Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan panel ilmiah antarpemerintah di bawah United Nations, perempuan memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan dunia. Dalam data FAO, badan pangan dunia, perempuan memproduksi lebih dari 50% kebutuhan pangan dunia. Andil besar itu berawal dari lingkaran terkecil, yaitu keluarga. Pembentukan pola konsumsi keluarga pun berlanjut ke tingkat komunitas maupun pengembangan usaha pangan lokal.
Hasil kajian Pusat Studi Wanita UGM tahun 2010 memperkuat hal itu. Perempuan bahkan mempunyai peran sentral dalam melakukan konservasi alam. Terutama berkaitan dengan lingkungan sekitar dan di daerah sumber pangan yang dikerjakan. Peran ganda di ranah domestik maupun publik menjadi faktor yang signifikan dalam upaya memenuhi dan memastikan ketersediaan dan ketahanan pangan.
Di satu sisi, dilema mengadang di depan mata. Laporan jurnal Nature Food tahun 2021 menyebut sektor pangan juga memiliki kontribusi sebesar 35 persen terhadap emisi global. Namun, perubahan iklim ekstrem turut mengancam. Climate Change 2023: Synthesis Report menyatakan bahwa peningkatan laju krisis iklim dapat dan telah mengurangi ketahanan pangan serta memengaruhi ketersediaan air.
Sebagai bentuk langkah kecil untuk meningkatkan kesadaran akan isu tersebut, dalam rangka meramaikan rangkaian #RamadanBarengTelusuRI serta merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023, TelusuRI menyelenggarakan seminar daring pada 15 April 2023, pukul 15.00-16.30 WIB. Berkolaborasi dengan Kalara Borneo dan SayaPejalanBijak, webinar kali ini mengangkat tema “Perempuan dan Pangan Lokal”.
Perempuan Lebih Jeli Melihat Potensi Pangan Lokal
Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Novrisa Briliantina, TelusuRI mengundang tiga narasumber: Wida Winarno (Co-Founder Indonesian Tempe Movement), Yohana Tamara (Co-Founder Kalara Borneo), dan Didi Kaspi Kasim (Editor in Chief National Geographic Indonesia).
Sesi pertama memberikan kesempatan untuk Didi Kasim. Dari rumahnya di Jakarta, ia berbagi informasi tentang ekspedisi Saya Pejalan Bijak bersama National Geographic Indonesia. Pria berkacamata itu baru saja pulang dari perjalanan menyusuri kawasan Sausapor, Kabupaten Tambrauw hingga Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papu Barat.
“Kalau melihat perempuan, alam, dan lingkungan, saya pikir tidak ada cerita terbaik yang bisa kita dapatkan selain dari Papua. Mama-mama Papua adalah figur yang mampu menjaga komunitasnya dari perubahan teknologi dan perubahan zaman. Bagi mereka, alam adalah ibu dari semuanya. Sosok ibulah yang hari ini menjaga keutuhan masyarakat,” tutur Didi membuka cerita.
Salah satu tujuan ekspedisi tersebut adalah menyoroti sebuah acara bernama Sasi. Semacam acara kesepakatan warga antarkampung. Para mama menyepakati bahwa mereka tidak akan mengambil apa pun dari laut selama November-April. Khususnya lobster, teripang, dan oyster (tiram). Mereka percaya bahwa saat itulah laut menyembuhkan dirinya sendiri.
“Cerita-cerita seperti itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam roda perubahan dan kebaikan,” tegas Didi.
Bergeser ke Bogor, Wida Winarno menceritakan perjalanan terbentuknya Indonesian Tempe Movement. Sebuah organisasi nonprofit yang melihat potensi besar dari tempe dari sisi ilmiah dan nilai ekonomis, yang selama ini sebagian orang memandang sebelah mata. Menurut Wida, meskipun orang Indonesia lebih gemar makan tempe dari kedelai, sebenarnya masih banyak jenis kacang-kacangan lain yang dapat “ditempekan”.
“Dari sisi ilmu pengetahuan, tempe baik untuk dipromosikan. Tempe adalah produk asli milik bangsa dan memiliki potensi menyelesaikan beberapa masalah gizi dan lingkungan yang dialami Indonesia,” jelas Wida.
Indonesia Tempe Movement juga sangat memerhatikan keterlibatan perempuan. “Kami telah berkolaborasi dengan 14 negara dengan segudang aktivitas yang banyak menggerakkan perempuan.. Mulai dari edukasi hingga workshop pembuatan tempe, menceritakan hal-hal baik dari tempe yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan,” tambahnya.
Peran Perempuan terhadap Ketahanan Pangan Lokal
Yohana Tamara dari Pontianak mengungkapkan hal senada tatkala mengembangkan Kalara (Kalimantan Lokal Karya) Borneo. Sebuah merek yang berfokus mengolah hasil alam hutan non-kayu khas Kalimantan menjadi produk berkualitas.
Ara—panggilan akrabnya—mendorong hilirisasi produk mentah menjadi lebih bernilai ekonomis dan berkelanjutan. Kalara adalah jalan perjuangan atas keresahan Ara terhadap potensi komoditas hutan lokal yang kerap terbuang sia-sia.
Contoh saja buah asam maram. Buah yang mirip salak dan mampu tumbuh sepanjang tahun di lahan gambut. Dari semula hanya jadi bahan olahan rujak, Ara menyulapnya menjadi produk turunan berupa sirup maram. Selain maram, tersedia pula produk olahan gula aren dan kakao (cokelat). Hal menarik adalah tulang punggung utama proses hilirisasi ini adalah perempuan.
“Di Kalimantan, masyarakat adat yang berperan dalam keseharian dan pangan lokal, lalu meneruskan tradisi-tradisi setempat kebanyakan perempuan. Mulai dari mencari, mengumpulkan buah maram, sampai membantu pengolahan adalah ibu-ibu dan anak perempuannya,” tutur Ara.
Proses perenungan panjang dan membaca banyak referensi membawa Wida pada sebuah kesimpulan: peran perempuan sangat besar untuk menjaga ketahanan pangan. Kuncinya adalah mencerdaskan perempuan sejak dini. “Kalau mau punya bangsa yang isinya orang-orang pintar, maka kita harus membuat perempuan pintar supaya generasi berikutnya pintar.”
Wida juga menambahkan bahwa ketahanan pangan di lingkup keluarga sejatinya sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Kecerdasan dalam mengonsumsi bahan pangan yang baik untuk anak bermula dari kualitas ASI yang diberikan.
“Peran perempuan sangat krusial di tatanan pangan lokal kita. Kalau bicara way of life, peran ibu adalah peran kunci,” kata Didi mendukung pernyataan Wida.
Ia mencontohkan kehidupan di pesisir Papua. Jika sang bapak pergi melaut, maka yang menjaga kebutuhan keseharian di rumah adalah perempuan atau ibu. Para mama lebih banyak menceritakan soal melestarikan tradisi dan sejarah leluhur. “Mereka adalah orang yang memiliki memori kolektif sangat baik, mengingatnya, dan menerapkannya dalam kehidupan sampai hari ini.”
Menjaga Pangan Lokal untuk Antisipasi Krisis Iklim dan Ledakan Populasi
Iklim nyata-nyata telah berubah. Dampak perubahan iklim ekstrem yang terjadi begitu terasa, khususnya di sektor produksi pangan. Namun, kekayaan khasanah pangan lokal yang kita miliki menumbuhkan optimisme. Kita belum benar-benar terlambat untuk selangkah lebih maju menjaga keberlangsungan pangan lokal..
“Sebisa mungkin mempertahankan pangan-pangan dari tumbuhan yang sudah ada saat ini. Jangan sampai punah. Jika hilang, apalagi yang bisa kita banggakan? Jangan seperti buah asam maram yang sebelumnya banyak terbuang percuma,” Ara mengingatkan, “penting sekali buat generasi mendatang lebih memerhatikan dan mengedukasi diri, agar lebih menggali dan mengembangkan pangan-pangan lokal.”
Tak terkecuali dengan tempe. Wida meyakinkan kita bahwa produksi tempe, dari bahan kacang-kacangan jenis apa pun, akan menghasilkan protein menjadi berlipat. “Tempe jauh lebih efisien dalam menghasilkan protein dibandingkan pangan hewani,” tegasnya, “dan minim jejak karbon di alam.”
Sebagai penutup diskusi, Didi mengingatkan potensi ancaman baru yang harus kita antisipasi cepat. Saat ini kita mulai memasuki era delapan milyar populasi manusia. Artinya, penyerobotan lahan oleh manusia akan sangat besar. Menurut Didi, hal itu bisa menjadi bentuk pandemi baru. “Karena kita harus berpikir cara memberi makan delapan milyar manusia.”
Didi menekankan pentingnya menjaga adat dan tradisi lokal yang sangat kuat dan mengakar pada masyarakat kita. Selanjutnya berpikir cara membuat adat dan tradisi tersebut bisa beradaptasi dengan perubahan zaman. “Kita punya kok bekalnya. Tinggal mau atau tidak untuk mereplikasi dan menyuarakan ulang cerita itu, sehingga bergulir dan menjadi pegangan bagi seluruh tatanan masyarakat.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.