Berkebun di Mekko

Memulai Kebun Pertama di Mekko

by M. Irsyad Saputra

Teh panas adalah minuman yang tepat untuk menghantarkan obrolan kami bersama beberapa orang; Pak Jabar, Pak Said, dan Pak Bakri. Kebetulan Pak Bakri adalah orang Mekko yang sudah melalang buana ke berbagai tempat di Indonesia, termasuk kawasan lainnya di Asia Tenggara; Brunei Darussalam dan Malaysia.

Diskusi bersama pak Said dan pak Bakri
Diskusi bersama Pak Said dan Pak Bakri/Arah Singgah

Orang Mekko menurut Pak Bakri hanya mempunyai dua pilihan: merantau ke daerah orang untuk belajar, atau melaut seperti kebiasaan orang-orang Bajo.

“Anak muda, apalagi kalau sudah putus sekolah, ya melaut,” ujar Pak Bakri mengeluhkan kesempatan anak muda dari Mekko.

Pengalaman Pak Bakri selama merantau, membawanya pada satu kesimpulan: pertanian adalah yang paling memungkinkan dilakukan orang Bajo di Mekko untuk memperbaiki taraf hidup. Membawa orang Bajo yang berdarah laut untuk kemudian bertani? Sepertinya terdengar unik atau mustahil?

“Saya melihat dari bertani ini, penghasilannya luar biasa. Kalau ada orang yang suruh saya pilih nelayan atau petani, saya pilih menjadi petani,” ujar Pak Bakri, suaranya dengan mantap meyakinkan bahwa pilihan yang pernah ia jalani ketika di perantauan ini tidak salah lagi. Dengan bertani, hasil panen dapat diperkirakan sejak jauh-jauh hari. Sedangkan melaut tidak bisa diprediksi. Bisa banyak, bisa sedikit. Harapannya dengan bertani, setidaknya hasil panen dapat menjadi sandaran orang-orang Mekko ketika hasil laut tidak seperti yang diharapkan.

Rencana hari ini adalah kami akan membantu Pak Said untuk membuat kebun pertama di Mekko. Kebun ini mini, paling hanya tiga langkah orang dewasa. Bedengan berada tepat di bawah jendela ruang tamu dan kamar. Atas perintah Syukron, kami berempat mulai mencari tanah yang bisa dijadikan bahan dasar pupuk. Ada empat bahan dasar yang harus kami kumpulkan; tanah humus, ranting dan daun kering, arang kayu, dan kotoran hewan. Sebelumnya, kami merebus gula putih dan gula merah yang dibeli dari pasar untuk menjadi campuran yang disebut molase.

Kami melewati lapangan bola di ujung dusun untuk sampai pada tempat yang dituju. Gunung Ili Ape menjulang, diiringi embikan kambing yang sedari tadi mengiringi motor supra butut Ale yang menerabas lapangan. Di selokan depan lahan kosong itu, saya Syukron, Ale, Ayu dan Pak Said memungut tanah dengan sekop dan cangkul. Ada sekitar tujuh karung yang berhasil kami bawa ke rumah. Tidak jauh dari lahan kosong tersebut, di kandang kambing milik Pak Jabbar, kami memungut remah-remah kotoran kambing. Debu membumbung ke angkasa ketika Syukron memasukkan kotoran kambing ke dalam karung. Baunya tidak seberapa, karena sebelumnya sudah kering terpanggang matahari Mekko.

Mengambil tanah dalam parit/Arah Singgah

Orang-orang dusun tampak bingung, antara mengerti atau tidak dengan kami yang lalu lalang bak pekerja bangunan. Saya dan Ale yang mengantar karung-karung berisi tanah dan kambing, disapa warga dengan anggukan dan senyuman. Roda supra butut Ale melibas rumput dan mengusir ayam yang menghalangi jalan kami.

Sebelum matahari gugur ke peraduan, kami semua telah mencampurkan semua bahan dasar. Syukron melakukan tahap akhir dari pembuatan media tanam organik dengan menyiramkan campuran gula merah dan gula putih yang telah direbus dengan air. Untuk pemakaiannya, kami tambahkan Em4 dengan perbandingan 3 tutup botol molase dan 1 tutup botol Em4. Tanah yang telah dicampur tersebut kemudian ditutupi oleh tikar serta karung untuk mempercepat proses kesuburan tanah.

Membuat pupuk organik cair/Arah Singgah

Seusai mengolah tanah, malam harinya kami beristirahat sambil mengobrol tentang berbagai kejadian di Mekko, salah satunya angin seroja yang sempat menggemparkan bumi NTT.

“Waktu angin seroja, semuanya panik karena ada isu air naik dan tsunami,” kenang Pak Said. Angin seroja waktu itu menyebabkan curah hujan tinggi dan badai yang mengamuk tanpa ampun. Pak Said mengisahkan bagaimana kepanikan di Mekko menyebabkan orang-orang berlarian menuju ke Witihama yang lebih tinggi.

“Sekembali dari Waiwerang, saya mendapati orang-orang yang berlarian keluar dari Mekko. Ketika sampai di rumah, istri sama anak-anak saya kok udah nggak ada, eh ternyata sudah lari duluan ke arah Kalimati,” kenangnya. Kepanikan angin seroja yang berlangsung selama seminggu itu membuat Pak Said “tidur pistol” di kursi dengan pintu terbuka, jaga-jaga jika air laut pasang mendadak.

Besoknya, kami mencampurkan kembali beberapa tanah ke dalam polybag untuk menambah media tanam selain bedengan yang kami buat di bawah jendela. Biji tanaman yang sudah disemai kami pindahkan masing-masing ke dalam satu polybag.

Kami juga membuatkan Pak Bakri puluhan polybag yang sudah diisi dengan tanah campuran. Dirinya yang memang sudah lama ingin mencoba berkebun di Mekko, membulatkan tekad bersama Pak Said untuk menjadi contoh bagi orang-orang di Mekko untuk memulai kebun dari rumah.

Fahri dan Pak Said sedang membibit/Arah Singgah

Kami menaruh polybag di samping rumahnya, tepatnya di sebuah rangka rumah yang sudah tidak terpakai. Fahri, anaknya Pak Bakri yang berusia 12 tahun dengan bertelanjang kaki menyirami satu per satu polybag untuk menjaga kelembaban tanah yang sudah dicampur. Penting untuk tetap lembab, karena udara panas Mekko gampang sekali membuat tanah kering dan kehilangan unsur haranya.

“Tangan dan kakinya itu juga basah kayak kamu,” celoteh Pak Bakri sambil menunjuk anaknya, setelah sehari sebelumnya ia memperhatikan kaki saya yang berkeringat ketika memindahkan tanah ke dalam polybag.

“Anak saya ini kalau main bola, sering bawa beberapa kaus kaki buat ganti,” tambahnya.

“Kelas berapa?” tanya saya kepada Fahri, penasaran.

“Tidak sekolah,” jawabnya polos.

“Males sekolah dia,” timpal Pak Bakri. Fahri, dengan senyum simpul menanggapi ocehan bapaknya, lalu mengambil sebongkah biskuit yang sudah terbuka dan memakannya perlahan-lahan.

Memasang jaring dalam rumah polybag/Arah Singgah

Polybag sudah tersusun rapi, sesuai ukuran dan target tanaman yang akan ditanam, kini tinggal memasang pukat mengelilingi rumah agar terhindar dari ayam yang sering mengais tanah. Wadah-wadah bekas telur, kami jadikan sebagai tempat untuk menumbuhkan bibit sebelum dipindah ke polybag.

Tanah yang sudah siap ditanami itu selalu disiram pada pagi hari oleh Pak Said dan Pak Bakri. Bibit-bibit kangkung, cabai, sawi, bayam, terong, dan tomat mulai muncul pada hari ketiga. Melihat bagaimana bibit mulai tumbuh memang masih pada tahap awal, setidaknya pucuk tanaman yang mulai berkembang, seakan memberikan harapan yang sama pada Mekko. Mekko yang tandus ini bisa menjadi Mekko yang hijau kalau diniatkan dengan sungguh-sungguh. Awal yang bagus untuk perubahan Mekko.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan dan nantinya dapat digunakan bagi para pemangku kebijakan sebagai pertimbangan dalam merubah suatu tatanan yang telah ada.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Irsyad Saputra

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

You may also like

Leave a Comment