Embusan angin pagi menggoyangkan sebagian ranting pepohonan yang berjejer di Jalan Gedung Empat dan Jalan Gatot Subroto, Kota Cimahi, Sabtu (18/2/2023). Sebuah angkot berwarna hijau dengan polet putih di body-nya meluncur dari Jalan Gatot Subroto menuju Jalan Gedung Empat. Angkot itu persis berhenti di tepi taman kecil yang jadi batas pemisah kedua jalan untuk menurunkan seorang penumpang. Sejurus kemudian, angkot itu melaju meneruskan perjalanannya ke arah Cimahi Mall.
Jalan Gedung Empat melintang dari timur ke barat. Dinamai Gedung Empat, karena dulu sekali, bangunan yang berada di jalan ini hanya terdiri dari empat bangunan. Dari Jalan Gedung Empat, jika kita lurus ke barat dan kemudian berbelok ke kiri, sebelum Taman Segitiga, maka kita bakal bersua dengan Jalan Gedung Delapan, yang sekarang lebih dikenal sebagai Jalan Sriwijaya Raya.
Pagi itu, perjalanan saya dimulai dari sisi selatan Jalan Gatot Subroto, yang di sepanjang kiri dan kanannya berjejer kompleks instansi militer.
Di antara perpotongan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Gedung Empat, saya melayangkan pandangan ke sisi utara. Mata saya lantas tertuju pada sebuah bis surat, yang berada di trotoar, persis di depan markas Sub-detasemen Polisi Militer Cimahi.
Saya seberangi Jalan Gedung Empat agar saya dapat lebih dekat melihat bis surat itu. Dari kedekatan, saya amati bis surat tersebut. Tampak masih sangat kokoh, cuma terlihat sedikit kusam. Ada celah di bagian samping. Masing-masing di kanan dan di kiri. Celah ini adalah tempat orang memasukkan surat, kartu pos atau warkat pos yang hendak mereka kirimkan ke alamat tujuan.
Di bagian atas bis surat tertera tulisan: Diepenbrock & Reigers, Ulft 1915. Dari penelusuran daring, saya ketahui bahwa Diepenbrock & Reigers adalah sebuah perusahaan besi dan baja yang ada di Ulft, Gelderland, Belanda. Angka 1915 di bis surat itu kemungkinan menunjukkan bahwa bis surat tersebut bikinan tahun 1915. Jika ini benar, maka usia bis surat itu sekarang adalah 108 tahun.
Diepenbrock & Reigers didirikan pada tahun 1831 oleh Bernard Diepenbrock dan seorang keponakannya, Theodor Reigers. Keduanya berasal dari Bocholt, Jerman, yang kemudian bermigrasi ke Belanda. Nama resmi perusahaan yang mereka dirikan adalah Diepenbrock en Reigers te Ulft, disingkat DRU.
Hingga hari ini, DRU masih berdiri. Perusahaan ini kini fokus memproduksi tungku api untuk penghangat ruangan, mulai dari tungku gas, tungku kayu maupun tungku listrik.
Bagian dari Sejarah
Kembali lagi ke soal bis surat, entah berapa banyak bis surat buatan Diepenbrock & Reigers yang masih terpajang di tempat-tempat publik di kota-kota kita. Di Kota Cimahi sendiri, sepanjang ingatan saya, model bis surat seperti yang berada di Jalan Gedung Empat itu, terpajang pula di Jalan Jenderal Sudirman, di sisi utara Taman Meriam. Lalu terpajang pula di depan Alun-alun Kota Cimahi, selain—tentu saja—di depan Kantor Pos Cimahi.
Untuk lebih memastikan hal tersebut, saya sambangi tempat-tempat itu. Di depan Kantor Pos Cimahi, bis surat dimaksud masih tampak, dan berada persis di depan pintu masuk kantor pos. Adapun di Jalan Jenderal Sudirman dan di depan Alun-alun Cimahi, saya tidak lagi melihat keberadaan bis surat.
Bagi mereka yang tergolong “manusia lama”, bis surat menjadi bagian dari sejarah penting dalam membangun dan menjalin komunikasi serta relasi. Beragam kabar dan urusan disampaikan melalui surat. Mulai dari urusan serius seperti pertunangan hingga urusan ecek-ecek seperti me-request lagu dangdut serta kirim-kirim salam lewat stasiun radio AM kesayangan.
Bis surat menjadi sarana dan bagian dari rantai komunikasi yang menghubungkan antara pengirim surat dan si penerima surat. Para pengirim surat yang ogah datang ke kantor pos karena jaraknya yang jauh dari tempat tinggal atau tak punya waktu ke kantor pos, cukup memasukkan suratnya—yang telah berprangko dan beralamat lengkap—ke bis surat terdekat. Petugas pos nanti mengambil surat-surat yang terkumpul di bis surat. Lazimnya, setiap hari, ada 3-4 kali jadwal pengambilan surat dari bis surat oleh petugas pos.
Di masa lalu, sejumlah anak bandel terkadang suka iseng memasukkan lipatan kertas bekas atau robekan koran untuk dimasukkan ke bis surat.
Di momen menjelang Hari Raya Lebaran dan Hari Raya Natal, bis surat umumnya dipenuhi oleh kartu-kartu ucapan hari raya yang dikirim ke berbagai alamat tujuan. Menerima ucapan hari raya, atau ucapan ulang tahun, lewat kartu yang dikirim melalui jasa pos adalah momen yang kemungkinan jarang sekali dialami oleh orang-orang zaman now.
Bagi sebagian orang di masa silam, menanti-nanti Pak Pos lewat dan singgah untuk menyampaikan sepucuk surat atau sepucuk kartu pos bisa dibilang menjadi bagian dari ritual kehidupan. Ritual seperti ini mungkin saja telah musnah seiring dengan fakta semua orang berkabar via gawai.
Tak ada lagi momen-momen di mana orang menyiapkan kertas surat, menulisinya dengan tinta, melipatnya, bahkan menyemprotnya dengan minyak wangi khusus, memasukkannya ke dalam amplop, menempelkan prangkonya, untuk kemudian membawanya ke kantor pos atau memasukkannya ke bis surat.
Kini kabar apapun dapat kita kirim dan kita terima dengan seketika. Istilah kerennya, real time. Tak perlu menunggu berhari-hari, atau berjam-jam. Hanya dalam hitungan detik, kabar apapun bisa kita sampaikan melalui gawai kita.
Secara fungsional, bis surat seperti yang saya temui di Jalan Gedung Empat, Kota Cimahi, sama sekali tak ada artinya lagi bagi manusia-manusia era digital sekarang ini. Meski demikian, tak ada salahnya kita merawat dan menjaganya agar tapak sejarah peradaban kita tidak sepenuhnya hilang dikubur sang waktu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.