Travelog

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)

Sombro, perempuan Tuban zaman Pajajaran itu, menatah keris dengan jari-jemarinya sambil melayang-layang di atas samudra. Perempuan, keris, dan samudra. Andai mendengar legenda ini, Erich Neumann akan menariknya sebagai mitografi bunda agung.

Mungkin beginilah psikolog Jerman itu akan berbicara bila memang harus menafsirkan kisah tersebut: Nyai Sombro adalah arketipe penyihir bijak yang menempa keris tanpa api, adalah alkemis sakti yang mampu menyulap materi melalui kearifan. Mencipta keris hanya dengan jemari merupakan persatuan harmoni antar-elemen kontradiktif, antara yang keras dengan yang halus, sebuah tema umum dalam psikologi analitik Jungian yang disebut “integrasi antitesis”.

Namun, bisa pula Neumann akan bilang begini: Membuat keris tanpa api bukan berarti membentuknya tanpa panas. Sombro, sang Ibu Samudra, sang Bunda Bumi, tengah menyelenggarakan dunia dengan menyerap tenaga solar dari Ayah Matahari, Papa Langit. Uniomistik Bumi dan Surga. Jikapun ia tak meminjam kalor dari energi maskulin, pada dasarnya api juga unsur fundamental feminin. Dengan tenaga agni yang inheren dalam diri, Sombro menempa keris via kelembutan jari-jari. Bagaimanapun interpretasinya, hikayat Mbok Sombro menjadi citra bawah sadar tentang pencarian keselarasan dalam diri manusia.

Keseimbangan eksistensial melalui alegori keris ini pun muncul pada satu dari tiga laku utama orang Madura: Mon kerras paakerrès. Jika keras, berkerislah. Sifat tegas (keras) tanpa watak wicaksana (keris) hanya akan menggiring dunia ke jurang kaotik. Keserasian fungsi dengan morfologi keris diharap menjadi ibrah bahwa hidup jangan semata-mata tajam dan runcing, tapi juga indah. Seloka tersebut adalah otokritik bagi masyarakat Madura yang telanjur ketiban stereotip miring sebagai orang-orang berdarah panas. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Gerbang Kabupaten Sumenep/Royyan Julian

Melawat Kota Keris

Kebajikan simbolik keris inilah yang barangkali Ika Arista tanggung. Perempuan 34 itu lahir dan besar di kabupaten paling timur Pulau Madura. Sebagai daerah yang memiliki hampir tujuh ratus perajin tosan aji, Sumenep berselempang nama “Kota Keris”. Dengan peradaban kerisnya, Sumenep telah menggenapi takdir Ika sebagai seorang empu.

Kunjunganku ke kediaman Rista terjadi pada Minggu yang terik. Bersama Rosi, aku memasuki lanskap Desa Aeng Tong-tong yang masih memiliki kualitas mooi Indie. Pohon-pohon kelapa menjulang di pematang, satu unsur dari trinitas panorama Hindia molek. Desa-desa di Sumenep memang akan membawa kita pada realisme puisi-puisi Zawawi Imron yang kerap menghadirkan pokok siwalan, vegetasi yang cocok tumbuh di tanah paling tandus di Madura. Akan tetapi, romantisme akardian tersebut sirna begitu kami menginjakkan kaki di halaman rumah Rista. Desing gerinda melahap seluruh kedamaian pastoral itu.

Sementara masih melayani tiga tamu di beranda, Rista menyambut dengan seutas senyum dan menyilakan kami di ruang tamu. Di atas permadani dengan meja kayu berdesain natural, kami duduk. Satu sisi dinding putih memajang aneka hiasan ukir. Di bawahnya, dua jagrak kayu minimalis dan berukir naga memajang keris-keris. Lalu, rak buku. Di sisi lain, jagrak bufet modern memampang sejumlah gagang keris di satu kolom. Selebihnya kosong.

Beberapa menit berlalu, tamu pamit dan Rista menghampiri kami. Rambut panjangnya yang dihiasi helai-helai uban dikuncir kuda. Ia beratasan kaus hitam lengan pendek bernuansa hardcore dan bawahan kain. Kulitnya cokelat berkilat, seperti disepuh waktu. 

“Aku tahu maksudmu datang ke sini,” tebak Rista. “Kamu barusan habis nulis sate, kan? Bentar lagi pasti nulis keris.”

“Aku enggak bakal ngulang daftar pertanyaan wartawan Kompas dan jurnalis National Geographic, kok,” tanggapku. “Aku bakal nanya yang filosofis aja.”

“Jangan sampai kamu nanya kayak mahasiswa-mahasiswa barusan.” Dua mahasiswi dan seorang pria paruh baya—barangkali dosennya. “Keris itu benda budaya bernilai sakral sehingga tak semuanya harus dibeberkan, apalagi ditakar nominal,” sambungnya mengeluhkan wawancara dengan tamu sivitas akademika itu.

“Enggak cocok ekonomi dihubungkan dengan ihwal esoteris keris. Masa mereka nanya, ada berapa jenis keris, modalnya berapa, dan dijual berapa.” Anggap saja ada keris suvenir dan keris koleksi yang bisa disebutkan harganya. Tapi, bagi Rista, keris ageman yang bernilai spiritual tak bisa ditanya dengan kata ‘berapa’. “Kadang seorang empu membikin sebilah keras berpuasa terlebih dahulu. Rahasia keris adalah rahasia pemesan. Keris sèkep enggak boleh diketahui orang lain karena itulah kelemahan si pemilik. Ini bukan perkara enggak terbuka sama ilmu pengetahuan dan pengembangan penelitian loh, ya.”

Matra Medis Keris

Bahkan, dimensi medis keris pun masih enigmatik meski Rista pernah memperkarakannya di G20 yang dihelat British Council dan Museum Macan di Bali. Ia sadar tak punya latar belakang ilmu kesehatan dan metalurgi. Ia hanya berangkat dari status praktisi. Tapi, ia mulai tertarik pada matra medis keris ketika sepupunya di Blitar disembuhkan dengan benda itu dari bisa ular. Keris menyedot racun yang menjalari saraf. Kasus yang sama ia saksikan ketika ayahnya menyembuhkan seseorang yang digigit ular dengan mata tombak. Tanpa menyentuh, ujung tombak didekatkan pada bekas gigitan, lalu bisa itu merambat keluar. 

“Kupikir enggak ada hubungannya sama bahan, filosofi pamor, dan bentuk.” Rista sudah membandingkan sejumlah keris. Ia berspekulasi, mungkin keris-keris tersebut memang punya kesamaan. Besinya bisa berbeda, tetapi ada kandungan nikel meski kadarnya tak sama. “Kadang penyembuhan itu hanya pakai jempol atau mantra. Artinya, bukan masalah kerisnya, tapi energinya.” 

Rista merasa, sejak dulu masyarakat kita telah melampaui pengetahuan fisik. Mereka mengimani kearifan energi. “Masalahnya, orang percaya sisi ilmiah batu giok untuk kesehatan. Bayar mahal untuk diteliti. Tapi, animo masyarakat pada keris kok enggak sekeren itu, ya. Kalau ngomongin medis keris, jatuhnya klenik,” ucapnya. Di sini, Rista insaf, pengetahuan kita berjalan tanpa jembatan. Dari yang tradisional langsung meloncat ke yang modern. Keduanya tak dihubungkan tali sambungan, tak dianggap sebagai budaya yang berkesinambungan. 

Seseorang menyuguhkan kami teh panas ketika Rista bercerita bahwa ibunya termakan hoaks telur covid. “Karena berita wabah simpang siur, ada manipulasi birokrasi kesehatan, dan teori konspirasi mendominasi, orang-orang mulai kembali ke pengobatan lama,” tukasnya. 

Sebenarnya, orang-orang Indonesia tidak kembali ke pengobatan lama. Mereka hanya diberi pilihan: medis modern atau pengobatan tradisional. Pengobatan herbal yang kerap bercampur anasir nonrasional tidak hilang dari alam pikir masyarakat kita. Fenomena ini tak sama dengan cara pandang orang-orang Barat yang beberapa kali memang mengalami titik balik. Katakanlah tikungan peradaban itu terjadi di Eropa abad ke-18 ketika gerakan Romantik lahir sebagai respons atas supremasi akal budi. Atau di Amerika tahun 60-an terjadi ledakan kembali ke budaya kuno yang ditandai dengan munculnya gerakan New Age, praktik samanistik, keyakinan datangnya zaman Aquarius, dan seterusnya, saat orang-orang melihat dekadensi kemanusiaan karena residu modernitas. 

“Pemerintah mestinya juga mewadahi pengobatan ‘alternatif’. Para praktisi pengobatan ‘alternatif’ itu kerap disumpah untuk ikhlas memberi bantuan tanpa mengharap imbalan.” Seperti yang tersirat pada Sumpah Hippokrates yang justru diikrarkan para calon dokter modern walau sukar diamalkan.

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Ika Arista dengan latar keris-kerisnya/Wardedy Rosi

Perempuan, Besi, Api

“Bergelut dengan keris sejak SD, ngomong-ngomong, gimana hubunganmu sama besi?” Aku membelokkan topik dengan kelokan yang tak jauh-jauh amat. “Di alkimia, besi dan baja punya sifat laki-laki. Diwakili Planet Mars. Perempuan biasanya dihubungkan dengan timbal.”

“Bahaya, dong,” tawa Rista.

Femme fatale.”

Di kepercayaan Jawa, menurut Rista, besi malah dianggap perempuan. Ia terbenam di perut Bumi. Maka, keris akan ideal ketika raga besinya dicampur secuil besi meteor. Ia spiritualitas sempurna dari persatuan feminin dan maskulin, Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. “Kaum feminis bakal protes, kok kita di bawah terus,” tawanya lagi. 

“Tapi, semudah itukah memperoleh besi meteor di Indonesia? Bukankah batu meteor dijual bersertifikat dalam satuan gram?”

“Itu di luar negeri. Di sini, beli besi meteor bisa colong-colong. Dan emang beneran kecolongan karena enggak bersertifikat.”  

“Jadi, apa arti besi menurutmu?” Rosi menegaskan.

“Perlambang kelemahan,” jawab Rista. Rosi tertawa kecil. “Mungkin itulah kesamaan besi dengan laki-laki. Sama-sama lemah. Kuat di luar, tapi ketika kena suhu yang pas bakal meleleh, termasuk besi meteor.”

Dan unsur panas itu perempuan?”

“Pasti.”

“Cewek mengendalikan.”

“Karena kita tahu suhunya, kita pengendali api. Kita bisa melipat besi kayak jeli.”

Di media sosial, warganet perempuan sering berkomentar “Rahimku anget, Mas” saat melihat foto pria tampan. Api boleh kita anggap gabungan par excellence sisi terang dan gelap perempuan. Ia elemen konduktor kelahiran kembali, proses inisiasi, sekaligus daya penghancur. Seperti neraka dan purgatori sebagai bejana penyucian atau bayi burung feniks yang bangkit dari abu bakar induknya.

Kesadaran tentang sisi lemah besi Rista alami ketika terbang ke Kalimantan untuk menghadiri sebuah acara. Berada di pesawat, melawan gravitasi, dan akrofobia menjadi momen partisipasi mistik tentang kedaifan manusia. Jauh di ketinggian cakrawala, ia merasa kerdil, segala dosa dihitung dan hinggap di pelupuk mata. Rasa gentar menghubungkannya dengan kemegahan hidup yang buas. Dan di situlah, di hadapan bayang-bayang Al-Maut, segemerlap apa pun statusmu, kedua dengkul pasti gemetar.

Memento mori membuat semua pencapaian hidup kelihatan omong kosong. Tapi, kalau pesawat sudah mendarat, kita bikin dosa lagi,” Rista terbahak.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Royyan Julian

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1)