Terik matahari mulai menyapa saat kami memulai perjalanan menuju Pulau Rote. Pagi itu, kami sempat hampir ketinggalan kapal di Pelabuhan Bolok. Terengah-engah, kami berlari menyusuri lorong pelabuhan dan akhirnya berhasil memasuki kapal tepat sebelum kapal berangkat.
Tepat pukul 09.00 WITA, KMP Ranaka bergerak meninggalkan pelabuhan. Rombongan kami menempati dek dua, lalu mengambil tempat pada kursi-kursi kosong di antara penumpang lainnya. Beres memastikan ketersediaan tempat bagi semua anggota rombongan, saya berpindah ke dek tiga.
Selama beberapa kali melakukan penyeberangan, saya selalu menempati dek tiga, dek paling atas, yang menurut saya jauh lebih bebas. Apalagi, penyeberangan ke Rote hanya memakan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan feri lambat seperti ini. Waktu tempuh yang jauh lebih singkat ketimbang perjalanan ke Flores via Aimere yang bisa memakan waktu delapan belas hingga dua puluh jam lamanya.
***
Dek tiga tampak lengang, pemandangan baru yang hampir tidak pernah saya temui pada setiap penyeberangan ke Flores. Saya lantas duduk santai sembari mengamati KMP Ranaka yang kian menjauhi Pelabuhan Bolok. Beberapa saat kemudian satu per satu anggota rombongan berpindah ke dek tiga. Mereka pun rupanya sama, dek tiga bagi mereka adalah pilihan yang tepat.
Akses ke Pulau Rote melalui jalur laut terbilang cukup mudah dengan jadwal penyeberangan yang tersedia setiap hari. Selain itu, ada beberapa alternatif kapal yang bisa dipilih. Di hari keberangkatan kami saja, masih ada dua opsi kapal lain, yakni KMP Garda Maritim 3 dan KC Express Bahari 1F. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya memilih KMP Ranaka.
Bagi saya, ini benar-benar akan menjadi sebuah perjalanan laut yang menyenangkan. Saya tidak perlu bergulat dengan pikiran bagaimana caranya mengatasi kejenuhan di kapal, menyiasati posisi tidur yang tepat di antara banyaknya penumpang, apalagi mengumpat kesal musabab perjalanan yang rasanya begitu lama. Perjalanan kali ini terasa begitu santai.
Cuaca yang semula kami khawatirkan, tampak tak lagi menjadi masalah. Langit begitu cerah dan hampir tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Perasaan saya seketika menjadi tenang, sembari berharap semoga cuaca akan selalu bersahabat beberapa hari ke depan, terutama selama kami berada di Pulau Rote.
Pulau Rote, secara administratif termasuk dalam Kabupaten Rote Ndao. Merunut catatan sejarah, dulunya daerah ini masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang, dan baru menjadi kabupaten sendiri pada tahun 2002. Bagi masyarakat NTT, Pulau Rote menyimpan begitu banyak kekayaan alam dan potensi wisata yang luar biasa. Selain itu, aspek budaya dan kearifan lokal, seperti sasando, ti’i langga, tenunan daerah, ragam pengolahan lontar, dan beragam hal lainnya, menjadi kekhasan tersendiri bagi pulau ini.
Selama di Pulau Rote, kami—saya bersama dosen dan kesembilan belas mahasiswa PMM—akan mengunjungi destinasi wisata alam Mulut Seribu dan tempat pembuatan gula lontar yang menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Rote. Sebagai bagian dari agenda kegiatan Modul Nusantara, kunjungan ini ditujukan untuk memperkenalkan kekayaan wisata alam dan kearifan lokal masyarakat Rote kepada mahasiswa PMM yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah hampir 4 jam penyeberangan, KMP Ranaka berlabuh di Pelabuhan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao. Siang hari itu, Pulau Rote menyambut kami dengan pesona air laut berwarna hijau toska yang menjadi begitu anggun tatkala berpadu langit biru dan matahari yang bersinar cerah.
Di Pelabuhan Pantai Baru, kami dijemput bus yang dikemudikan Bapak Sugianto. Tak butuh waktu lama, bus melaju di jalanan Rote Ndao yang beraspal mulus. Hari itu juga kami langsung mengunjungi salah satu destinasi wisata alam di Pulau Rote, tepatnya di Desa Daiama dengan jarak tempuh sekitar 20–30an kilometer.
Hampir tak ada gambaran apa-apa yang saya ketahui tentang destinasi tersebut. Saya hanya tahu, bahwa tempat yang bernama Mulut Seribu itu pernah menjadi salah satu nominasi Anugerah Pesona Indonesia Kategori Surga Tersembunyi pada tahun 2020 lalu.
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami tiba di sana.
Laut tampak tenang, warna birunya menyihir mata dalam sekejap. Beberapa perahu motor terparkir di dermaga, yang mana beberapa di antaranya akan kami sewa untuk mengitari pulau-pulau kecil di Mulut Seribu ini.
Air laut yang jernih dengan vegetasi pepohonan hijau sekelilingnya menyajikan pemandangan alam yang masih terjaga dengan baik. Kami berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain, menikmati pemandangan laut sembari mengamati ikan-ikan yang berenang dengan bebasnya hingga ke tepi pantai. Sesekali saya berbincang dengan anak-anak setempat yang sedang bersantai di dermaga. Mereka menanggapi saya dengan ramah, dan selebihnya larut dalam obrolan bahasa daerah mereka sendiri, yang tidak saya pahami.
Sesuai rencana, harusnya kami akan makan siang terlebih dahulu. Sayangnya, warga setempat yang seharusnya mempersiapkan makan siang kami, rupanya memiliki kesibukan lain. Kabar mengejutkan yang membuat kami mau tidak mau harus melawan rasa lapar untuk sementara waktu.
Beberapa saat sebelum kedatangan Om San dan Om Lans—sang juru kemudi perahu, gelak tawa kami pecah mendapati Yazid yang terpeleset jatuh hingga celana yang ia kenakan basah kuyup. Saya menjadi salah satu yang paling mentertawakan kesialan kecil yang menimpa Yazid. Seandainya saat itu saya tahu bahwa kemudian kesialan yang lebih besar akan menimpa saya, mungkin saya tidak akan berlebihan mentertawakan Yazid.
Rombongan kami lalu dibagi dua, sebagian menumpang bersama Om San, sebagian lagi bersama Om Lans. Saya bergabung bersama rekan-rekan yang menumpang perahu Om Lans dengan jumlah yang sedikit lebih banyak, sesuai ukuran dan kapasitas perahu.
Mesin perahu pun menyala, dua unit perahu perlahan bergerak meninggalkan dermaga. Seiring kami melaju, panorama Mulut Seribu kian terbentang di hadapan. Pulau-pulau kecil yang berjajar di tengah laut biru memberikan nuansa keindahan, yang belum pernah kami temui sebelumnya.
Setiap pulau di sini merupakan gugusan karang yang melahirkan pulau-pulau kecil, yang mana laut biru seperti berpelukan dengan hijau rimbunnya pepohonan. Alam seakan menciptakan pulau-pulau ini dengan penuh keajaiban.
Om Lans memberitahu saya terkait nama-nama pulau kecil di Mulut Seribu. “Ini Batu Kapal,” kata Om Lans sambil menunjuk sebuah pulau yang berada tepat di depan kami. “Disebut begitu karena bentuknya seperti kapal,” katanya melanjutkan.
Selain pulau tersebut, ada juga Pulau Rumah Tujuh yang menurut cerita hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Lalu, ada Pulau Batu Dua Pintu, Pulau Faliki, Pulau Mandere, dan pulau-pulau lainnya yang tersebar di Mulut Seribu.
Menurut beberapa literatur, asal mula nama Mulut Seribu karena keberadaan tebing-tebing, karang, dan pulau-pulau kecil di sekitar tampak tampak menyerupai “mulut” yang banyak. Kenampakan alam memesonanya pun membuat banyak orang menyebut sebagai Kepulauan Raja Ampat yang terkenal itu.
Seperti menyusuri sebuah labirin raksasa, kami melaju di antara celah-celah pulau kecil yang menyerupai pintu menuju sudut lain Mulut Seribu. “Di sini kalau sonde dipandu bisa nyasar, ada jalur masuk dan keluarnya,” terang Om Lans.
Beberapa kali, kami bersua dengan perahu nelayan setempat yang melintas. Di beberapa titik kami menemukan budidaya rumput laut yang juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di sini. Semuanya menyatu, memberi warna lain, yang juga menunjukkan bagaimana keterhubungan manusia dengan alamnya.
Di sini, laut yang tenang, tebing-tebing karang yang kokoh, pulau-pulau kecil nan cantik, riuh rendahnya nyanyian burung-burung di udara, dan keberlimpahan ikan di dalam laut—semuanya berpadu menjadi satu, menjadi kekayaan luar biasa dari Mulut Seribu.
Perasaan syukur benar-benar mengisi hati kami, untuk kesempatan berharga singgah ke tempat ini.
Usai mengitari Mulut Seribu, rombongan kami bergegas menuju penginapan yang berada di Mokdale, Kecamatan Lobalain. Menurut sopir bus, jarak ke sana cukup jauh dengan estimasi waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan.
Bus melaju meninggalkan Desa Daiama seiring malam yang kian menjelang. Saya mengatur posisi duduk sebaik mungkin, berharap bisa terlelap, dan baru akan terbangun ketika bus telah tiba di tempat tujuan kami.
Dua jam kemudian, kami tiba di penginapan. Usai menyusun barang-barang dan menyiapkan tempat menginap, kami berkumpul di teras penginapan. Membaur menjadi satu dalam suasana penuh keakraban, lalu larut dalam obrolan penuh tawa.
Malam itu berjalan panjang, dengan canda tawa dan cerita-cerita yang tak kunjung habis. Di tengah obrolan, saya memberitahu mereka soal pakaian saya yang ketinggalan di kamar mandi umum Mulut Seribu sewaktu membersihkan diri beres mengelilingi Mulut Seribu.
Beberapa menanggapinya dengan sedikit kaget, meski kami sama-sama tahu bahwa tidak ada harapan untuk mendapatkan pakaian itu kembali. Beberapa yang lain tersenyum tipis, sambil menahan tawa, mungkin mereka memikirkan hal yang sama, mengingat kembali bagaimana saya menertawakan Yazid dan kemudian tertimpa kesialan yang lebih parah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.