Kayutangan tengah berlomba dan berpacu. Barang lawas dan langka dikumpulkan, dipajang lalu dipamerkan. Ia jadi ladang cuan, kiblat para pebisnis di Kota Malang, serta poros estetika peninggalan Belanda dan Jepang. Pendatang berbondong menyamar, mengenakan pakaian model 90-an, terpasang di setiap lembah tubuh mereka. Vintage, retro, atau dark academia, Kayutangan adalah sesobek dari lembaran roti tawar identitas yang sering dipertanyakan. Perlombaan itu, tentunya menghadiahi seorang atau beberapa pemenang―mereka yang memiliki paling banyak kenangan, yang menjadi tokoh utama dalam pewayangan bukan dalang, sinden atau penabuhnya, mereka yang merajai kelangkaan dan kelawasan.

Tanpa melalui gerbang indra, pengetahuan takkan tercipta, begitu kata Aristoteles. Jadi, apa salahnya mencoba sehari saja untuk berlakon seperti ahli epistemologi. Sebelumnya Kayutangan bagi saya adalah pasar hidangan dan minuman, suaka bagi pemusik jalanan, dan Toulon-nya tahu petis. Setiap ojek daring yang mengantar saya ke Stasiun Malang tak pernah tanggal mengungkapkan, “Kalau punya kafe di sini saya tak bakal jadi tukang ojek.”

Dipandang sebelah mata, mungkin kita semua punya sindrom yang sama, the Marxist delusions. Setiap kali saya ditakdirkan melewati area Kayutangan, saya selalu mendengar perspektif orang lain, melihat tren yang dirayakan orang lain, dan mengendus misi orang lain terhadap tempat itu. Sehingga setangkai tunas teratai muncul dalam diri saya, ia tumbuh untuk mengatakan, “Saya mesti mengenal Kayutangan dengan cara saya sendiri.”

Maka terjadilah, tanggal 12 Agustus 2023, Pak Akbar dari Malang Walk Heritage memandu saya untuk mendekatkan diri pada tempat itu. Seperti Raden Wijaya mengunjungi Alas Tarik, karena itu adalah satu-satunya harapan baginya setelah Singosari dihabisi Jayakatwang dan empat istrinya diincar. Sebenarnya saya menaruh harapan besar akan tempat ini. Bukan mengharapkan soal pembangunan yang semata-mata untuk kepentingan komersial, melainkan harapan bahwa saya akan mendapatkan kesan yang berbeda dari Kayutangan. Kayutangan versi sebelum terdistorsi. You only find what you are looking for—kata Mary Leakey—menjadi ungkapan yang sepenuhnya mewakili kesan saya pada salah satu destinasi walking tour, yaitu Kedai Sebastien.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Pak Akbar dari Malang Walk Heritage berkisah di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pagi di Kedai Sebastien

Kedai Sebastien akrab dengan kosakata vintage atau retro. Bila terus-menerus disandingkan, dua kata tersebut menjadi semantik dan suatu saat nanti akan tersemat menjadi identitas yang terus melekat padanya. Saya merasa dua kata tersebut tak cukup mewakili wadak bangunan Kedai Sebastien. Pak Akbar memperkenalkan tempat ini dengan sebutan Rumah Jengki, rumah yang dibangun atas dasar resistensi arsitektur. Pada masa itu American dream-nya masyarakat adalah memiliki, membangun, atau tinggal di rumah bergaya Belanda.

Selain ingin lepas dari khazanah Belanda, mereka ingin memiliki rumah dengan gaya dan cita rasa sendiri. Bukan Belanda. Sebuah resistensi, seperti supernova yang meledak lalu remahannya tersedot lubang hitam. Saya pikir resistensi adalah kata yang tepat untuk merepresentasikan tempat itu secara badani. 

Namun, tidak terpikirkan oleh saya untuk bertanya pada Pak Akbar, apa Jengki itu. Apakah ia sebuah singkatan? Siapa pencetusnya? Di manakah Rumah Jengki pertama di Malang? Pertanyaan semacam existing, being, dan becoming benar-benar tak muncul di kepala saya saat itu. Mungkin karena mata saya sibuk merayapi dinding, jendela, pagar, kursi, meja, dan perabotan hingga ke pori-porinya. Siapa pun pencetusnya, di manakah Rumah Jengki pertama dibangun, intinya adalah baru kali ini saya ketemu kedai kopi yang Jengki betulan, bukan jengki-jengkian.

Jengki seperti apakah Kedai Sebastien? Bisakah ia menjadi tempat Tolstoy dan Dostoevsky nongkrong bersama? Pertanyaan ini saya pakai untuk pemicu agar saya tidak terjebak pada ulasan “Jengki adalah”, karena penjelasan semacam ini kadang malah mendistorsi makna aslinya.

Pagi itu pukul setengah delapan, kopi dan teh pesanan kami sedang diracik. Sinar matahari yang belia ikut berkecipak di atas aliran sungai. Kami, para pendengar Pak Akbar—saat itu Pak Akbar membimbing lima orang―tengah melihat sisi lain dari ruang utama di lantai satu yang konon dulunya adalah kamar Pak Sebastien. Barulah saya sadar, Sebastien adalah nama empu kedai ini. 

Pak Akbar menunjukkan perabot anak sekolah tahun 90-an, meja kayu lipat yang tampaknya terbuat dari kayu pilihan karena tidak ada jejak rayap. Yang ada hanya jejak coret-coret para bocah yang tengah jatuh cinta. Ada juga coretan-coretan nama dengan huruf tebal, mungkin ditorehkan di sana untuk mengukuhkan eksistensi pemiliknya. 

Meja tebal itu berkaki ramping. Di bagian atas ternyata bisa dibuka. Saya membayangkannya seperti cara Edmond Dantes membuka harta karun di Pulau Monte Cristo saat Napoleon dibuang ke Elba. Saat penutup tersingkap, di dalam meja terdapat dua atau tiga sobek kertas. Pak Akbar berkata, “Di balik meja adalah tempat di mana anak-anak menempel jadwal pelajaran dan kotak di dalamnya berisi buku-buku pelajaran.”

Di situlah saya menambahkan sedikit cerita gatal, “Mungkin mereka juga menyelipkan surat cinta di sana, sebagaimana penyamun menyelundupkan bubuk mesiu.” 

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Meja dan kursi sekolah tahun 90-an di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pak Akbar kemudian mengacungkan jari telunjuknya ke langit-langit ruangan. Ia berkata bahwa langit-langit ruangan itu ditopang besi rel kereta api. Sekeras apa pun saya berimajinasi, karena saya hanya tahu caranya membangun rumah pasir di pesisir pantai dan bukan rumah sungguhan, sulit bagi saya untuk memahaminya baik dengan cara berkhayal, sistematis, maupun matematis. Akan tetapi, itu yang membuat daya tarik dari ruangan tersebut―sesuatu mengganjal di langit-langit kamar Pak Sebastien dan Sherlock Holmes perlu disewa untuk memecahkannya: rel kereta api menopang langit-langit kamar.

Ruang tengah, di depan mbak-mbak barista ayu meracik teh dan kopi pesanan kami, terdapat seonggok meja yang ditata seakan-akan itu adalah meja kerja. Ada telepon kabel, buku-buku berbaris, map tua berisi entah apa, dan kursi kecil. Di belakang meja ada latar tempelan sobekan halaman buku dari togel dan tafsir mimpi. “Dulu diperbolehkan, sekarang dilarang,” kata Pak Akbar.

Yang ia maksud adalah praktik tafsir mimpi dan togel. Lembaran-lembaran kertas yang menempel di dinding itu, dulunya adalah buku pedoman penafsir mimpi. Sayang, Pak Akbar tidak mengajarkan pada saya cara membaca buku tersebut. Padahal saya berharap bisa menuntaskan rasa penasaran saya atas mimpi-mimpi saya, yang meskipun tak menguntungkan, mereka mungkin punya arti. Di atas kertas, ilustrasi hewan, dewa-dewi, dan tetumbuhan ada untuk mewakili angka dan beberapa kata yang sayangnya tidak saya pahami.

Jejak Nostalgia Lainnya di Lantai Dua

Di lantai dua terdapat tempat potong rambut, kursi tinggi berwarna selendang Nyai Ratu Kidul berbahan pentil, kaca lebar dan panjang sebagaimana sebuah salon, dan ada selembar wajah Diana di atas majalah beberapa tahun sebelum cerai dengan Charles. Tampaknya itu adalah halaman-halaman dari majalah lama dan pascamodern, karena di sana ada Emilia Clarke, Angelina Jolie, dan Selena Gomez.

Lantai dua cukup ikonis, ada ruang salon berdinding mozaik tempelan-tempelan berita hiburan. Melihat potongan-potongan itu mengingatkan saya pada arus gegap gempita dunia, yang dulunya benderang dan kini tenggelam begitu saja seperti nyanyian Kunti saat pagi menjelang. Pak Akbar berkata kalau salon zaman dahulu menggunakan kursi seperti itu. Ada pijakan kayu dan kebanyakan sandarannya berbahan karet pentil. 

Kursi-kursi lantai dua yang terlihat usang dan karat adalah penanda masa kesenjaan mereka. Namun, kursi ini tidak terlihat renta, ia arkais sehingga penampakannya cukup mengundang, “Sini Nona, duduk di sini.” Lepas dari ruangan salon, ada pintu yang menghubungkan ruangan tempat kursi-kursi tersebut berjajar. Tembok terbagi menjadi tiga arena terbuka, tembok pertama di posisi matahari terbenam yang terdapat jam tangan raksasa menggantung, tembok kedua adalah barisan foto keluarga, dan tembok arah matahari terbit bersisi pajangan benda pecah belah, foto aktris entah siapa, dan kalender tahun 1977. 

Beberapa barang dan perabot tempat itu adalah koleksi pribadi dan beberapa lainnya beli. Itu bukan masalah, menurut saya. Barang-barang tersebut butuh suaka yang tepat. Jadi, berada di Kedai Sebastien membuat mereka menyumbangkan identitas asli sehingga terbentuk identitas kolektif. TV lama dengan layar tambahan berwarna biru, cermin berbingkai kayu, setrika arang, guci ikan, seonggok sepeda anak, dan lain-lain diletakkan di sudut-sudut hampa sehingga tempat itu punya nyawa. 

Ruangan terakhir―jendela menghadap sungai dan matahari lingsir―adalah ruang paling terpencil. Melihat ruangan ini saya teringat pada seorang karakter penyamun dan penembak tua, pensiunan, yakni Peyrol dalam buku The Rover karya Joseph Conrad. Peyrol kembali ke kampung halamannya, tetapi masa kecil dan seluruh jejak keberadaannya telah tergusur oleh gonjang-ganjing politik Prancis. Ia kemudian menyewa kamar. Di sana ia memutuskan untuk mencari ketenangan.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Salah satu sudut menarik di lantai dua Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Di Kedai Sebastien, di tempat ini, jendela khas Jengki menghadap kelok sungai dan rumah-rumah, langit terhampar, dan dari bibir jendela semesta terbentang luas―sama seperti tempat Peyrol menyendiri. Saya tak punya kenangan apa pun soal tempat ini, bukan pula penyamun tua yang mengucilkan diri. Namun, area ini membawa kesan nostalgia.

Oleh karena itu, otomatis saya membayangkan koper tua milik Peyrol dan harta karun yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan hidupnya di samudra tak terbatas. Saya juga otomatis membayangkan suatu saat nanti akan datang ke Kedai Sebastien lagi, duduk menyendiri di sudut itu, membaca atau mengarang secarik puisi. 

Saya rasa, dengan alih wujud Rumah Jengki yang dulunya hanya bisa diresapi oleh pemiliknya menjadi kedai kopi seperti Kedai Sebastien, dapat memperkaya horizon Rumah Jengki itu sendiri. Saya tidak pernah mendengar ada Rumah Jengki sebelumnya, jadi saya selalu merasa dirundung oleh krisis identitas. Ngikut Wong Londho. Sehingga, saya bisa sedikit lebih bangga, resistensi yang dilakukan bangsa ini ternyata dilakukan secara menyeluruh: pikiran, perbuatan, aksi, juga arsitektur.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar