Photo Essay

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)

Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Kabut pagi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Selain malam bertabur bintang, hal ikonis lainnya yang ditunggu-tunggu pendaki di Ranu Kumbolo adalah matahari terbit. Saking identik dan populernya, kalau mengetikkan nama danau ini di mesin peramban, tak terhitung potret pagi telaga suci itu yang berseliweran menghiasi dunia maya. Seperti halnya Danau Segara Anak yang melekat pada Gunung Rinjani, Lombok, begitu pun Ranu Kumbolo dan Gunung Semeru.

Normalnya, pendaki akan menginap setidaknya satu malam di Ranu Kumbolo. Baik itu sebelum menuju Kalimati-Mahameru atau sesudahnya. Kondisi ideal sejatinya adalah dua malam dihabiskan di Ranu Kumbolo, dengan program pendakian empat hari tiga malam. Semalam sebelum ke Kalimati, semalam sebelum turun ke Ranu Pani. Saya pernah merasakannya, dan percayalah, Ranu Kumbolo benar-benar menyuguhkan nuansa yang berbeda. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Embun es di semak-semak Ranu Kumbolo saat puncak musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Melihat atraksi alam di pagi hari

Bahkan kalaupun taman nasional membatasi pendakian menjadi tiga hari dua malam saja, saran saya, lupakanlah Puncak Mahameru. Serahkan nasib dua malam kita dengan berkemah di tepi danau yang terbentuk dari kawah purba Gunung Jambangan itu. Ketika pagi mulai terang, lihatlah detail-detail yang tercermin di pinggiran danaunya.

Kita akan menyaksikan salah satu pertunjukan kolosal dan dramatis dari alam Ranu Kumbolo. Diawali dengan semburat rona langit yang memerah. Lalu pada saat yang tepat, sang rawi akan menampakkan diri dari balik dua bukit di timur danau. Di bulan-bulan tertentu, matahari akan terbit persis di antara dua bukit tersebut.

  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)

Kemunculan matahari terbit adalah kabar gembira bagi para pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo. Ia adalah berita tentang kehangatan yang menebus bekunya pagi, serta harapan akan hari yang cerah. Pada momen-momen seperti inilah pendaki akan berbondong-bondong menyambutnya dengan bingkai lensa kamera atau gawai lain yang dimiliki.

Acapkali halimun akan ikut menampakkan dirinya. Entah itu kabut-kabut tipis yang melayang di permukaan danau, maupun terbang rendah dari balik dua bukit ke arah tempat berkemah. Adakalanya cuaca kurang bersahabat. Kabut seakan “berkonspirasi” dengan awan-awan tebal menciptakan pagi yang mendung dan suram. Menghalangi matahari yang dipaksa bersembunyi, yang tak jarang disambut seruan kekecewaan sebagian pendaki.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Mega bergelayut yang menutupi pancaran sang surya di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Padahal seorang teman pernah berkata, “Tidak cuma sunrise yang ngangenin, tapi juga kabutnya.”

Bahkan kabutnya saja dirindukan. Ia tidak peduli alam memberikan sajian pagi seperti apa, mau cuaca cerah melebihi ekspektasi atau jauh dari yang diimpikan. Sebab berada di Ranu Kumbolo saja sudah melebihi bayangan setiap orang, yang tidak semuanya beruntung bisa bertamu ke sana. 

Setiap pendaki rela berjalan menempuh 10 kilometer yang melelahkan dari Ranu Pani. Melintasi empat pos utama dan hutan di bawah tebing Watu Rejeng, sampai akhirnya tiba di Ranu Kumbolo. Sebuah danau seluas 15 hektare yang menjadi Ikon utama dari Semeru yang legendaris. Setiap pendaki, rela menghabiskan banyak biaya, waktu, dan tenaga demi pengalaman yang tak akan terlupakan.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Refleksi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Tempat untuk merefleksikan diri

Ranu Kumbolo adalah daya pikat yang selalu berhasil menggoda siapa pun untuk kembali. Ya, berdiri di Mahameru atau titik tertinggi Pulau Jawa memang sebuah pencapaian. Namun, pamor danau yang pernah dikunjungi Mpu Kameswara pada 1447 silam, bagi saya, mampu melebihi ketenaran puncak itu sendiri.

Saya jadi teringat lagu Mahameru milik Dewa 19. Nuansa tembang yang dirilis dalam album Format Masa Depan tahun 1994 itu begitu personal dan emosional, sebab sebagian personelnya pernah menginjakkan kaki ke Gunung Semeru. Roman persahabatan dan interaksi hangat antarpendaki tergambar jelas di potongan liriknya.

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Balutan kain putih di beberapa pohon menandakan titik-titik sakral bagi masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2017)

Bagi saya, Ranu Kumbolo bukan sekadar tempat transit. Tempat ini adalah guru, sekaligus titik krusial untuk menimbang keputusan akan ego dan ambisi pendaki. Melampauinya hingga ke Kalimati dan Puncak Mahameru, berarti mengantar pendaki beriringan dengan tantangan di depan yang lebih berbahaya. Atau, menghentikan langkah sebagai titik akhir, dan singgah untuk meresapi ruang terbuka yang menenangkan jiwa.

Sebagaimana terpantul dalam permukaan airnya yang tenang, bentuk kehidupan yang mengepung—pohon, bukit, rerumputan, hingga polah pendaki—bak cermin raksasa. Refleksi diri, sebagai kesempatan terbaik untuk memeluk kala yang melambat. Sampai akhirnya kita menyadari, bahwa waktu yang ada di rimba Semeru terlalu singkat untuk dinikmati.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Siapa pun yang telah datang ke sini, suatu saat akan kembali/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Telusur Tutur Cikasur (1)