Bertemu teman lama selalu membuat cerita lampau terungkit kembali. Kepulangan mereka ke kampung halaman memunculkan rangkaian peristiwa di masa lalu yang nikmat untuk didongengkan. Mereka ada yang merantau ke Kalimantan Utara dan Sulawesi Tenggara, sebagian bekerja, sebagian lagi sekolah. Setelah bercerita tentang pengalaman masing-masing di tempat perantauan, kami hiasi percakapan dengan mengungkit kenangan masa lalu. Mungkinkah kisah kami di masa lalu berkontribusi bagi semesta? Pikirku. Sebab peradaban semesta ini tersusun dari sekumpulan kisah penghuninya.
Dari pertemuan itu kami merencanakan sebuah perjalanan. Sebagai anak rantau, kenangan masa lalu merupakan candu yang gemar melahirkan rindu untuk pulang. Kita tidak bisa menciptakan kenangan sama di masa lalu, tapi dengan orang yang sama kita dapat mengukir kenangan baru untuk di kenang di hari esok. Bukankah manusia lebih kuat karena punya banyak kenangan?
Kami sepakat pergi berkemah di Hutan Pinus Bulu Tanah. Lokasinya berada di Kecamatan Lapri Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Masih di kabupaten tempat kelahiran kami. Kami berangkat berdelapan orang dengan mengendarai motor. Dari kampung, butuh waktu tempuh sekitar tiga jam untuk sampai di sana, durasi yang sama ketika kami berangkat dari Makassar.
“Kita beli protein di mini market saja ya, biar saya yang tangkis.” Ucok menyarangkan.
“Ok, biar saya tambah!” Sarmi menimpali saran Ucok.
Kami membawa bahan makanan cukup lengkap. Pagi sebelum berangkat, kami ke pasar membeli sayuran dan bumbu masak. Hutan pinus yang kami datangi tidak membutuhkan perjalanan kaki yang melelahkan. Meskipun berada di ketinggian, namun motor sampai tepat pinggir lokasi.
Langit mendung mewarnai perjalanan kami, tapi kemarau di awal tahun tak kunjung meruntuhkan hujan ke tanah. Perjalanan dari kampung menembus kampung lain, menampakkan rumah panggung khas Bugis yang berjejeran mengikuti liukan jalan. Di Kabupaten Bone mayoritas masyarakat masih menghuni rumah panggung, utamanya di pedesaan. Meski arus pembangunan rumah beton semakin populer, namun kebanyakan masyarakat Bugis memilih mempertahankan rumah panggung mereka.
Menelusuri pedesaan, pemandangan sawah menjadi cinderamata yang selalu ada. Rute perbukitan yang meliuk-liuk, sampingnya sawah membentang luas. Serasa berjalan di atas tangga menapaki setiap larik pematang sawah. Hijau muda menghiasi, petani baru saja menanam padi meski hanya mengandalkan air hujan. Panorama indah itu membuat saya sedikit melontar doa, agar kemarau tidaklah panjang.
Kami tiba sekitar pukul 14.00 siang lalu membayar registrasi Rp15.000/orang yang sudah termasuk biaya parkir. Angin kemarau berhembus di ketinggian, pohon pinus menari melambai menyambut kedatangan kami. Sejuk pun mulai terasa, tajam sinar matahari menyelinap di antara dedaunan pinus tak lagi terasa panas. Sebelum berjalan, kami ibadah kecil-kecilan dengan berjamaah membaca aturan di sana. Sebagai pengunjung, siapapun itu dan ke tempat mana pun itu membaca aturan adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan. Agar tidak merusak, agar tau batas, agar tetap lestari.
Area Hutan Pinus Bulu Tanah terbagi menjadi beberapa area. Ada area khusus untuk camping dan juga area piknik dengan menyediakan deretan gazebo dan vila yang sedang dibangun. Di sana sudah ada musala dan WC umum, tidak repot ketika ingin buang hajat, beribadah atau pun mencari sumber air.
“Snack mana? Saya lapar.” Andi tidak sarapan sebelum berangkat, jadi dia kelaparan.
Tas carrier kami bongkar, tenda kami dirikan. Ucok keliling cari kayu bakar untuk api unggun, sementara para perempuan merapikan barang. Andi berdiri menenteng snack-nya sambil menunjuk-nunjuk dan mengoreksi semua apa yang kami kerjakan. Dia sudah ibarat mandor kami, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Ah, dia memang kacau.
“Panaskan air deh, kita ngopi dulu,” Setelah tenda berdiri, saya ajak yang lain ngopi.
“Nanti aja ngopi-nya, kita masak nasi saja. Saya lapar.” Andi kembali mengajukan protes. Meski dia laki-laki tapi dia paling cerewet di antara kami.
Kami memasak menuruti kemauan Andi, saya bertugas sebagai chef utama. Pengalaman hidup nge-kost menyisihkan sedikit kemampuan dalam memasak. Kami memasak di samping unggun dekat tenda sambil menyeruput kopi. Biasanya tempat ini selalu dibaluti kabut tebal, tapi kemarau buatnyat menipis berangin sejuk.
Hari semakin gelap, sore semakin dingin. Sisa kopi sehabis makan kami kembali seruput dekat api unggun. Andi bersama tiga teman lain pergi memantau area sekitar mencari tempat foto yang bagus. Saya, Ucok, Sarmi, dan Meri memilih duduk bercerita samping tenda.
“Kenapa ya seringkali rencana tidak sesuai dengan apa yang terjadi?” Sarmi tiba-tiba bertanya sambil memandangi api unggung.
“Tak ada yang salah Bro, itu normal. Salah satu kekurangan kita sebagai manusia adalah tidak bisa menentukan hasil. Rencana yang tersusun rapi tidak menjamin hasil sesuai keinginan. Hasil dalam bayangan kita setelah menyusun rencana hanyalah prediksi yang tak mutlak. Sesuatu di luar diri kita tidak bisa dikendalikan, itu mempengaruhi rencana kita bahkan mempengaruhi sifat manusia. Bukankah tak ada kondisi manusia yang permanen? Kita tak tahu akan jadi apa kita 5 menit kemudian.”
“Perihal hasil Bro, saya sering dengar orang. Kalau berusaha sambil berdoa itu hasilnya lebih banyak. Rumus itu saya pakai, tapi terkadang teman saya tak pernah saya lihat beribadah justru hasil kerjanya lebih banyak ketimbang saya.” Ucok menanggapi jawaban saya dengan pertanyaan.
“Bro, yang mana lebih berkah? Hasil sedikit tapi diperoleh karena usaha dan doa atau hasil banyak tapi diperoleh hanya karena usaha?”
Ucok terdiam mengamati pilihan yang saya berikan.
“Keberkahan hasil tidak bergantung dari hasil yang tampak. Hanya doa yang akan terkabul dan hanya usaha yang akan menuai hasil. Mendoakan usaha yang kita kerjakan, sesuatu yang baik akan Tuhan turunkan. Sesuatu itu tidak hanya tentang apa yang tampak, bisa saja melalui sesuatu yang menyenangkan kau dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Lagi pula, buat apa kita jadikan hasil orang sebagai standar hasil yang ingin kita dapatkan? Itu tidak berguna, Bro. Usaha yang berbeda menuai hasil berbeda. Tugas kita Bro hanya berusaha semaksimal mungkin hari ini. Selebihnya mari kita beri kesempatan semesta bekerja.”
Ucok sambil mengorek-ngorek api unggun tersenyum mendengar celoteh ku.
“Saya terkadang stre. Tugas numpuk, panggilan menari sana-sini, mana lagi ngajar anak kecil menari yang butuh kesabaran ekstra. Terkadang kepala saya terasa ingin pecah”. Sarmi kembali menceritakan keresahannya.
“Hal yang kau lakukan itu adalah hal yang kau senangi bukan? Dan itu juga pilihanmu bukan?”
“Ia sih, itu pilihan ku dan hal yang buat ku senang.” Jawabnya kembali.
“Terus kenapa kau merasa stres melakukan hal-hal yang kau senangi? Bukan kah melakukan hal yang kita senangi seharusnya buat kita bahagia. Dan bukankah berjuang di jalur pilihan kita sendiri merupakan sesuatu yang menyenangkan?”
Sarmi ngangguk-ngangguk mendengar pilihan yang saya lontarkan. Meri yang sedari tadi duduk dekat api unggun hanya menyimak.
Gemuruh suara angin semakin keras terdengar, batang pinus saling bertabrakan dibuatnya. Ranting kering jatuh terhempas, buah pinus sesekali menghantam tenda kami. Panas kopi pun tak mampu bertahan lama. Di hutan pinus ini selain suara angin, serangga dan batang kayu yang saling berciuman, suara curhatan teman ku juga sangat menyenangkan. Curhatan mereka saya jawab seakan saya paling benar dan paling bijak. Ah kacau, saya cengengesan dibuatnya.
Saya sering dengar, orang memberi saran ke orang lain namun tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri itu tidaklah bijak. Tidak papa pikir ku. Kebijaksanaan bagiku hanya punya satu arah yakni perkataan dan tindakan mengarah pada sesuatu yang bisa menyejukkan orang-orang sekitar kita. Jawaban ku bukan paling benar, bukan pula paling bijak. Tapi setidaknya dengan jawaban itu bisa membuat saya tertawa dengan teman saya tanpa ada beban.
Bintang mulai kelihatan, artinya siang telah berganti malam. Terang sinarnya ke bumi menampakkan siluet pinus bergoyang menghitam. Andi dan yang lain sudah kembali ke tenda. Isnal tertawa menggema, suaranya paling keras di antara kami. Dia gampang sekali tertawa. Bukan cuma itu, dia hobi teriak-teriak tidak jelas. Tapi itu menyenangkan sebab teriakannya selalu berujung tawa yang memecah keheningan.
Suasana malam Hutan Pinus Bulu Tanah cukup dingin. Angin kencang berkabut tipis memaksa kami memakai pakaian hangat. Kami lalu makan bersama dengan lahap. Malam kami tuntaskan dengan senda gurau saling hujat. Andi yang terus protes bertengkar dengan Meri. Isnal teriak-teriak dengan Ucok, yang lain sakit perut karena terlalu sering tertawa. Kami puas cerita dan teriak apa saja sebab cuma kami yang sana hari itu. Hutan pinus ini hanya ramai di saat akhir pekan dan ada acara saja.
Tumpukan kayu bakar hampir habis, baranya menghangatkan kami sampai pagi. Semua bangun terbangun cukup pagi, memanaskan air lalu ngopi. Mentari menetas perlahan menyinari, angin masih tak karuan meniup kami. Sembari yang lain sibuk foto-foto sekitaran tenda, saya siapkan sarapan. Andi dekat saya sibuk berkomentar, pakai bumbu ini, pakai bumbu itu. Sih, cerewet kembali bertingkah.
“Setelah semua kembali ke perantauan, kapan lagi ya kita punya waktu ngumpul begini?” Sarmi mengeluarkan celotehannya. Ia adalah orang yang paling sering mengkhawatirkan kalau momen indah seperti hari ini tak bisa terulang.
“Tenang, lah. Tertawa saja dulu. Kesempatan akan selalu ada. Kita pasti akan ngumpul lagi.”
Memang, usah hari ini, teman-temanku ini akan kembali merantau. Mungkin jarak kami akan jauh, tetapi itu tak mengapa, bukan?
Pohon pinus sekeliling kami tumbuh menjulang karena mematahkan rantingnya, pinus dekat kami kuat dan kokoh karena menjatuhkan buahnya. Kita pun akan seperti itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.