Jejak Kerkop Bakulan, Makam Dua Anak Indo di Boyolali

Penelusuran saya di Boyolali masih berlanjut. Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju Desa Bakulan, Kecamatan Cepogo guna mencari keberadaan kerkop Bakulan lebih detail.

Awalnya, saya pikir kerkop tersebut terletak pada sebuah area pemakaman khusus. Namun, ternyata dugaan saya salah.

Berbeda dengan kerkop pada umumnya, kerkop Bakulan berada satu kompleks dengan pekuburan Jawa milik warga Bakulan. “Wah, kalau begini bisa seharian keliling desa sendiri,” pikirku.

Akses jalan kerkop Bakulan Boyolali
Akses utama di tengah perkampungan menuju kerkop Bakulan, Cepogo, Boyolali/Ibnu Rustamadji

Rute Menuju Kerkop Bakulan

Saya berkeliling desa sekitar 20 menit, sampai akhirnya berjumpa dengan beberapa penduduk setempat. Mereka ternyata mengetahui keberadaan kerkop Bakulan yang saya cari. Orang sini menyebutnya kijing londo atau nisan Belanda.

“Oh, kamu kejauhan, Mas. Pertigaan timur rumah ada jalan ke utara. Tinggal ikuti jalan itu lurus sampai pertigaan terakhir. Jangan belok sebelum menemui masjid di ujung jalan. Habis dari masjid ke barat sedikit 100 meter. Di kanan jalan ada dua gapura, ya, itu kijing londo di sana,” jelas seorang warga dalam bahasa Jawa.

Rupanya saya kebablasan. Pikir saya posisi masjid dan dua gapura makam sama-sama terletak di tepi jalan desa. Ternyata berbeda. Kerkop Bakulan masih masuk sekitar 50 meter dari sudut masjid dengan aksen bukaan satu gapura.

Sesampai di lokasi tempat kerkop Bakulan berada, saya malah bingung. Mayoritas makam di sini milik masyarakat. Sekilas saya tidak menemukan adanya nisan berepitaf  Belanda. Barulah setelah pindah ke sisi barat makam, saya menemukan kerkop Bakulan yang saya cari.

Kompleks pemakaman Desa Bakulan
Gapura masuk kompleks pekuburan Desa Bakulan. Kerkop keluarga Marshall berada di tengah-tengah makam warga/Ibnu Rustamadji

Jejak Jan Marshall dan Johanna Marshall di Kerkop Bakulan

Kompleks kerkop ini terdiri dari tiga nisan. Satu di antaranya tanpa epitaf dan penuh dengan tegel motif berwarna biru. Dua nisan lain masih lengkap epitafnya, meskipun sedikit rusak. Tertulis di atasnya nama Jan Marshall dan Johanna Marshall. Keduanya wafat di usia yang sangat muda.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, saya segera mengabadikan detail epitaf keduanya. Hasil foto segera saya kirim ke Hans Boers untuk mendapatkan cerita mengenai kedua mendiang. “Apakah mereka bersaudara dengan Francis Ord Marshall di Sapiyan? Entahlah, nunggu Pak Hans,” gumamku.

Tak sampai sehari, Hans Boers memberi jawaban. Namun, sayang seribu sayang. Sedikit sekali informasi mengenai keduanya. Saya dapat memaklumi. Satu di antaranya wafat pada usia 16 tahun, sehingga tentu tidak banyak catatan tentang keluarganya. 

Epitaf nisan pertama bertuliskan, “Hier Rust. Onze Geliefde Dochter. Johanna Marshall. Geb. 20 Sept 1906. Overld 2 Dec 1922” (Di sini Beristirahat. Anak Perempuan Tercintaku. Johanna Marshall. Lahir 20 September 1906. Wafat 2 Desember 1922).

Epitaf nisan kedua tertulis, “Hier Rust. Onzen Geliefden Zoon. Jan Marshall. Geb. 10 Juni 1904. Overld. 13 April 1926.” (Di sini Beristirahat. Anak Laki-Laki Tercintaku. Jan Marshall. Lahir 20 September 1904. Wafat 13 April 1926).

Berdasarkan informasi Hans Boers, Jan Marshall dan Johanna Marshall adalah anak dari pegawai perkebunan yang tinggal di Bakulan. Ayahnya bernama Henry Marshall, sedangkan ibunya adalah orang Jawa bernama Marijem. 

Hans menambahkan, ada dugaan keluarga mereka memiliki hubungan saudara dengan Francis Ord Marshall di kerkop Sapiyan, Boyolali. “Bukan karena sama-sama bermarga Marshall, tetapi di Boyolali ada tiga keluarga Marshall dan mereka semua pegawai perkebunan,” ungkapnya.

Menariknya, kerkop Bakulan berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Tepatnya di sisi selatan perkebunan kopi dan indigo “Bakoelan”.

Dari catatan Hans Boers, akhirnya saya memastikan bahwa Henry Marshall memang merupakan pegawai administratur perkebunan “Bakoelan”. Ia menambahkan, pengawas perkebunan “Bakoelan” waktu itu adalah A. Egges Post. Ia wafat pascaoperasi gagal ginjal di Semarang tahun 1919. 

Kerkop Bakulan dan Wabah Pes di Boyolali

Hans Boers menemukan catatan menarik lainnya. Pada masa itu terjadi wabah “pagi sakit sore mati” atau pes yang menjangkit Kota Surakarta. Persebarannya hingga Boyolali, termasuk Desa Bakulan. Kediaman keluarga Marshall ikut terdampak. Pes muncul akibat virus dari bangkai tikus di lumbung penyimpanan hasil panen.

Penyebaran penyakit lebih rentan menulari mereka yang tinggal di area perkebunan saat itu. “Ada kemungkinan, mereka (Jan dan Johanna Marshall) wafat karena tertular pes. Tentu mereka sangat rentan terjangkit virus. Tidak hanya pes, tetapi juga malaria,” kata Hans. Ia menambahkan, “Abad ke-19 di Boyolali tidak banyak sarana kesehatan memadai. Kalau ada pun harus ke Surakarta.”

Merujuk surat kabar Darmokondo edisi 1923 yang Hans temukan, persebaran pes di Cepogo pertama kali ditemukan di dua desa, yakni Jelok dan Bakulan. Penularan pertama terjadi pada seorang anak Bakulan berumur 5 tahun yang tidak diketahui namanya.

Jalan utama antara Desa Bakulan dan Jelok, Cepogo, Boyolali
Jalan utama antara Bakulan dan Jelok. Satu abad lalu, persebaran wabah pes pertama kali di Kecamatan Cepogo, Boyolali ditemukan di kedua desa ini/Ibnu Rustamadji

Penelitian sebuah rumah sakit di Surakarta mengeluarkan kesimpulan yang mencengangkan, “Hasil temuan uji lab terhadap limpa seorang anak warga Desa Bakulan, terinfeksi virus pes. Tetapi bukan limpa dari kedua anak Marshall,” tulisnya. 

Mengetahui cepatnya persebaran pes, mantri desa kala itu tidak tinggal diam. Ia segera mengambil langkah guna mencegah penularan yang bagaikan tumpahan minyak.

Sang mantri—yang tidak diketahui namanya—lantas memerintahkan seluruh warga desa untuk menjaga diri dari penularan. Caranya adalah dengan tidak membiarkan tikus masuk ke rumah. Jika tikus mati di dalam rumah, tak berselang lama sang penghuni akan terinfeksi meski tidak bersentuhan langsung.

“Pes itu serangan mendadak tanpa bisa diketahui sebab dan akibatnya, tetapi jelas bahwa virus itu berasal dari bangkai tikus mati di tempat lembap.” jelasnya.

“Masuk akal juga mereka (Jan dan Johanna Marshall) wafat karena tertular pes. Terlalu rentan.” pikirku.

Sesaat kemudian Hans memberi tambahan informasi tentang pengendalian pes di Cepogo dan Boyolali. Dari catatannya, secara umum wabah pes di wilayah Boyolali terkendali sekitar tahun 1928. Dua tahun setelah anak kedua Marshall wafat. Namun, sekali lagi, tidak ada catatan pasti mengenai kejadian sebenarnya terhadap keluarga Marshall di Bakulan. 

Berbekal informasi dari Hans Boers, saya menyimpulkan bahwa keberadaan kerkop Bakulan berhubungan erat dengan wabah pes di Boyolali. Banyak orang Belanda yang tinggal di Jawa saat itu menjadi korban.

Di tengah memotret kerkop Bakulan, sebuah pertanyaan muncul dan belum terjawab hingga saat ini, yaitu keberadaan makam kedua orang tuanya. Walaupun demikian setiap tahun makam Jan dan Johanna Marshall turut dibersihkan oleh warga ketika menggelar sadranan jelang puasa. Tradisi yang perlu dicontoh untuk kerkop lain di Indonesia.

Jan Marshall dan Johanna Marshall, siapa pun kalian, rust in vrede broer en zus. Beristirahatlah dengan tenang, kakak dan adik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Leave a Comment