Apa yang diingat dari sebuah kota?
Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut mengalami pasang surut sejarah dan perkembangan? Tentu tidak. Ada cerita-cerita keseharian yang luput dari perhatian, yang juga menyusun rangkaian sejarah kota nan perlahan-lahan mulai buram dari ingatan penduduknya.
Penelitian-penelitian mulai dilakukan, membentuk narasi tentang sebuah kota yang tumbuh dan berganti rupa. Buku yang berjudul Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep mencoba mengawetkan data-data yang tersebar di ingatan penduduk kota dan mengalami pasang surut perkembangan kota mereka.
Penulis buku ini adalah anak-anak muda yang terkumpul dalam berbagai komunitas di berbagai kota, seperti Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep dengan dukungan dari Yayasan Makassar Biennale, yang rutin menggelar Makassar Biennale sebagai ajang kerja-kerja kebudayaan berskala internasional. Yayasan Makassar Biennale menjadi penyokong anak-anak muda untuk menuliskan sejarah perubahan kota mereka dan cerita yang terekam di dalamnya. Dengan demikian akan menjadi sebuah kumpulan data yang berharga untuk penelitian-penelitian yang akan datang.
Anwar Jimpe Rachman sebagai penyunting, juga memberikan kata pengantar dan mengomentari penulisan buku ini sebagai “antara bermain dan serius”. Disebut bermain, karena dalam merekam data dan menulis para peneliti memiliki keleluasaan serta tanpa kekangan dari konsep dunia akademik. Disebut serius, karena prosesnya yang menuntut kedisiplinan dan komitmen setiap individu yang terlibat. Dan ia berharap buku ini dapat meretas kesenjangan penelitian-penelitian sejenis yang biasanya hanya menjadi ranah dari para perguruan tinggi.
Tentang Perubahan Drastis dari Kota ke Kota
Tulisan “Tanah yang Bergerak Menuju Selat Makassar” oleh Aziziah Diah Aprilia dan kawan-kawan menjadi cerita pembuka. Mereka menyoroti perkembangan bentang alam pesisir Makassar dalam lima puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut lanskap berubah drastis, yang juga berarti mengubah nasib penghuninya. Aziziah dkk mengamati kehidupan sebelum dan sesudah reklamasi yang marak terjadi di daerah pesisir, mewawancarai orang-orang yang melihat perubahan lingkungan hidup secara langsung, juga mengambil sudut pandang personal dengan dampaknya terhadap kehidupan mereka masing-masing, serta melengkapinya dengan sejarah singkat masing-masing kampung yang terdampak.
Tulisan kedua, “Perigi-Perigi yang Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros”, menyoroti ironi di kala kemarau. Harusnya tangkapan air di sekitar Karst Pangkep-Maros yang begitu melimpah justru mengalami kekeringan. Tulisan ini adalah hasil kerja keras Firdaus AR dan teman-teman dalam mewawancarai warga setempat perihal distribusi air, mata air desa, air dan perempuan, juga teologi air sumur.
Buku ini membawa kita ke kota selanjutnya dengan cerita yang berbeda dalam “Kedai, Jalan, dan Cerita Lainnya dari Pinggir Selengkung Teluk”. Parepare sebagai salah satu daerah tingkat II (kota) di Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki jumlah populasi penduduk kurang lebih 140.000 jiwa, ternyata punya cerita di sudut-sudut kotanya. Kita akan menikmati suguhan kisah bagaimana jalan-jalan di kota ini saling memberi cerita tentang kejayaan dan kemunduran Parepare sebagai kota yang disatroni oleh banyak etnis untuk mengadu nasib. Tentang sebuah jalan yang menjadi saksi bisu perekonomian warga Parepare, Pelabuhan Cappa Ujung yang tertua dan bersejarah, juga masjid yang menjadi marwah Parepare.
Cerita berlanjut ke daerah paling timur, Nabire. Sebuah kota di Papua Tengah yang berdiri di atas rawa-rawa. Kita akan larut dalam tulisan Fauzan Al-Ayyuby dan kawan-kawan, tentang bagaimana Nabire membentuk identitasnya di tengah arus transmigrasi pada masa Orde Baru. Orang-orang transmigran—yang kebanyakan berasal dari Jawa—bersinergi dengan penduduk asli menciptakan Nabire, yang dulunya adalah rawa-rawa penuh nyamuk dan sepi lalu bertransformasi menjadi kota yang ramai. Hubungan masyarakat transmigran dengan para penduduk asli tergambar dalam cuplikan kisah Mbah Alo.
Terakhir, “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut Labuan Bajo” karya Ade Awaluddin Firman dan kawan-kawan, yang menceritakan dua keluarga berbeda suku tentang pemukiman di Labuan Bajo dan sekitar pantai utara Flores bagian barat. Mereka mengulik kisah Rofina Tiwu yang mendatangi Labuan Bajo, kala kota ini hanya sebatas perkampungan nelayan yang masih sarat akan hutan.
Impresi Pribadi
Saya mendapati tiap narasi di buku ini ibarat kue kering; tiap gigitannya terasa renyah dan ingin mencicipinya kembali. Tulisan-tulisan di dalamnya mampu menjalin kisah-kisah personal para narasumbernya terasa lebih intim—mungkin karena berasal dari orang pertama.
Saya berhasil merasakan suasana tatkala banjir menghantam pesisir Makassar, pencarian sumber air bersih di Pangkep-Maros, atau merasakan rawa-rawa yang berubah menjadi pemukiman di Nabire. Pun, narasi yang tersusun juga menyertakan foto-foto serta gambar penunjang yang memberikan gambaran lebih lengkap tentang permasalahan kota-kota tersebut.
Buku setebal 167 halaman ini punya sampul atraktif yang berjudul The Three World of Galigo karya Maharani Budi dan Louie Buana, yang memvisualkan kosmologi masyarakat Bugis dan tergambar dalam epos La Galigo. Pameran visualisasi ini sebelumnya sudah terpajang dalam Festival Kertas Sejagat dan Proyek Indonesia, dan selanjutnya terpilih menjadi sampul buku karya 25 peneliti muda tersebut.
Bagi saya, buku ini tidak hanya memaparkan narasi-narasi yang terserak di antara kehidupan bermasyarakat. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa anak-anak muda dapat berkontribusi dalam bidang penelitian tanpa harus terikat lembaga pendidikan formal.
Judul Buku: Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep
Penulis: Aziziah Diah Aprilya, Feby A. Pasangka, Ikhlasy M., Regina Meicieza S., Wahyuni Hasdar [dan 14 lainnya]
Penyunting: Anwar Jimpe Rachman
Penerbit: Yayasan Makassar Biennale, Makassar
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal Buku: 167 Halaman
ISBN: 978-623-90129-4-6
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.