Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya.
Setelah sekitar 30 menit menelusuri jalan kampung melalui belakang stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, tibalah saya di Ponten Mangkunegaran. Karena tidak ada warga yang beraktivitas di sana, segera saya putuskan untuk menghubungi rekan Heri Priyatmoko untuk menapak tilas bersama.
Tak lupa juga, saya meninjau sesaat kondisi ponten yang akan saya abadikan. Beberapa saat kemudian, Heri datang tepat setelah saya selesai observasi. Kesimpulan sementara, Ponten Mangkunegaran sejatinya merupakan kamar mandi komunal untuk warga Kestalan dan Kampung Ngebrusan.
Mungkin sedikit aneh, tetapi faktanya demikian. Heri pun menyatakan hal yang sama. Namun, di balik fungsinya, Ponten Mangkunegaran menyimpan cerita yang luar biasa bagi saya. Terutama mengenai hubungan Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII dengan Ir. Herman Thomas Karsten.
Tanpa pikir panjang, kami lantas duduk lesehan di bawah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang juga menaungi Ponten Mangkunegaran. Kami lantas saling mengobrol mengenai masa lalu Ponten Ngebrusan.
Tentang Kampung Kestalan
Ponten Mangkunegaran memiliki nama lain dalam Bahasa Belanda, yakni Badplaats Mangkunegaran, artinya kamar mandi milik Praja Mangkunegaran. Ponten adalah kata serapan dari Bahasa Belanda, fountain, yang artinya air mancur.
Kampung Kestalan, tempat ponten tersebut berada, dulunya merupakan kampung para joki kuda dan kandang kuda pacuan milik Pura Mangkunegaran. Lokasi latihan pacuan kuda itu kini menjadi Stasiun Solo Balapan.
“Antara Kampung Kestalan, ini [ponten] dan Stasiun Balapan saat ini memiliki akar rumput. Tidak asal bangun kolah [Ponten Mangkunegaran] saja, Bro,” ungkap Heri.
Kampung Kestalan lebih dahulu eksis sebagai stal (kandang kuda) daripada Ponten Mangkunegaran. Sejak tahun 1810-an awal, Kestalan sudah disebut sebagai sarang kuda pacuan terbaik di Surakarta (penyebutan lain Kota Solo). Akan tetapi, kondisi masyarakat dan kampungnya jauh dari standar kesehatan kala itu.
“Ada sungai di selatan kita, tetapi rumah-rumah sekitar ini (ponten) saling berdempetan tanpa jarak dan saluran airnya mampet,” jelasnya. Heri menambahkan ketika virus pes merebak di Solo, Kampung Kestalan turut terdampak parah. Salah satunya dipicu gaya hidup warga yang cukup jorok.
Sebagai upaya penanganan wabah pes di wilayah Kampung Kestalan, dilakukan perbaikan kampung atau kampoong verbatering dan penataan sanitasi air. Tidak berhenti begitu saja, kebersihan dan kesehatan warganya pun turut diperhatikan. Salah satunya dengan pendirian kamar mandi komunal yang kelak disebut Ponten Mangkunegaran.
Proses Pembangunan Ponten Mangkunegaran
Ponten Mangkunegaran dibangun tahun 1936 atas inisiatif Gusti Mangkunegara VII, sebagai bagian dari perbaikan kampung wilayah Praja Mangkunegaran. Ia tidak mendesain sendiri, melainkan diserahkan kepada arsitek sekaligus perencana kota lulusan Delft kelahiran Amsterdam, yakni Thomas Karsten.
Latar belakang pembangunan Ponten Mangkunegaran berawal dari keprihatinan Gusti Mangkunegara VII terhadap kehidupan warga Kestalan yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain adalah tidak adanya sanitasi air yang baik, dan kebiasaan hidup kotor menyebabkan virus mudah menjangkiti warga sekitar dan Kota Solo.
Rasa prihatin dan ide pembangunan ponten dikemukakan Gusti Mangkunegara VII selepas lawatan kenegaraan ke Belanda. Tata ruang kompleks permukiman yang indah dan jalur sungai yang bersih, membuat beliau ingin merepresentasikan itu di wilayah Praja Mangkunegaran, terutama Kampung Kestalan.
Setibanya di Pura Mangkunegaran, ia memutuskan segera mengubah gaya hidup warga Ngebrusan Kestalan dengan memperbaiki sanitasi air dan mendirikan Badplaats atau Ponten Mangkunegaran. Thomas Karsten ditunjuk sebagai desainer dan pemimpin proyek pembangunan.
Thomas Karsten merancang Ponten Mangkunegaran dengan mengadopsi gaya Hindu-Buddha Jawa Tengah. Terinspirasi dari seniornya, yaitu Ir. Henri Maclaine Pont. Dana pembangunan ponten berasal dari uang pribadi Gusti Mangkunegara VII dan sumbangan pengusaha perkebunan di Kota Solo kala itu. Ponten Ngebrusan selesai satu tahun kemudian.
Meski berupa kamar mandi komunal, upacara peresmian digelar cukup meriah. Pejabat pemerintah setara residen pengusaha perkebunan di Solo turut hadir. Menurut data yang Heri miliki, tersebut nama Johannes Agustinus Dezentje, pionir perkebunan kopi di wilayah Ampel, Boyolali. Meski ia memperistri salah satu putri Sunan Pakubuwana X, ia memiliki kekerabatan juga dengan Pura Mangkunegaran.
“Kamu tahu betul sepak terjang beliau (J. Agustinus Dezentje), kan? Panjang ceritanya,” ungkapnya sambil tertawa.
Upacara peresmian Ponten Ngebrusan ditutup dengan suguhan minuman khas Pura Mangkunegaran dan pidato penutup oleh Gusti Mangkunegara VII. Dalam cuplikan pidatonya, Gusti Mangkunegara VII berpesan agar warga menggunakan ponten dan tidak menggunakan air sungai, guna mengurangi resiko penyakit menular.
Detail Menarik dari Arsitektur Ponten Mangkunegaran
Rasa haus tiba-tiba menerjang. Kami pun lantas mencari warung angkringan sebagai pelepas dahaga. Setelahnya kami lanjut mengelilingi ponten dan Kampung Kestalan. Sebelum keluar halaman ponten, tiba-tiba terlintas pertanyaan karena saya penasaran sejak awal datang di sini.
“Mas Heri, ini [ponten], sisi timur terbuka mungkin areal cuci muka atau baju. Tapi utara, selatan, dan barat, kan, kolah (toilet). Serius desain awal memang tanpa atap dan pintu?” tanya saya.
Dan betul, faktanya demikian. Namun, pada tahun 1931 menggunakan kamar mandi komunal jamak terjadi dan tidak ada rasa malu. Jika perempuan tetap menggunakan baju kemben dan jarik, kalau pria tanpa baju—hanya celana. Itu lumrah terjadi dan bukan pornografi.
Lokasinya yang berada di tepi Sungai Pepe dan di tengah kampung, jelas menjadi aset yang penting untuk meminimalkan sebaran penyakit di wilayah sekitar. Thomas Karsten mengemasnya dengan apik, sehingga tidak tampak seperti kamar mandi komunal. Sangat detail dan simetris satu sama lain.
Ponten Ngebrusan bergaya ala candi bercorak Hindu Jawa Tengah, dengan ciri khas hiasan kemuncak di sudut tembok. Seakan mempertegas bahwa sang perancang sangat menghormati budaya negara yang ia datangi. Letaknya yang lebih tinggi dari halaman juga semakin menambah kesan mewah.
Sumber air berada di selatan ponten dan dialirkan ke bak penampungan di tengah. Kemudian dialirkan kembali melalui pipa besi ke toilet di setiap sisi. Khusus sisi timur, digunakan untuk mencuci dan mungkin juga untuk mandi.
Menariknya, setiap toilet didesain membelakangi pintu dan menghadap bak kecil. Jelas tujuannya tidak lain supaya orang lain yang akan menggunakan tidak saling bertatap muka. Air kotor pun dialirkan dengan baik melalui saluran kecil, lalu dibuang ke parit luar ponten.
Melalui foto lama keluaran Belanda yang dimiliki Heri, kondisi Ponten Ngebrusan tidak berubah sejak tahun 1931. Hanya perbaikan dan pengecatan ulang beberapa sisi, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Maka tidak boleh direnovasi sembarangan.
Saat melangkah keluar halaman ponten, kami langsung dihadapkan perkampungan Ngebrusan dan Kestalan. Layaknya perkampungan, hilir mudik warga silih berganti tanpa henti. “Ya, seperti ini juga kondisi kampungnya. Hanya saja kala itu dikenal kumuh,” imbuh Heri.
Warga yang menempati kedua kampung tersebut kini sudah beragam. Banyak pendatang yang sudah membaur dengan warga asli. Penduduk asli banyak yang tinggal di area Ponten Mangkunegaran dan tepi Sungai Pepe Kampung Kestalan. Sementara warga pendatang tinggal di tepi jalan, tepatnya di barat kampung.
Berharap Tak Lekang Termakan Zaman
Ponten Mangkunegaran tentu tidak dapat dipisahkan dari akar rumputnya dengan warga Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan. Meski zaman terus berubah, memori warga sebelum, sesaat, dan setelah adanya Ponten Mangkunegaran tentu tidak akan lekang oleh waktu.
Tata ruang kampung yang lebih baik adalah bukti nyata sinergi antara Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten dalam mewujudkan kampung yang lebih sehat. Seperti pepatah, kota tidak bisa hidup tanpa adanya kampung; tetapi sebaliknya, kampung bisa hidup tanpa adanya kota.
Kampung lawas bekas kandang kuda pacuan di tengah Kota Solo itu kian berkembang, tetapi masih menyimpan harta terpendam sebagai bukti berkembangnya kota. Patut dihargai, terutama kepada warganya yang turut serta menjaga ingatan sekaligus warisan berharga bagi wong Solo.
Juga bagi mereka sebagai penikmat, seperti saya dan Heri, dapat menyaksikan Ponten Ngebrusan dengan layak. Meskipun tidak mewah, tetapi tentu ada perasaan tersendiri ketika dapat mengabadikan setiap detailnya Begitulah yang saya alami ketika menelusuri Ponten Ngebrusan dengan rekan tempo hari lalu. “Tidak ada masalah jika disebut wong kampungan. Mungkin mereka belum tahu di balik kampung itu ada apa saja,” ucapnya sambil tertawa.
Semakin dalam menyusuri Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan, langit senja berubah menjadi gelap tanda malam datang. Kami segera kembali ke areal ponten untuk mengambil kendaraan dan memutuskan untuk jajan di warung angkringan legendaris pilihan Heri.
Ponten Mangkunegaran saat ini masih eksis, meskipun sudah tidak berfungsi sebagaimana dahulu. Bangunan tersebut menjadi monumen hidup, mahakarya, sekaligus sumbangsih Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten yang paling unik di Solo.
Setiap sore, halaman ponten digunakan anak-anak kampung setempat berlatih pencak silat. Tidak jarang juga dimanfaatkan warga untuk menggelar kegiatan seni dan budaya. Dengan adanya kegiatan semacam ini, citra kampung lawas Kestalan perlahan naik menjadi kawasan cagar budaya. Semoga saja, kampung lawas lain di Solo maupun kota-kota lainnya dapat bersinergi dengan cagar budaya yang ada di sekitarnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.