Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu menggantikan interaksi fisik yang lebih mampu menyentuh emosi dan sisi kemanusiaan kita.
Sehabis turun dari Gunung Api Purba, Nglanggeran, Jogja, meski dengan rasa lelah yang belum pergi, masjid kampus UIN Sunan Kalijaga kembali menjadi titik kumpul sebelum berangkat menuju destinasi wisata selanjutnya, yakni Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Perjalanan kali ini saya ditemani Irwansya, kawan lainnya yang sedang menempuh studi S-2 dan pertama kali berkenalan di forum pengaderan sebuah organisasi. Irwansya akan berboncengan dengan Nurul, sedangkan saya bersama Eka.
Diksi Kaliangkrik mungkin terdengar asing di telinga. Namun, ketika kita menyebut Nepal Van Java, sebagian dari kita akan terbayang dengan konten-konten yang pernah viral di media sosial. Konten tersebut menampilkan pemandangan suatu desa di lereng Gunung Sumbing. Panorama rumah-rumah penduduk yang tersusun berundak-undak dengan cat warna warni menambah kesan unik dan estetik.
Kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.50 WIB. Harapannya saat tiba di lokasi kami masih sempat mendapatkan suasana pagi pegunungan, udara dingin, dan lautan awan yang menyambut sebelum matahari terbit. Akan tetapi, saat kami mampir di sebuah SPBU di Jalan Magelang untuk mengisi bahan bakar, teman Irwan, Yudi, bersama pacarnya baru memberi kabar jika mereka jadi ikut. Alhasil kami pun memutuskan menunggu mereka menyusul. Kami sempatkan menyantap hidangan angkringan pagi yang berada persis di samping SPBU.
Setelah beberapa saat menanti, Yudi akhirnya tiba. Perjalanan tetap kami lanjutkan meski matahari telah meninggi. Tidak masalah jika suasana pagi pegunungan telah lewat. Bagaimanapun tujuan kami adalah menikmati perjalanan. Sekaligus mengunjungi tempat yang sama sekali belum pernah kami datangi sebelumnya.
Desa Wisata di Lereng Gunung Sumbing
Jarak tempuh mencapai 90 kilometer dengan cuaca cerah mengiringi perjalanan kami. Kurang lebih dua jam berkendara menyusuri jalan poros Jogja—Magelang. Melewati pusat Kota Magelang hingga Jalan Raya Kaliangkrik yang menanjak dan berkelok-kelok. Dengan mengandalkan insting, sambil membaca petunjuk jalan dan sesekali melihat Google Maps, akhirnya kami tiba di gerbang bertuliskan “Desa Wisata Nepal Van Java”.
Usai membayar registrasi Rp10.000/orang, kami langsung naik menyusuri jalanan desa. Menuju warung makan yang terletak persis di samping gerbang pendakian Gunung Sumbing. Sebenarnya ada opsi menyewa jasa ojek, tetapi kami memutuskan untuk berjalan saja. Hitung-hitung sebagai olahraga. Apalagi saya, Eka, dan Nurul sebelumnya sudah mendaki Gunung Api Purba. Jadi, tidak masalah untuk kembali mendaki dan melewati rumah-rumah warga yang elok dengan nuansa warna-warni nan cerah.
Kami berjalan sesekali berbincang dan menyapa penduduk setempat. Tidak terasa warung makan yang dituju terlihat. Letaknya berada di ujung paling atas permukiman yang cukup membuat energi kami terkuras habis. Momen yang sangat tepat untuk memesan makanan sambil menikmati indahnya pemandangan desa dari atas warung. Udara dingin sesekali menerpa kami, sehingga mau tidak mau kami memesan minuman hangat.
Sesaat setelah saya memesan mi telur rebus, jahe susu hangat, dan air mineral, saya langsung menuju meja makan yang memberikan panorama perkebunan dan rumah-rumah warga. Sesekali kabut datang menutupi pemandangan, tetapi syukurlah cuaca hari ini bersahabat. Meski matahari sudah cukup tinggi, udara khas pegunungan mampu mengalahkan terik matahari yang menyembul setiap kali kabut pergi.
Obrolan kami selama menikmati hidangan dan pemandangan mengalir begitu saja. Mulai dari politik, perkuliahan, adat istiadat, hingga perilaku ibu-ibu dan bapak-bapak menjadi topik yang cukup membuat kami menertawakan satu sama lain. Saking larutnya dalam obrolan, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hari sudah siang. Tidak terasa memang, mengingat suhu yang tetap menyejukkan dan matahari bersembunyi di balik awan membuat kami lupa waktu.
Usai membayar tagihan makanan, kami memutuskan turun kembali ke parkiran untuk bersiap-siap pulang. Selepas salat Zuhur, kami menyempatkan diri berfoto-foto. Mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang lagi. Betapa sebuah dokumentasi visual sangat berharga di era digital ini. Selain keperluan merawat ingatan, tentunya untuk konten media sosial.
Perjalanan Pulang
Keluar dari area parkiran, oleh petugas setempat kami diarahkan mengambil jalur lain untuk turun. Demi keselamatan, mengingat jalan di kawasan ini cukup curam dan beberapa titik tidaklah mulus. Begitu pun saat keluar dari desa wisata. Kami memutuskan melalui rute berbeda, yakni jalan raya yang tembus ke kawasan Candi Borobudur. Alasannya sederhana, karena saya pribadi sudah cukup lama tidak melalui area yang telah menjadi prioritas pariwisata nasional tersebut.
Benar saja. Kawasan Candi Borobudur makin cantik dengan berbagai pernak-pernik. Menambah kesan kuat sebagai objek prioritas pariwisata nasional. Jalanan mulus dan lampu-lampu khas akan kita temukan sepanjang rute ini.
Sempat beristirahat sebentar di salah satu masjid, kami pun lanjut memacu motor menuju Yogyakarta. Sekitar pukul lima sore kami tiba kembali di Kota Jogja, lalu mengantar Eka dan Nurul kembali ke kos mereka. Saya dan Irwan pun berpamitan sekaligus berterima kasih atas waktunya hari ini.
Selama dua hari mengendarai motor, menuju dua dataran tinggi di dua provinsi berbeda, serta menjadi tour guide untuk dua teman asal Subang jelas menguras tenaga. Namun, semua itu terbayarkan dari kesan dan cerita perjalanan yang kami dapatkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.