Terkadang jalan hidup dan masa depan seseorang sudah tergambar sejak ia kecil. Heri, anak seorang petani kopi Brenggolo, mencoba menawar takdirnya.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP
Langkahnya gegas, tetapi tidak tergesa-gesa. Meski kadang tampak kikuk, gerak geriknya memperkuat asumsi tentang keinginan kuat untuk menjadi tuan rumah yang baik. Tak segan berbaur dengan peserta dari pelbagai latar belakang. Sadar atau tidak, Suro Brenggolo, yang terselenggara pada 18—19 Juli 2023, merupakan panggung terbaik untuk seorang Heriyudin (20), putra sulung Pak Yahmin dan Bu Titi.
Selama acara inti Suro Brenggolo, terutama sesi pembukaan, tasyakuran, dan penutupan; Heri selalu duduk di depan. Sejajar di antara para senior, seperti Pak Darmo dan bapaknya sendiri. Ia seperti “dilatih” untuk menjadi penerus garda depan Poktan Argo Wilis, Brenggolo, Kecamatan Jatiroto. Walaupun sempat mengaku tak pandai bicara, tindak tanduknya menunjukkan sebaliknya.
Dari kacamata orang luar Brenggolo, Heri tampak seperti padanan seorang putra daerah yang ingin mengembangkan tanah kelahirannya sendiri. Bernapas dan mengisi hidup dari harumnya kopi. Ia tumbuh di masa-masa perjuangan awal bapaknya dan Pak Darmo menggalakkan penanaman kopi di kampungnya sendiri, Dusun Gemawang.
“Saya masih ingat dulu, zaman ketika [membantu Bapak] mencari bibit kopi siang malam. Termasuk belajar memilih kualitas bibit kopi yang bagus,” Heri memulai ceritanya mengenal kopi. Usianya masih tujuh tahun waktu itu. Setengah windu setelah bapaknya dan Pak Darmo pulang dari perantauan.
Heri tak lupa susahnya membantu pekerjaan sang bapak di kebun kopi yang baru. Karena belum ada polybag, di usia segitu ia harus membawa 15 pohon bibit kopi berikut tanah setengah kilogram per bibitnya, ke kebun yang berjarak 1,5 kilometer dari rumah. Di masa itu, lahan kopi bapaknya tergolong paling dekat dari permukiman dan belum seluas saat ini. Jalannya juga belum sebagus sekarang yang sudah berlapis cor sampai setidaknya menjelang masuk hutan.
Meskipun tergolong muda, ia masih sempat merasakan perbedaan suasana sebelum dan sesudah kehadiran kopi robusta di kampungnya. “Dahulu saat budidaya cengkih mati, kondisinya memprihatinkan,” kenangnya.
Walau Dusun Gemawang terhitung cukup tinggi karena berada di ketinggian sekitar 800—900 mdpl, kondisi alamnya sangat kontras. Alih-alih sejuk dan dingin, rasanya malah panas. Sumber air berkurang, banyak longsor, dan tanah rusak akibat mayoritas petani menanam komoditas jangka pendek, seperti cabai, jagung, dan rempah-rempah.
Sampai akhirnya Pak Darmo dan Pak Yahmin pulang dari tanah rantau membawa kabar gembira, bahwa Brenggolo cocok untuk berbudidaya kopi. Bak malaikat penyelamat, walaupun berjuang sendirian dan tak jarang terabaikan di awal-awal “kampanye” kopi, secara berangsur-angsur mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Gemawang. “Masyarakat akhirnya merasakan perbedaan dari sisi lingkungan. Sumber air melimpah lagi dan kondisi tanah mulai membaik. Bahkan kejadian tanah longsor sangat minim,” kata Heri.
Perubahan drastis dan perkembangan baik tersebut ternyata belum cukup membuka mata Heri. Dia belum tahu, jika keluarganya bisa hidup dari kopi. Ia telah merencanakan jalan hidup yang lain.
Di persimpangan jalan
Ruang mimpi di masa kecil Heri sama seperti umumnya anak-anak yang lain. Selepas lulus sekolah dasar sampai menjelang remaja kelak, potret kesuksesan tergambar pada aneka profesi. Di antara alternatif yang ada, seperti presiden, dokter, pilot, astronot, hingga guru, Heri memilih bercita-cita menjadi anggota militer.
“Saat itu rasanya, wah, [kayaknya] hebat dan gagah pakai baju tentara,” ujar Heri berangan-angan. Angan-angan serupa yang terpatri di benak anak-anak muda seusianya, bahkan mungkin berlangsung sampai sekarang.
Heri sempat berpikir bahwa untuk menjadi orang yang dihormati di dusun harus berseragam. Kalau hanya sekadar punya uang, itu sudah biasa. Sementara, seperti Heri katakan mengutip pernyataan beberapa warga, ada kelaziman pandangan, “Kowe ki diarani kerjo, nek kowe ora ning daerahmu. (Kamu ini dianggap bekerja kalau kamu tidak berada di tempatmu sendiri). Seperti merantau, itu baru bisa dikatakan bahwa kamu bekerja. Kalau hanya di rumah dan bertani, tidak akan dianggap bekerja.”
Heri sebenarnya memiliki “modal” yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Waktu bersekolah di bangku SMK di Jatiroto, Kodim Wonogiri pernah merekrutnya sebagai bagian tim jurnalistik. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berbincang langsung dengan Pangdam V Brawijaya kala itu. Dan kevakuman berurusan dengan kopi selama tiga tahun, seakan makin meneguhkan hatinya menjadi prajurit setelah lulus SMK.
Namun, impiannya menjadi seorang abdi negara harus ia kubur dalam-dalam. Alih-alih tidak memenuhi persyaratan, Heri malah tidak melangkah sejengkal pun untuk mendaftarkan diri. Keteguhan niatnya membentur tembok tebal bernama restu orang tua. Terutama ibu. Tak ada perdebatan atau perlawanan. Sama sekali. Heri memilih diam dan manut setelah sempat “menguji” keputusan ibunya.
“Saya sampai menanyakan sebanyak tiga kali ke Ibu, tetapi tiga kali pula jawaban Ibu tetap sama. Saya tidak boleh menjadi tentara,” tuturnya tegar, “ketika orang tua tiga kali bilang ‘nggak boleh’, ya ke belakangnya nanti bakalan tidak baik juga.”
Untuk beberapa hari kakak kandung Olivia (12) itu berada di persimpangan jalan. Laiknya remaja yang belum stabil secara emosi, ia pun sempat sugetan atau mutung, lalu cukup lama mengurung diri. Terombang-ambing takdir. Status prajurit tak akan pernah terkejar, sedangkan dunia kopi sudah lama ia tinggalkan. Heri belum sepenuhnya menyadari tentang pilihan jalan hidup terbaik yang sebenarnya.
Akan tetapi, tampaknya memang hidayah benar-benar hak prerogatif Tuhan yang bersifat mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Apa saja yang menjadi rencana manusia, bila terwujud sekalipun, itu memang sudah menjadi rencana Tuhan.
Suatu ketika, di tengah rintik hujan, Heri menyulut rokok dan menyeruput kopi di teras rumah. Pikirannya kalut. Sampai pada sebuah titik matanya melihat bunga-bunga kopi yang tumbuh di pekarangan. Tanpa aba-aba, entah kerasukan apa, seketika lisannya menceletuk tutur demi tutur yang ia kenang sampai sekarang. Perenungan yang mengubah nuansa sendu dalam sekejap.
“Saya bisa menjadi harum [seperti bunga kopi]. Saya tidak perlu untuk tetap menonjol, walaupun saya [berada] di pinggir. Ketika saya berguna, harumnya [bunga kopi] pasti sampai ke mana-mana.”
Tiba-tiba labirin memori membawa Heri kilas balik ke masa kecil. Tergambar perjalanan panjang Yahmin dan iparnya, Pak Darmo, selama hampir satu dasawarsa ke Bumi Sriwijaya. Perjuangan berat demi menghidupi anak dan istri yang terpisah ribuan kilometer.
Lalu akhirnya mereka memutuskan kembali ke Gemawang. Pulang tanpa membawa harta melimpah—bahkan nyaris tidak berbekal apa-apa—kecuali modal ilmu penanaman dan perawatan kopi. Sebuah komoditas perkebunan yang mereka kerjakan selama di perantauan. Sebuah jalan hidup yang akhirnya mengubah Brenggolo menjadi seperti sekarang.
Heri mengaku, sedari kecil sampai remaja tidak tebersit setitik pun di pikirannya untuk menjadi penerus Bapak sebagai petani kopi. Hanya sekadar membantu pekerjaan orang tua, pikirnya. Selebihnya ia sedang meniti satu per satu anak tangga menuju ketetapan definisi sukses yang pernah ia canangkan.
“Namun, ya, itu tadi. Ketika mendidik dengan penuh kesabaran, batu sekeras apa pun [pasti akan halus] jika cukup konsisten dibasahi air setetes demi setetes. Contohnya, seperti saya. Dengan kesabaran Bapak mendidik saya, saya merasakan sendiri bahwa keegoisan itu dapat diluluhkan,” ujarnya dengan binar mata kelegaan.
Tulisan “Basecamp Pemuda Hijrah” yang terlukis di dinding atap rumahnya, barangkali jadi penegasaan jati diri Heri dan teman-temannya sebagai “pendakwah” kopi milenial.
Siap menjadi ujung tombak
Heri dan anak-anak muda di dusun jelas patut berterima kasih pada hasil perjuangan orang-orang tua yang mbabat alas alias membuka jalan baru untuk budidaya kopi robusta Brenggolo. Terlebih saat ini, menurut Pak Darmo, terdapat ribuan pohon kopi yang tersebar ke hampir 90 persen lahan kopi produktif dari total 42 hektare di Gemawang.
Heri mengakui dan amat mensyukuri itu. “Ketika melihat orang tua kami, yang sampai sekarang bertahan dari arus ombak dari lingkungan sekitar [sejak] saat memulai penanaman kopi, itu menjadi inspirasi dan sesuatu yang luar biasa bagi kami, para pemuda.”
Suro Brenggolo yang pertama ini, menurut Heri, bisa menjadi salah satu sejarah baru dan batu lompatan bagi para petani kopi di naungan Poktan Argo Wilis. Khususnya anak-anak muda yang diharapkan meneruskan keberlanjutan jenama kopi khas Brenggolo. Ia sendiri tak menduga adanya keterlibatan dan perhatian teman-teman yang berasal dari luar Brenggolo.
“Ketika kita sudah dikenal dengan orang [dari tempat} yang jauh, rasanya di kami muncul sebuah tanggung jawab untuk terus berbenah dan berkembang,” sahutnya.
Ibarat pepatah Jawa yang ia katakan, nek wong Jowo wis njegur banyu ojo wedi teles (kalau orang Jawa sudah masuk air jangan takut basah), Heri memahami bahwa ketika fokus menggeluti suatu bidang maka jangan setengah-setengah apalagi takut. Meski menanggung beban yang tidak ringan, ada tanggung jawab yang harus dijaga untuk keberlanjutan Poktan Argo Wilis dan kopi robusta Brenggolo.
“Apa pun risikonya harus kita hadapi. Dan ketika kita terjatuh pun itu sudah hal yang biasa. Tanggung jawab kita sebagai generasi milenial adalah meneruskan tonggak perjuangan dari yang tua, dan membuat program yang sudah berjalan menjadi lebih baik ke depan,” tegasnya. Matanya nyalang memandang bagian perbukitan Gunung Sewu di seberang Brenggolo.
Meskipun jalan masih panjang, Heri tak ragu untuk terus belajar mengasah diri dan berkolaborasi dengan generasi di atasnya. Termasuk pada bapaknya sendiri dan petani-petani kopi lainnya. Dari Suro Brenggolo, ia berharap bisa berkontribusi besar dalam upaya perbaikan internal kelompok. Mulai dari manajemen kelompok tani, perkebunan, hingga pengolahan.
Untuk itulah Heri rela menunda keinginannya yang lain, yaitu melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Ia tidak ingin kehilangan momentum. Ia tidak ingin melepas jati dirinya. “Saya masih eman dan merasa belum mapan di tengah naik daunnya Kopi Brenggolo sejak 2020 lalu. Ada saatnya nanti [melanjutkan perkuliahan].”
Mengutip Wahid Budi Utomo di tasyakuran malam 1 Suro, pegiat kopi Dusun Sirap, Kabupaten Semarang itu mengatakan bahwa peran sebagai seorang pelopor berarti harus siap menjadi ujung tombak dan siap tombok. Tombok biaya, waktu, dan tenaga. Itulah yang Pak Darmo dan Pak Yahmin alami di Brenggolo. Heri, dengan percaya diri, yakin mampu meneruskan kiprah para pendahulu.
“Apakah panjenengan siap menjadi ujung tombak kopi robusta Brenggolo di masa mendatang?” tanya saya.
“Siap, Mas!”
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.