Saat akan berangkat olahraga pagi, aku melihat ada sebuah bazar buku di depan Perpustakaan Daerah Pacitan. Aku pun memutuskan singgah ke sana untuk melihat-lihat koleksi buku yang ada. Seorang laki-laki yang bertugas menjadi penjaga sekaligus kasir menjelaskan kepadaku bahwa bazar buku ini menjadi salah satu rangkaian acara HUT Kabupaten Pacitan yang akan digelar minggu depan.
Semua koleksi buku di sini merupakan produksi dari penerbit sekunder Basa Basi yang berasal dari Yogyakarta. Beberapa koleksi buku pelajaran, agama, filsafat, cerita anak-anak, serta beberapa buku preloved dapat aku beli dengan harga yang terjangkau.
Usai keliling dan memilih satu buku karya John Steinbeck berjudul Padang Rumput Firdaus, dengan baju olahraga dan tas totebag, aku melangkah masuk ke Perpustakaan Daerah Pacitan. Seorang petugas perempuan tiba-tiba menghampiriku. Ia memberikan informasi bahwa, para penulis lepas bisa bekerja di sini. “Untuk yang ingin Work From Anywhere (WFA) bisa di atas, Mbak. Di sana sudah tersedia meja, kursi, dan Wi-Fi.”
Kami jalan ke arah papan yang ternyata isinya adalah buku-buku para penulis Pacitan. Karena saat itu aku baru satu minggu berada di Pacitan, tentu rasa penasaran dengan koleksi buku serta kegiatan literasi di sini makin membuncah.
Aku sempat menanyakan tentang kegiatan donasi buku. Ia lalu memanggil Bapak Joko, Kabid Pelayanan, yang kemudian menjelaskan padaku tentang proses donasi buku. “Untuk menjangkau sekolah dan juga perpustakaan di desa, kami ada kegiatan perpustakaan keliling menggunakan mobil serta beberapa sepeda motor, Mbak.” jelasnya.
Setelah membaca salah satu buku puisi milik Dela Prastisia—seorang penulis asal Pacitan—berjudul Suara-Suara Melankolia, aku kemudian berkeliling perpustakaan. Ternyata, mereka sedang menyiapkan sebuah ruangan untuk pameran keris dan pisau tradisional. Di sinilah aku bertemu dengan Pak Rudhi Prasetyo yang pada akhirnya bercerita panjang lebar tentang salah satu keris buatannya.
Dari cerita beliau, aku yang memang sudah “luntur” Jawa-nya ini bahkan baru tahu bahwa Nyi Roro Kidul ternyata memiliki anak. Tidak hanya itu, aku juga tidak mengetahui kerajaan dan kesultanan yang dulu ada di Pacitan. Ia pun lalu menceritakan padaku, tentang banyak hal mengenai Pacitan. Ceritanya lalu berujung pada proses pembuatan keris-keris yang akan dipamerkan di sana, mulai dari dari mana bahan keris tersebut berasal hingga makna di balik ukir-ukiran pada setiap kerisnya.
Sayangnya, aku tak bisa mengingat semua cerita-cerita itu, saking banyaknya.
Tak cukup dengan filosofi keris, Pak Rudhi juga memberiku sebuah pengetahuan baru tentang makna konservasi. Topik yang satu ini masih bisa kuingat dengan jelas karena tidak menggunakan nama-nama orang zaman dahulu yang terdengar asing di telinga.
Suatu hari saat Nyi Roro Kidul melakukan kesepakatan dengan seorang Kyai, Nyi Roro Kidul berpesan agar masyarakat tidak mengambil ataupun memakan suatu jenis hiu yang spesifik. Bermula dari sebuah cerita rakyat, hingga kini masyarakat khususnya komunitas nelayan yang ada di Pacitan masih menghormati perjanjian tersebut.
Jika sebelumnya aku memaknai konservasi hanya dalam bentuk kebun raya, dari cerita Pak Rudhi aku mendapat sudut pandang baru seperti betapa pentingnya membangun sebuah cerita. Hal yang tampak sederhana seperti cerita rakyat tersebut, pada nyatanya malah berdampak melindungi spesies hiu yang dimaksud.
***
Selang satu minggu kemudian, pada hari Sabtu 18 Februari 2023, alun-alun tampak ramai bahkan dari pagi. Banyak pertunjukan drumband dari sekolah-sekolah yang menampilkan karya mereka khusus untuk memeriahkan HUT Pacitan Ke-278.
Ada pula dua panggung yang tersebar sudut di Alun-alun Pacitan. Saat berada di sekitar panggung pertama, aku melihat ada penampilan reog dari anak kelas satu SD yang berasal dari anggota tapak suci SD Insan Cendekia.
Tidak mungkin ada kegiatan tanpa makanan. Jajanan kuliner dapat ditemukan di sekitar alun-alun, khususnya pada sore harinya mulai pukul 15.30 hingga malam, sebelum hujan turun tentunya. Bahkan, ada juga sebuah tempat khusus yang menyajikan durian di Gedung Gasibu Swadaya Pacitan.
Dari kejauhan, aku mendengar sedikit keributan. Ada beberapa penjungung yang “protes” karena pilihan durian sangat sedikit, si empunya lapak pun berbicara dengan mikrofon memberi pengumuman bahwa ada dua truk lagi yang akan datang namun sedang terkendala macet akibat longsor di Tambakrejo.
Menjelang sore, aku duduk di taman alun-alun sambil mendengarkan musik dari salah satu band anak-anak SMA. Mereka manggung di panggung pertama. Mendengarkan live music, matahari sore serta udara segar, lalu menikmati hidangan nasi bakar yang aku beli seharga Rp5.000 cukup untuk membuat seorang introvert sepertiku merasakan bahagia.
Meski perhelatan ini terbilang besar, aku perhatikan kebersihan lingkungan alun-alun terjaga. Tak ada sampah berserakan di sepanjang jalan hingga taman, padahal ajang ini ramai pengunjung. Salut untuk para petugas kebersihan, dan tentu saja untuk masyarakat yang memiliki kesadaran akan kebersihan.
Pas aku jalan, tidak sengaja bertemu dengan seorang anak yang sedang membaca label pada tempat sampah sebelum akhirnya memasukkan sampah plastik ke dalam tempat sampah anorganik berwarna kuning. Adegan ini cukup mengejutkanku.
Meskipun aku baru tinggal sebentar di Pacitan, hanya melihat kota ini dari satu ajang besarnya yang mempertemukan dengan beberapa orang, aku menyadari satu hal. Mungkin yang orang katakan memang benar, menata tradisi serta manusia suatu daerah yang kecil itu relatif lebih mudah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.