilan dan Gili Labak. Apakah benar demikian atau hanya sebuah jawaban yang berusaha menyenangkan?
Awalnya saya sedikit ragu untuk pergi ke sana, karena jaraknya lumayan jauh dari Kota Surabaya. Saya sempat memutuskan mengikuti paket wisata sendirian, sebelum akhirnya berubah wacana mengajak kedua teman saya.
Alasannya, jadwal kapalnya tidak tentu. Sementara kami hanya luang di hari Sabtu dan Minggu. Padahal kedua tempat tersebut mengharuskan kami menyeberangi lautan. Selain itu, kebetulan ada paket wisata yang menawarkan dua destinasi sekaligus, yakni Pantai Sembilan dan Gili Labak. Perjalanan kali ini mungkin terbilang singkat karena kami berangkat malam hari, lalu kembali ke Surabaya keesokan harinya.
Kesabaran Diuji Menuju Pantai Sembilan
Perjalanan dimulai dari Surabaya pada malam hari pukul 23.00 WIB. Kami bersama rombongan peserta tur yang berasal dari berbagai daerah. Kami pergi menggunakan mobil Isuzu Elf dengan jumlah 12 orang. Estimasi perjalanan menuju Sumenep, Madura sekitar empat jam, belum termasuk penyeberangan.
Ternyata, perjalanan tidak sesuai ekspektasi karena ada kecelakaan truk yang mengangkut tabung gas LPG 3 kg di suatu tempat. Alhasil, terjadi macet berkepanjangan dan kendaraan mengular tak bergerak sampai dua jam. Total durasi perjalanan kami menjadi enam jam.
Rasanya cukup frustrasi dan melelahkan karena kami baru tiba pukul 05.00 WIB. Setelah istirahat, sekitar pukul 08.00 WIB kami kemudian menuju dermaga pelabuhan penyeberangan di wilayah Bringsang, Kecamatan Giligenting.
Menurut pemandu wisata, ombak di bulan Agustus sedang tinggi-tingginya sehingga kami sebaiknya berangkat lebih pagi. Salah seorang warga pemilik perahu sewaan bercerita, bahwa ada seorang yang mengangkut melon di perahu, terpaksa harus diceburkan ke laut karena perahu kelebihan muatan akibat besarnya terpaan ombak.
Bersama rasa cemas, kami tetap menyeberangi lautan selama kurang lebih 40 menit menuju destinasi pertama, yakni pantai Sembilan.
Fasilitas Lengkap di Pantai Sembilan
Ternyata, sebelum dikenal dengan Pantai Sembilan, pantai ini sempat dinamai pantai “Mareddan” dalam bahasa Madura, yang artinya “kuburan”. Hal ini karena memang letaknya bersebelahan dengan pemakaman umum warga.
“Dulu sebelum dibuka untuk umum, pantai ini terkesan mistis dan angker karena memang bersebelahan langsung dengan makam yang membuat pantai ini sepi pengunjung,” cerita seorang tour guide kami sembari menunjuk pagar yang dimaksud.
Kini kesan tersebut tidak tampak karena sudah ada pagar tinggi yang menutupi. Para pengunjung bisa menikmati pantai tanpa perlu khawatir lagi. Selain itu, untuk menghilangkan kesan mistis juga dilakukan perubahan nama menjadi Pantai Sembilan. Jika dilihat dari ketinggian, memang menyerupai lengkungan angka sembilan.
Terlepas dari kesan yang dulunya mistis, Pantai Sembilan memiliki daya tarik yang membuat saya kagum. Panasnya pantai tidak terlalu menyengat. Bentang pasir putih serta birunya air laut membuat semakin betah. Terdapat banyak gazebo di pinggir pantai untuk bersantai, tempat berfoto, serta dilengkapi berbagai wahana, seperti banana boat dan ATV.
Menariknya, tidak ada sampah yang berserakan di pantai. Ada banyak tong sampah tersebar di area pantai sehingga pengunjung bisa membuang sampahnya dengan mudah. Ini upaya menarik yang bisa diterapkan di wisata pantai lain agar kebersihan tetap terjaga. Tak hanya itu. Pantai ini juga memiliki aspek ramah lingkungan. Pasokan listrik di Pantai Sembilan menggunakan panel surya.
Bagi yang ingin bermalam, tersedia penginapan di pinggir pantai yang bisa disewa dengan harga sekitar Rp300.000 per malam. Namun, banyak juga pengunjung yang berkemah dengan tenda pada akhir pekan.
Teriknya Gili Labak
Tak terasa dua jam kami habiskan di Pantai Sembilan. Kami pun melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua, yakni Gili Labak. Perlu waktu kurang lebih 30 menit menuju pulau yang terletak di tenggara Pulau Poteran, Desa Kembang, Kecamatan Talango tersebut.
Dahulu, sebelum ramai wisatawan, Gili Labak adalah sarang tikus. Tak heran jika masyarakat menyebutnya “Pulau Tikus”. Hingga akhirnya nama tempat ini berubah menjadi Gili Labak untuk menggambarkan keindahan alam, serta memiliki potensi wisata yang besar jika dikembangkan lebih baik lagi.
Sejujurnya, Gili Labak menjadi tempat dengan panas paling menyengat yang pernah saya kunjungi. Matahari di sini seakan menusuk kulit, bahkan menjelang sore hari. Akan tetapi, beruntung telah tersedia sejumlah gazebo di sini untuk berlindung dari sengatan teriknya matahari.
Setelah menikmati hidangan ikan bakar yang termasuk dalam paket wisata, kami menuju spot snorkeling di Gili Labak. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan perahu lagi karena memang berada tak jauh dari Gili Labak. Untuk aktivitas snorkeling sendiri sudah termasuk dalam paket, yakni seharga Rp250.000 lengkap dengan peralatan.
Biota bawah lautnya cukup beragam. Ada berbagai jenis ikan yang saya temui, seperti clown fish, palette surgeonfish, hingga ikan dengan corak tubuh menyerupai zebra. Terumbu karang di sini dijaga dengan baik oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) setempat.
Tantangan Kehidupan Warga Setempat
Di balik geliat pariwisata, ternyata masyarakat Gili Labak masih menghadapi tantangan ekonomi yang berdampak pada pendidikan anak-anak. Banyak anak terpaksa putus sekolah karena harus menyeberang satu jam ke Pulau Talango untuk bersekolah.
“Bahkan dulunya ada sekitar 35 keluarga di Gili Labak, tetapi kini hanya tersisa sekitar 25 keluarga karena memilih untuk merantau,” ungkap pemandu tur kepada kami.
Selain itu, warga juga kesulitan mendapatkan air tawar. Pengeboran hanya menghasilkan air payau atau asin di area ini. Warga harus membeli air bersih yang berasal dari pulau lain dengan harga Rp5.000 per jeriken. Sementara itu, listrik di Gili Labak juga menyala saat malam hari saja.
Tepat pukul 15.00 WIB kami bergegas kembali ke dermaga. Matahari terbenam mulai terlihat, semakin lama semakin menawan. Perjalanan kali ini ditutup dengan pemandangan kesekian kalinya yang saya rindukan, yaitu menikmati sunset hampir satu jam.
Apa kata teman tentang Pantai Sembilan dan Gili Labak memang benar. Kami membuktikan, masih ada pantai dengan segala potensi ekowisatanya yang harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Terlepas dulunya dianggap mistis, kedua destinasi tersebut kini menjadi lebih menarik untuk dikunjungi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.