IntervalPilihan Editor

Slow Travel: Melambatkan Perjalanan di Dunia yang Serba Cepat

Slow travel atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “perjalanan santai” merupakan sebuah tren pariwisata yang mengedepankan kualitas perjalanan yang lebih intim daripada sekedar mengecap tempat untuk “menjadi tropi” atau dipamerkan di media sosial. 


Bagi saya, perjalanan adalah soal keintiman dengan tujuan. Semakin intim dengan tempat yang saya tuju, semakin saya memaknai perjalanan tersebut dengan kata “sukses”. Sukses dalam artian saya menjadi terikat secara batin dengan tempat tersebut; orang-orangnya, kebiasaannya, bahkan sekedar warung nasi di pinggir jalan. Perjalanan dengan keintiman dengan tempat tujuan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan slow travel. Saya baru tahu istilah ini sekitar tiga tahun belakangan ini, dan saya coba mencari tahu bagaimana ahli mendefinisikannya.

Dickinson pada Slow Travel and Tourism mencoba mendefinisikan slow travel sebagai kerangka kerja konseptual yang menawarkan konseptual yang muncul menawarkan alternatif untuk perjalanan udara dan mobil, di mana orang melakukan bepergian ke tujuan lebih lambat melalui darat, tinggal lebih lama, dan lebih sedikit bepergian.

Peter dalam Time, Innovation and Mobilities: Travels in Technological Cultures, merumuskan tiga pilar yang dimiliki slow tourism yang membedakannya dengan pariwisata pada umumnya: melakukan sesuatu dengan kecepatan yang tepat, mengubah sikap terhadap waktu dan penggunaannya, dan memprioritaskan kualitas di atas kuantitas.

Basis dari slow travel awalnya adalah menentang segala kecepatan—yang sebenarnya terjadi dalam semua hal di dunia modern—yang terjadi di dunia perjalanan yang mengakibatkan kurangnya pemaknaan pada suatu tempat, berujung pada wisata kilat yang hanya menyisakan lelah dan letih. Slow travel sebaliknya, mencoba memberikan pejalan waktu untuk memahami, mengerti, merasa, dan tentu saja bersenang-senang dalam tempat yang acapkali dilabeli sebagai “komoditi wisata”.

Slow Travel
Warga Suku Bajo menggunakan perahu sebagai alat transportasi sehari-hari di Kepulauan Togean via TEMPO/Sakti S. Karuru

Apakah harus se-slow itu?

Kalau kita menelaah secara harfiah, slow travel memang identik dengan lamban, santai, tidak terburu-buru. Namun seperti apakah slow-nya itu? Apakah berarti kita harus menghabiskan waktu yang lebih lama ketika bepergian? Atau kita harus kenal semua penjual lokal yang ada di sana?

Jawabannya iya. Slow travel mewajibkan kita menikmati apa yang kita dapat dengan sepenuh hati. Artinya, jangan terlalu ngoyo untuk dapat semuanya dalam satu suapan. Berbicaralah dengan warga sekitar. Cobalah jajanan pasar yang murah meriah. Pergilah ke toko roti setempat. Kesempatan berinteraksi dengan hal-hal terdekat inilah yang akan menjadikan perjalanan lebih terasa dalam dibanding hanya melihat-lihat, lalu mengemas barang dan pergi. Hal ini dijelaskan dalam Slow Tourism Experiences and Mobilities, dapat menumbuhkan manfaat di kedua sisi dalam hospitality, baik untuk turis maupun penduduk lokal. 

Prioritas alat transportasi dalam slow travel adalah “yang paling lambat” yang akan digunakan, sebut saja jalan kaki, sepeda, bus, kereta api, hingga mobil. Prinsip yang dipegang para penganut slow traveler berbanding lurus dengan manfaatnya terhadap lingkungan. Para penganut mazhab ini lebih menyukai penggunaan transportasi yang rendah karbon dan menolak transportasi udara sebagai perwakilan dari moda transportasi tidak ramah lingkungan, atau menggunakannya hanya jika terpaksa dan seminimal mungkin (Kostilnikova, K. et al, 2022).

Janet Dickinson dan Les Lumsdon meringkas nilai-nilai yang terkandung dalam slow travel sebagai berikut: lambat dalam artian berkualitas, memperlambat secara fisik dan menikmati apa yang ditawarkan, pengalaman yang berkualitas, makna dan keterlibatan, selaras dengan ekologi dan keberagaman.

Dari ringkasan yang mereka berikan, kita dapat memberikan kesimpulan bahwa slow travel adalah perjalanan yang lambat; yang artinya bisa hemat secara pengeluaran, murah dalam hal pemilihan keperluan perjalanan, lama secara waktu dan intensitas, dan ramah pada lingkungan dan budaya sekitar. Tentunya, hal ini tidak asing dan seringkali kita terapkan dalam jalan-jalan kita tanpa kita sadari.

Slow Travel
Warga Suku Bajo membersihkan rumput laut yang baru dipanen di perkampungan pesisir Teluk Bone, Kabupaten Bone via TEMPO/Fahmi Ali

Bukan untuk Semua?

Slow travel ibarat sebuah wadah yang mengampu model-model wisata lainnya. Moira, Mylonopoulos, dan Kondoudaki (2017) meletakkan apa-apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “yang diwadahi” oleh slow travel: agrotourism, ecotourism, gastronomic tourism, oenotourism, industrial heritage tourism, fishing tourism, dan lain sebagainya. Intinya, nilai-nilai yang dirumuskan dalam tatar slow tersebut dapat dibongkar pasang dan diaplikasikan pada genre wisata lainnya. Misalnya ekowisata yang mengharuskan interaksi dengan warga lokal yang lebih intens karena ada penjelasan-penjelasan yang harus diterima dalam upaya transfer pengetahuan. Intensitas inilah yang dimaknai sebagai keterkaitan yang lebih dalam dengan penduduk lokal.

Meski terkesan berjarak dengan wisatawan pada umumnya, Peter Robinson dalam Research Themes for Tourism juga mengingatkan bahwa slow tourists memiliki kecenderungan yang sama dengan tipe turis biasa, meski dalam beberapa hal saling bertentangan. Ia memberi contoh bahwa meskipun slow tourist lebih mengapresiasi budaya lokal yang mirip dengan budaya lingkungannya karena bepergiannya yang cenderung dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Tapi, simplifikasi ini kemudian ia tolak sendiri dengan mencontohkan backpacker dan volunteer tourist sebagai bagian dari slow tourists yang berjalan jauh.

Metode slow ini hanya akan mampu menjangkau wisatawan-wisatawan dengan tujuan khusus semisal para backpacker yang memang tujuannya berkelana ke suatu tempat dengan biaya serendah mungkin, para peneliti yang memang butuh waktu lama untuk merampungkan sebuah proyek, atau para pemudik yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di kampung halaman. Motivasi mereka yang berbeda-beda disatukan oleh satu hal yakni waktu yang fleksibel dan kebutuhan untuk menghemat anggaran. Jadi, slow travel memang sebuah pandangan mengenai dunia turistik yang lebih ideal, tapi tetap saja tidak untuk semua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Irsyad Saputra

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata