Pukul 10.00 WITA, rombongan kami yang berjumlah sepuluh orang dengan lima sepeda motor, melaju menyusuri jalan poros Toraja menuju Desa Kete’ Kesu di Kampung Bunoran, Kelurahan Paepalean, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Kami membawa bekal berupa informasi mengenai peninggalan purbakala, beberapa di antaranya yakni mengenai kuburan batu yang berada di Kete’ Kesu dan jajaran rumah adat masyarakat Toraja—Tongkonan, yang diperkirakan sudah berusia ratusan tahun.
Tiba di Kete’ Kesu
Suasana pagi yang menenangkan di Toraja menyapa kami begitu memasuki Kete’ Kesu. Kios-kios yang menjajakan berbagai buah tangan khas Toraja mulai dari tas, sarung, kaos, gelang, parang, ikat kepala, miniatur rumah tongkonan, ukiran-ukiran khas Toraja, serta kopi Toraja yang sudah terkenal hingga mancanegara ikut menyambut kedatangan kami.
Sebuah loket sederhana dengan ukuran cukup kecil, penuh dengan stiker-stiker yang ditempelkan oleh para pengunjung, menjadi pertanda bahwa mereka telah menginjakkan kaki di salah satu tempat yang menyimpan daya magis dalam kultur yang luar biasa. Kami lalu membayar biaya retribusi sebesar Rp15.000 per orang, sebagai tiket masuk ke lokasi wisata. Belum tersebut termasuk biaya masuk ke dalam kuburan batu.
Cerita tentang Makna Tongkonan
Saat mulai memasuki Kete’ Kesu, sepanjang mata memandang, saya melihat rumah adat tongkonan yang berjejer rapi berjumlah enam, dibangun menghadap ke arah utara, berhadapan dengan lumbung padi yang disebut alang sura’ yang berdiri di sebelah timur. Jumlahnya ada 12.
Masyarakat Toraja meyakini bahwa para leluhur mereka berasal dari utara, sehingga rumah adatnya pun dibangun menghadap ke arah tersebut. Bahkan, mereka percaya jika setiap orang yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan arwah leluhur yang berada di utara.
Tongkonan yang berada di Kete’ Kesu ini berasal dari leluhur Puang Ri Kesu’ serta merupakan salah satu tongkonan layuk tua di Toraja, mempunyai peran dan fungsi sebagai sumber pemerintahan dan kekuasaan adat di wilayahnya pada masa lampau.
Rumah tongkonan di Kete’ Kesu dipenuhi dengan ukiran-ukiran indah, di depan tongkonan terdapat sebuah tiang tempat puluhan tanduk tedong (kerbau) yang disusun berbentuk vertikal. Tanduk-tanduk tedong tersebut melambangkan seberapa sering pemilik rumah melakukan upacara adat serta menjadi penanda kelas sosial dari pemilik rumah. Kerbau di Toraja harganya mencapai ratusan juta, bahkan ada kerbau yang harganya mencapai satu miliar. Kerbau tersebut adalah kerbau saleko, yang identik berwarna putih dengan corak hitam.
Faktanya, Kete’ Kesu yang kami kunjungi ini menjadi saksi sejarah awal mula keberadaan masyarakat di Tana Toraja. Selain itu, Kete’ Kesu merupakan sebuah desa wisata yang terkenal karena adat serta kehidupan tradisional masyarakatnya yang memegang teguh adat para leluhur.
Ada banyak keunikan dari rumah tongkonan. Beberapa di antaranya yakni, masyarakat membangun rumah tersebut dengan menumpukkan kayu sedemikian rupa sehingga tidak ada paku yang tersemat di rumah ini.
Jika pada umumnya rumah digunakan sebagai tempat untuk beristirahat bagi pemiliknya, namun hal ini tidak berlaku bagi rumah tongkonan. Masyarakat memanfaatkan kolong rumah sebagai kandang untuk hewan ternak. Mereka juga membagi rumah menjadi beberapa bagian, yang salah satu bagiannya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan jenazah dari kerabatnya yang belum bisa dikuburkan. Karena Kete’ Kesu sudah menjadi kompleks wisata, maka tidak ada yang menghuni rumah tongkonan di sini.
Keunikan lain dari tongkonan yakni atap rumah yang menjulang, berbentuk seperti perahu tertelungkup, terbuat dari buritan yang berlapis ijuk hitam. Bentuk atap tersebut, diibaratkan seperti tanduk tedong (kerbau).
Hampir seluruh bagian dari rumah tongkonan punya ukir-ukiran. Ukiran kepala kerbau berarti kemakmuran. Ada juga ukiran yang berbentuk seperti air, maknanya berhubungan dengan kehidupan dan kesuburan. Selain itu, pada badan tongkonan terdapat ornamen gambar-gambar berukuran kecil yang menceritakan kejadian atau kegiatan tertentu, biasanya ritual-ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat Toraja.
Masyarakat juga menggunakan pewarna alami untuk mengecat tongkonan. Masing-masing warna memiliki makna, seperti warna hitam yang melambangkan kesedihan, warna putih melambangkan kesucian, warna kuning melambangkan kemurnian, serta warna merah yang melambangkan keberanian.
Peninggalan Purbakala di Kete’ Kesu
Desa Kete’ Kesu juga menyimpan berbagai peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut berupa kuburan batu yang diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Peninggalan tersebut, bisa menjadi bukti kehidupan sebelumnya di kawasan ini.
Rombongan kami memutuskan untuk menyusuri gua yang ada di Kete’ Kesu. Kami melewati kios-kios yang menjajakan berbagai buah tangan khas Toraja, sama seperti yang kami temui sebelum masuk di tempat wisata ini, hanya saja, di sini jumlahnya lebih banyak.
Kemudian kami melewati beberapa kuburan modern, yang bagi masyarakat Toraja disebut patane, serta peti mati tradisional yang dihiasi dengan ukiran yang disebut erong. Erong yang berbentuk kepala babi diperuntukkan untuk jenazah perempuan, sedangkan erong jenazah laki-laki berbentuk kepala kerbau.
Kami lalu menaiki anak tangga. Di sepanjang anak tangga, terlihat peti-peti tua tersusun rapi di dinding-dinding gua yang berisi tulang-tulang manusia. Beberapa di antaranya bahkan sudah tidak memiliki penutup sama sekali. Terdapat juga beberapa patung yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah meninggal, yang disebut tau-tau, sebagai representasi orang yang dimakamkan dan dipasang di depannya.
Pemandu wisata yang menemani kami selama di dalam gua menjelaskan banyak hal perihal tradisi pemakaman, mulai dari cerita tengkorak-tengkorak yang terdapat di dalam gua yang diperkirakan sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun, tentang kondisi gua yang dulunya masih aktif dan dipenuhi dengan stalaktit dan stalakmit, hingga kondisinya yang lama kelamaan semakin mengecil.
Pemandu wisata juga tak lupa mewanti-wanti kami untuk tidak mengganggu apapun yang terdapat di dalam gua. Adat istiadat yang terdapat di tempat ini masih sangat kental, sehingga para pengunjung tidak boleh bertindak sembarangan. Karena, penyelesaian masalah tidak hanya berurusan dengan pihak yang berwajib saja, namun akan mendapatkan peringatan adat yang dilakukan langsung oleh tokoh masyarakat. Hukuman yang akan diberikan cukup bervariasi, tergantung dari perbuatan pelaku dan dapat berupa persembahan hewan untuk disembelih.
Kuburan batu yang terdapat di Kete’ Kesu sendiri sudah tidak difungsikan lagi, namun tetap menerima pengunjung yang ingin tahu lebih dalam akan sejarah kuburan batu yang telah berusia ratusan tahun tersebut.
Penggunaan gua alam (liang) sendiri sebagai tempat penguburan, tidak lepas dari bentuk peringatan dan penghormatan kepada leluhur yang datang pertama kali di Kesu’, yaitu Puang Ri Kesu’ dan menginap di gua alam sebelum membangun tongkonan. Setelah meninggal, jenazah Puang Ri Kesu’ dimasukkan ke dalam erong dan disimpan di dalam gua.
Satu fakta yang membuat saya tertegun dan semakin kagum dengan tradisi masyarakat di Tana Toraja yang masih terjaga ini, ketika mengetahui alasan orang Toraja tidak memakamkan mayat di dalam tanah. Alasan mereka, karena orang Toraja tidak ingin memasukkan sesuatu yang mati atau jasad ke dalam sumber makanan mereka.
Perjalanan ke Kete’ Kesu kali ini memberi banyak pelajaran serta menambah ketakjuban saya terhadap kehidupan masyarakat di Tana Toraja. Membuka mata saya bahwa Indonesia benar-benar kaya akan budaya dan tradisi masyarakatnya. Toraja, sebuah tempat di mana masyarakatnya menjaga erat kebudayaan dari para leluhur sampai hari ini, dan sebuah tempat untuk selalu merendahkan diri dan belajar dari orang-orang yang sudah pernah ada, yaitu para leluhur.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.